Dua puluh enam hari sebelum ledakan besar menghancurkan sebuah jalan utama yang padat di Delhi, menewaskan 13 orang, sebuah selebaran berkop berwarna hijau telah muncul di Nowgam, sebuah kawasan permukiman tenah yang dihuni rumah-rumah batako dengan jalanan berlubang di pinggiran Srinagar, kota utama Kashmir yang dikelola India.
Diturunkan dalam bahasa Urdu yang terbata-bata, surat tersebut mengklaim afiliasi dengan Jaish-e-Muhammad, sebuah kelompok bersenjata terlarang yang berbasis di Pakistan.
Teks itu penuh dengan peringatan yang ditujukan kepada pasukan pemerintah India yang ditempatkan di wilayah tersebut, serta anggota populasi lokal yang dianggap telah mengkhianati gerakan separatis Kashmir.
“Kami memperingatkan warga setempat akan tindakan tegas bagi yang tidak mematuhi peringatan ini,” bunyi poster tersebut, mengingatkan para pemilik toko di sepanjang jalan raya antara Srinagar dan Jammu, kota penting lainnya, untuk tidak memberi perlindungan kepada pasukan pemerintah.
Pesan-pesan semacam ini dulu umum dikeluarkan oleh kelompok-kelompok bersenjata lokal dan yang didukung Pakistan pada puncak gerakan daerah tersebut untuk melepaskan diri dari kendali India pada tahun 1990-an dan awal 2000-an.
Akan tetapi, setelah pemerintah India mencabut status khusus Kashmir, menghapuskan status kenegaraannya, dan membagi wilayah tersebut menjadi dua wilayah yang diperintah federal pada Agustus 2019, poster semacam ini menjadi lebih jarang ditemui – dan kekerasan bersenjata juga menurun. Serangan bersenjata turun dari 597 pada tahun 2018 menjadi 145 pada tahun 2025, menurut South Asia Terrorism Portal (SATP), sebuah platform yang melacak dan menganalisis serangan di Asia Selatan.
Kemunculan selebaran itu memicu perburuan selama tiga minggu yang menjangkau Kashmir dan beberapa wilayah di India. Investigasi inilah, menurut para pejabat, yang menghubungkan benang merah antara beberapa individu yang merencanakan serangan – termasuk seorang dokter yang diduga mengemudikan mobil yang meledak di sebuah persimpangan jalan yang padat di New Delhi pada hari Senin, hanya beberapa meter dari dinding Benteng Merah, sebuah monumen terkenal dari era Mughal.
Kasus ini dan pemberitaannya di sebagian besar media India juga telah memicu gelombang Islamofobia dan sentimen anti-Kashmir.
Ulama dan Para Dokter
Saat para pejabat keamanan berusaha melacak sumber selebaran di Nowgam, mereka memusatkan perhatian pada rekaman dari CCTV. Berdasarkan apa yang mereka lihat, mereka “menangkap beberapa tersangka, di antaranya adalah seorang ulama Muslim dari distrik Shopian di Kashmir Selatan”, kata seorang pejabat polisi yang bertugas di Kashmir kepada Al Jazeera dengan syarat anonim karena tidak diberi wewenang untuk berbicara dengan media.
Ulama berusia 24 tahun itu, Irfan Ahmad, berceramah di sebuah masjid lokal di Srinagar tempat poster-poster tersebut muncul.
Interogasinya mengarahkan polisi pada nama lain: Adeel Rather, seorang dokter yang tinggal di desa Wanpora, Kulgam, berjarak 20 km.
Akan tetapi ketika polisi tiba di rumah Rather, ia tidak ada di tempat. Mereka akhirnya melacak dan menangkapnya sekitar 500 km jauhnya di kota berdebu Saharanpur di negara bagian Uttar Pradesh, di mana Rather bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Polisi mengklaim mereka juga menemukan senapan serbu di lokernya di Government Medical College Anantnag, di Kashmir, tempat ia bekerja hingga Oktober 2024.
Ketika Rather diinterogasi, ia menyebutkan rekan lainnya: Muzammil Shakeel Ganai, lagi-lagi seorang dokter Kashmir yang bekerja di Universitas Al-Falah di Faridabad, salah satu kota satelit penting di sekitar New Delhi.
Polisi India mengklaim bahwa ketika mereka menggerebek dua rumah yang disewa atas nama Ganai di Faridabad, mereka menyita bahan-bahan kimia yang mudah terbakar dan persenjataan dengan berat total 2.900 kg.
Modul Teror Transnasional Digagalkan
Penangkapan-penangkapan ini, klaim polisi India di Kashmir, telah membantu mereka mengungkap apa yang mereka deskripsikan sebagai “modul teror transnasional” yang terkait dengan Jaish-e-Muhammad dan Ansar Ghazwat-ul-Hind (AGuH), sebuah kelompok pejuang terlarang lainnya yang terkait dengan al-Qaeda.
AGuH didirikan di Kashmir oleh Zakir Rashid, seorang komandan pejuang lokal yang ditembak mati oleh pasukan pemerintah pada Mei 2019. Meskipun aktivitasnya sejak itu mereda, polisi India mengklaim bahwa kelompok tersebut telah dihidupkan kembali oleh para pemimpin baru dari Pakistan tetangga.
“Dalam sebuah kesuksesan besar kontraterorisme, polisi Jammu dan Kashmir telah menggagalkan sebuah modul teror antarnegara bagian dan transaksional,” kata polisi dalam sebuah pernyataan.
“Selama penyelidikan yang berlangsung, penggeledahan dilakukan di beberapa lokasi oleh polisi Jammu dan Kashmir,” bunyi pernyataan tersebut. Disebutkan juga bahwa tujuh tertuduh ditangkap dari lokasi yang berbeda, termasuk Ganai dan Rather, para dokter; Ahmed, sang ulama; dan empat orang lainnya.
Orang-orang lainnya tersebut termasuk seorang perempuan dari Lucknow di negara bagian Uttar Pradesh.
Tetapi para pejabat mengatakan penyelidikan mereka juga mengarahkan mereka pada dokter Kashmir lainnya, Umar Nabi.
Namun, sebelum mereka dapat menangkap Nabi, ibu kota India diguncang oleh ledakan hari Senin. Yang mengemudikan mobil sport putih yang sarat dengan bahan peledak, kata para penyelidik, adalah Nabi yang berusia 29 tahun.
Razia di Seluruh Kashmir
Rekaman CCTV dari New Delhi yang dirilis polisi menunjukkan seorang pria muda bermasker hitam mengemudikan hatchback Hyundai melewati gerbang tol di Delhi. Klip lainnya mengungkapkan kendaraan yang sama bergerak perlahan melalui persimpangan yang macet sebelum kilatan cahaya kuning muncul di layar.
Di tengah peringatan keamanan nasional pasca ledakan, polisi telah melancarkan operasi razia di berbagai bagian Kashmir. Pada tanggal 12 November, polisi dengan perlengkapan lapis baja berat dan anggota paramiliter berkeliaran di jalan-jalan di Srinagar, menerobos masuk ke rumah-rumah untuk melakukan penggeledahan.
Di distrik Kulgam, Kashmir Selatan saja, pasukan keamanan melakukan 400 operasi pencarian, mengumpulkan sekitar 500 orang untuk dimintai keterangan. Penggerebekan serupa dilaporkan dari distrik Baramulla, Handwara, Sopore, Kulgam, Pulwama, dan Awantipora.
Di desa Koil, distrik Pulwama, Kashmir Selatan, keluarga Nabi – sang tersangka pengemudi mobil yang meledak – mengalami syok.
“Pada Senin malam, polisi membawa ipar laki-laki saya dan kemudian suami saya,” kata Muzamil Akhtar, ipar perempuan Nabi. “Kami terkejut ketika melihat media dan polisi di sini; kami tidak tahu apa-apa.”
Ia mengatakan polisi juga telah membawa ibu Nabi untuk pengambilan sampel DNA.
“Seluruh rumah kami digeledah dengan teliti. Saya berbicara dengan Umar pekan lalu pada hari Jumat. Dia normal-normal saja dan mengatakan kepada saya bahwa dia akan pulang setelah tiga hari. Kami semua antusias menyambut kunjungannya. Kami tidak menduga semua ini akan terjadi,” ujarnya.
Kerabat menggambarkan Nabi sebagai siswa yang luar biasa di sekolah dan perguruan tinggi kedokterannya di Srinagar.
Salah seorang kerabat mengungkapkan bahwa keluarga dahulu memandang Umar dengan penuh kebanggaan akan prestasinya.
“Dia selalu membawa buku di tangannya. Terus-menerus membaca dan asyik dengan literatur. Dialah harapan kami,” ujar kerabat tersebut dengan suara tertahan isak, meminta untuk tidak disebutkan namanya. “Dia pribadi yang tenang.”
Tak sampai satu kilometer dari kediaman Nabi, suasana mencekam menyelimuti rumah Ganai, sang dokter yang ditangkap di Faridabad.
Ayahnya, Shakeel Ganai, menyampaikan kepada Al Jazeera bahwa mereka mendapat kabar dari kepolisian pada Selasa bahwa putranya telah dibawa ke Kashmir dari Faridabad untuk dimintai keterangan.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi; sama sekali tidak menduga akan hal ini,” tutur Shakeel.
Ganai menempuh pendidikan di sekolah lokal di Desa Koil lalu lulus ujian kompetitif untuk mengambil gelar kedokteran di Jammu. Ia juga meraih gelar master di bidang kedokteran dari Sher-e-Kashmir Institute of Medical Sciences (SKIMS) di Srinagar, sebelum bergabung dengan Universitas Al-Falah di Faridabad, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir.
“Ia pulang ke rumah pada Juli lalu ketika saya menjalani operasi ginjal. Kami hampir setiap hari berkomunikasi dengannya,” kenang Shakeel, seraya menambahkan bahwa polisi menggeledah rumah mereka dan juga menahan anaknya yang lain.
Adik perempuan Ganai, yang juga sedang menekuni ilmu kedokteran dan rencananya akan menikah pada November mendatang, menegaskan bahwa kasus ini harus diselidiki secara menyeluruh.
“Kakak saya telah berjuang seumur hidupnya. Ia sangat berambisi. Kami tidak percaya ia terlibat dalam hal ini,” tegasnya.
Seorang prajurit India berjaga di Srinagar, Kashmir yang dikontrol India, Rabu, 12 November 2025 [Mukhtar Khan/AP Photo]
### ‘Daftar Penduduk Kashmir’
Namun, seiring berlangsungnya penyelidikan, sentimen Islamofobia dan anti-Kashmir merebak di berbagai komunitas perkotaan di India.
Pada 12 November, polisi di kota Gurgaon meminta perkumpulan perumahan untuk membuat daftar penduduk Kashmir yang tinggal di lingkungan mereka, memicu kepanikan.
Belakangan ini, situs media sosial di India dipbanjiri seruan kekerasan terhadap warga Kashmir, dengan beberapa pengguna bahkan mengancam akan mengusir penyewa asal Kashmir di kota-kota seperti Delhi dan Noida.
Nasir Khuehami, seorang aktivis pelajar asal Kashmir, menyatakan bahwa sekitar 150.000 mahasiswa Kashmir tengah menuntut ilmu di berbagai wilayah India. “Saat ini mereka diliputi kecemasan akan keamanan dan keselamatan diri,” ujar Khuehami.
Ledakan dan penyelidikan terkait hal itu juga memunculkan pertanyaan baru mengenai pendekatan India terhadap Kashmir dan perlawanan terhadap kelompok bersenjata, menurut para ahli.
Awal tahun ini, Menteri Dalam Negeri India Amit Shah menyombongkan diri dengan klaim “rekrutmen nol” ke dalam barisan pemberontak bersenjata di Kashmir yang diawasi India. Dalam pidatonya di Parlemen, ia menyatakan bahwa semua pejuang yang dibunuh oleh pasukan pemerintah di Kashmir pada paruh pertama 2025 adalah warga asing.
Namun, para ahli kini menilai pernyataan tersebut menyesatkan.
“Tidak akan pernah ada kepastian mutlak bahwa rekrutmen telah berakhir,” papar Ajai Sahni, Direktur Eksekutif Institute for Conflict Management di New Delhi. “Para dokter ini adalah kolega yang tampaknya terikat oleh keyakinan bersama atau persahabatan pribadi. Saya menyebutnya bukan sebagai rekrutmen melainkan mobilisasi.”