Prince, yang juga dikenal dengan nama panggung Dellyswagz, pertama kali mendengar tentang paduan suara itu dari seorang teman yang menjadi anggotanya saat ia baru pindah ke Venesia pada tahun 2017. Di Nigeria, ia adalah seorang penyanyi, dan temannya mengatakan bahwa komunitas itu baik dan bisa membantunya beradaptasi. Saat pertama kali tiba, mereka memberikannya pakaian, membantunya mencari pekerjaan, serta memberikan bantuan hukum untuk memulai proses mendapatkan visa.
Kini usianya 38 tahun, bicaranya lembut, tetapi saat menyanyi, ia bergoyang penuh perasaan. Suaranya tegang dan hampir pecah saat melantunkan lirik. Ia tampil dengan kacamata hitam berwarna biru, topi kulit hitam gaya newsboy, dan setelan denim lengkap. "Seperti raja," katanya sambil tersenyum.
Tak lama setelah ia lahir, orang tuanya berpisah, dan pengasuh utamanya adalah kakek dari pihak ibu, yang sangat dekat dengannya. Ketika kakeknya meninggal pada tahun 2011, Prince kehilangan ikatan dengan pinggiran Lagos tempat ia dibesarkan. Pada tahun 2015, ia memutuskan untuk menyeberangi Sahara dan Mediterania demi mencari kehidupan yang lebih baik.
"Sebagai anak laki-laki yang tumbuh, ibumu harus benar-benar banyak berdoa untukmu," jelasnya. "Antara kau jadi penjahat atau mafia."
Ia tinggal di apartemen bersama di Padua, 40 km dari Venesia, setelah kehilangan pekerjaannya di pabrik dan diusir karena belum memiliki dokumen resmi. Kamarnya juga berfungsi sebagai studio rekaman, di mana di atas meja berantakan dengan monitor besar, ia merekam dan memproduksi lagu Afrobeats untuk album pertamanya.
Di Nigeria, ia adalah seorang guru tari profesional yang sukses, namun merasa tak ada masa depan di sana. Teman dan keluarganya sudah pergi, termasuk ayahnya yang tinggal di Inggris. Ia baru mempertimbangkan untuk pergi setelah pamannya yang tinggal di Austria menelepon dan menyarankannya untuk melakukan perjalanan bersama istri paman serta tiga sepupunya. Prince memberikan speaker, pakaian, dan sepatunya kepada murid-muridnya. Bersama keluarganya, ia mengumpulkan ribuan dolar. Ia tidak membawa apa-apa dan memberi tahu orang tuanya bahwa ia sudah bulat tekadnya.
"Perjalanannya mematikan," ujarnya dengan ekspresi serius. "Kisahku penuh dengan rasa sakit dan kehilangan."
Tiga minggu pertama dihabiskan di atas truk terbuka yang penuh dengan puluhan orang. Mereka melintasi Sahara dan tidur di atas pasir setiap malam. Beberapa harus minum air seni sendiri karena tak membawa cukup air. Sepanjang perjalanan, ia melihat mayat-mayat yang tergeletak di pasir. "Tak terhitung berapa banyak yang kami kubur," katanya datar. "Kami menutupi mereka dengan pasir. Tak ada nama atau keluarga yang bisa dihubungi."
Dari Libya, ia dan keluarganya mencoba menyeberangi Mediterania delapan kali. Seluruh perjalanan ke Italia menghabiskan waktu dua tahun. Suatu kali, mereka diculik perompak saat berada di kapal dan dibebaskan dua bulan kemudian setelah membayar tebusan. Di kesempatan lain, ia ditahan di penjara Libya selama empat bulan. Pernah suatu ketika, uang mereka habis, dan ia bekerja sebagai satpam selama tujuh bulan di sebuah kompleks penampungan pengungsi.
Kemudian, pada Oktober 2016, ia dan keluarganya mencoba menyeberang lagi. Mereka berdesakan di kapal kayu dengan lebih dari 200 penumpang. Di tengah malam, air mulai masuk, dan kapal pun tenggelam. Saat terbalik, orang-orang terjatuh ke laut. Prince melompat untuk menyelamatkan sepupu-sepupunya. Lautnya sangat dingin, dan semua orang berteriak di sekitarnya. Ia ingat air hitam yang diterangi bintang. Saat ia menemukan sepupunya, Sandra yang berusia 14 tahun, sudah terlambat. Ia tenggelam karena tidak bisa berenang.
Ia memeluk tubuh Sandra yang tak bernyawa, mengapung di dadanya dengan pelampung yang menyangga lehernya—selama kira-kira 25 jam—sebelum ia dan para penyintas lainnya, termasuk keluarganya, diselamatkan oleh nelayan dan dibawa kembali ke Libya.
"Aku bahkan tak sadar sudah diselamatkan karena sangat lelah," katanya. "Mataku hanya melihat putih. Tak bisa melihat apa-apa lagi karena air laut, garamnya. Aku sangat lelah." Prince dan keluarganya tak pernah bisa mengubur Sandra karena menurutnya, tubuhnya dicuri oleh penyelundup manusia.
Di Libya, seorang nelayan dari Gambia mengajarinya menggunakan kompas. Di pelayaran terakhir, ia menjadi navigator, memberi tahu kapten kapal arah yang harus dituju. Kapal mereka dicegat oleh tim penyelamat di lepas pantai Lampedusa. "Perjalanan ini bukan sesuatu yang kuinginkan bahkan untuk musuh terburukku," ujarnya sambil menggeleng. Keluarganya yang berpisah sebelumnya pergi ke berbagai bagian Italia dan Austria.
Lirik Prince bersifat personal dan sering berkisah tentang mengatasi rasa sakit, meraih kesuksesan, dan hidup "baik".
Ia sempat mencoba tinggal dengan kakak iparnya di Austria, tetapi ketika otoritas mengancam akan mendeportasinya, ia dikembalikan ke Italia, di mana kasus suakanya masih menunggu. Penerbangannya mendaratkannya di Venezia. Ia tak tahu kenapa.
Hidup di Italia sulit, katanya. Ayahnya pernah memperingatkannya tentang hidup sebagai imigran, "Lebih baik menjadi orang merdeka di negerimu sendiri daripada budak di negeri orang." Prince mulai setuju dengan hal itu. Saat diusir dari apartemennya, ia menjadi tunawisma selama tujuh bulan, tidur di sofa teman-teman dan di garasi.
Baginya, Venesia tidak spesial. "Yang kulakukan hanyalah pergi bekerja, pulang, pergi bekerja, pulang," ujarnya. Kalau bisa mengulang semuanya, dia bilang, dia akan tetap tinggal di Nigeria.
Sekarang, dia punya pekerjaan baru, tapi shift malam yang melelahkan dengan perjalanan jauh yang menyita waktunya buat bikin musik. Demi menghemat, dia udah belajar bertahan dengan satu kali makan sehari dan berhenti melukis, hobi favoritnya yang lain. Paduan suara adalah satu-satunya momen dia benar-benar menikmati diri. "Pas nyanyi bareng mereka, aku selalu tersenyum," katanya, "karna itu satu-satunya waktu aku bisa jadi diri sendiri."