Dallas, Amerika Serikat – Melinda, seorang pengajar di sebuah SMA di Dallas, memiliki cara sederhana untuk memprediksi apakah para muridnya akan mengalami hari yang baik.
“Jika mereka datang dan sudah sarapan, itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Melinda, yang telah berkarier sebagai guru di Texas selama 13 tahun. Kemunculan murid-muridnya dalam keadaan sudah makan, imbuhnya, “lebih jarang daripada yang anda bayangkan”.
Artikel Rekomendasi
list of 4 items
end of list
Untuk membantu, Melinda menghabiskan sekitar $45 per minggu untuk barang sarapan dan camilan selama tahun ajaran sebelumnya. Meskipun praktik semacam ini umum di kalangan guru-guru AS, dia meminta Al Jazeera untuk tidak menggunakan nama aslinya. Namun, melonjaknya harga kebutuhan pokok dan perlengkapan sekolah dapat memaksanya untuk berhenti, terlebih karena gaji guru di Texas tidak mampu mengimbangi laju inflasi.
Ketika Melinda pergi ke toko pada akhir Agustus lalu, barang yang sama kini mengharuskannya membayar $56 per minggu. Itu artinya, dalam satu tahun ajaran, dia bisa mengeluarkan $400 lebih banyak untuk makanan yang diandalkan para muridnya.
“Saya sedang berusaha mencari cara untuk mempertahankan itu dalam anggaran saya, karena harga-harga sungguh tidak masuk akal, dan saya ingin tetap berada pada posisi di mana [itu tersedia untuk semua siswa] sehingga tidak ada yang merasa dikucilkan.”
Kecemasan Melinda hanyalah satu contoh dari masalah lebih luas yang tengah berkembang di Amerika Serikat. Setelah pemerintahan Presiden AS Donald Trump menerapkan sejumlah besar tarif terhadap berbagai negara di dunia, warga Amerika mulai merasakan kenaikan harga merayap ke dalam kehidupan mereka. Meningkatnya biaya belanja kebutuhan pokok, tagihan, sewa, dan barang-barang esensial untuk bayi menciptakan beban baru bagi masyarakat di seluruh negeri, di mana jutaan dari mereka bekerja lebih dari satu pekerjaan.
Berhemat Mati-matian
Tarif adalah pungutan yang harus dibayar oleh importir untuk memasukkan barang mereka, dan beberapa ekonom mencatat bahwa konsumen AS memerlukan waktu untuk merasakan dampak penuh dari tarif Trump ini.
Itu bukanlah penghiburan bagi Katie Ventre, seorang warga Long Island berusia 37 tahun yang menangani penggajian, keuangan, dan SDM untuk perusahaan bengkel mobil ayah mertuanya. Suaminya adalah CEO perusahaan tersebut, dan bersama-sama, mereka sedang berusaha merintis jasa penyewaan mobil. Kenaikan harga belanjaan – terutama harga buah, telur, dan susu – telah menjadi hal yang frustasi bagi keluarga mereka, tutur Ventre kepada Al Jazeera, namun bisnis otomotif terkena dampak yang lebih parah lagi.
“Kami baru saja mengalami dua bulan terburuk dalam delapan tahun terakhir,” ujarnya pada awal September. Untuk berhemat, katanya, para pelanggan mengurangi jumlah pengeluaran mereka, atau menunda perbaikan sama sekali. Sementara itu, keluarga Ventre menaikkan harga mereka dalam upaya mengimbangi biaya barang impor.
“Bukan hanya kami,” tambah Ventre. “Ada perusahaan derek yang bekerja sama dengan kami yang juga mengalami perlambatan … dan semua vendor kami menangani [tarif ini] dengan cara mereka masing-masing. Ada yang menaikkan harga, ada yang berusaha menunggu dan melihat apakah keadaan membaik.”
Perusahaan lain tidak menunggu. Lembaga think tank Groundwork Collaborative telah melacak panggilan kinerja perusahaan dan pernyataan yang dibuat oleh eksekutif level C mengenai kenaikan harga, dan dalam laporan terbaru, mereka merinci bagaimana beberapa perusahaan menggunakan tarif sebagai dalih untuk menaikkan harga.
“Efek tidak langsung dari tarif adalah bahwa hal itu memberi produsen baja, pabrik, dan fabrikator lainnya … alasan yang tepat untuk menaikkan harga dalam beberapa kasus,” kata Aaron Jagdfeld, CEO perusahaan produk pembangkit listrik Generac Power Systems, dalam sebuah panggilan kinerja musim panas ini.
Di antara yang menaikkan harga adalah perusahaan produk keamanan dan digital Fortune Brands Innovations Inc, perusahaan alas kaki Rocky Brands, dan perusahaan pakaian Hanesbrand, yang CEO-nya, Stephen Bratspies, menyatakan bahwa perusahaannya “menyaksikan gangguan terkait tarif menciptakan peluang pendapatan tambahan di pasar”.
Russell Diez-Canseco, presiden dan CEO Vital Farms, menyatakannya dengan lebih singkat dalam sebuah panggilan terkini kepada para investor: “Harga yang telah kita bicarakan, itu lebih dari cukup untuk menutupi dampak dari tarif.”
Di tempat lain, merek-merek besar seperti Walmart dan raksana barang rumah tangga Procter & Gamble juga menaikkan harga dan mengaitkan langkah tersebut dengan biaya tarif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kenaikan semacam ini telah memengaruhi dompet pelanggan.
Dalam survei 3 Juli, hampir setengah dari calon pemilih yang diwawancarai menyatakan kepada Groundwork Collaborative dan Data for Progress bahwa tarif Trump berdampak negatif pada keuangan bulanan mereka, dengan hanya 16 persen yang melaporkan dampak positif.
Musim kembali ke sekolah memperburuk masalah ini, seiring naiknya harga segala sesuatu dari sepatu hingga barang-barang esensial sesederhana pensil.
“Orang tua menghadapi kenaikan harga di sejumlah kategori untuk perlengkapan sekolah,” jelas Sarah Dickerson, seorang ekonom peneliti di University of North Carolina di Chapel Hill, kepada sebuah stasiun TV lokal. “Jika kita melihat pensil, misalnya, kita tahu bahwa pensil kayu diimpor dari Brasil. Kita mengantisipasi kenaikan harga di sana.”
Peringatan Dini
Lindsay Owens, direktur eksekutif lembaga think tank ekonomi Groundwork Collaborative, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa musim gugur 2025 akan memberikan gambaran paling jelas sejauh ini tentang bagaimana tarif mempengaruhi perekonomian AS.
“Kami sudah lama memperkirakan bahwa sebagian besar dampak kenaikan harga akan terjadi pada musim gugur,” kata Owens, yang organisasinya meneliti bagaimana ekonomi mempengaruhi konsumen dan pekerja.
“Musim kembali ke sekolah ibaratnya adalah peringatan dini, tapi kami memperkirakan harga tinggi untuk barang-barang Halloween, untuk kostum, dan semacamnya yang diimpor dari Tiongkok. Kami juga memperkirakan beberapa dampak ini akan berlanjut hingga Natal, baik itu kenaikan harga mainan atau bahkan masalah rantai pasok di mana ketersediaan mainan menjadi lebih sedikit.”
Owens menyatakan bahwa kenaikan harga dan biaya hidup telah menjadi isu ekonomi utama bagi warga Amerika sejak 2021. Kini, tarif semakin mempengaruhi apa yang dibeli orang Amerika, di mana mereka membelinya, dan dalam beberapa kasus, pekerjaan yang mereka jalani atau kejar.
Menurut data terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), hampir 8,8 juta warga Amerika bekerja di lebih dari satu pekerjaan – hanya sedikit menurun dari rekor tertinggi 8,9 juta pada bulan Februari.
Kay Alexander, seorang warga Austin berusia 30 tahun, adalah salah satu dari orang Amerika dengan banyak pekerjaan itu.
Alexander kehilangan pekerjaannya di industri teknologi selama gelombang PHK pada awal tahun 2025.
Ia memangkas drastis pengeluaran untuk makanan dan mulai mencari apartemen yang lebih murah, suatu hal yang terbukti hampir mustahil di Austin.
“Harga-harga melonjak dalam beberapa bulan tanpa pemberitahuan sebelumnya,” ujarnya.
Tak lama setelah pemutusan hubungan kerja, ia menyadari “kebutuhan pokok sehari-hari” seperti belanjaan menjadi semakin mahal. Data BLS menunjukkan biaya belanjaan telah naik 29 persen sejak Februari 2020, sementara studi lain menunjukkan harga meningkat hampir 3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Alexander dan pasangannya berhenti membeli makanan ringan dan memilih opsi termurah untuk barang-barang seperti telur dan susu, yang toh tetap saja tidak murah. “Lagipula, aku bisa merasakan perbedaannya,” tambahnya.
“Ini benar-benar mengubah cara kami berbelanja dan cara kami makan,” katanya tentang kenaikan harga tersebut. Bahkan sekarang setelah ia mendapatkan dua pekerjaan paruh waktu dan merasa lebih nyaman untuk makan di luar atau pergi ke bar, ia mengaku masih berfokus untuk menabung “sebanyak mungkin.”
“Sulit untuk diungkapkan trauma kehilangan pekerjaan saat ini, ketika kau tahu kau mungkin harus mengganti satu pekerjaan itu dengan dua pekerjaan lain,” katanya. “Jadi aku berusaha menabung dan melakukan apa saja untuk menghindari perasaan itu.”
Ia telah terbiasa membeli barang belanjaan dengan kualitas lebih rendah, namun kini ia merasa seolah-olah kualitas hidupnya memburuk. Misalnya, ia justru semakin menyukai salah satu pekerjaan paruh waktunya dibandingkan pekerjaan manajemen proyeknya di industri teknologi. Namun ia merasa tertarik kembali ke sektor teknologi yang fluktuatif, hanya untuk membayar tagihannya yang lebih tinggi.
“Aku benar-benar harus memutuskan, apakah aku akan pergi bekerja dan memastikan bahwa aku bisa membayar tagihanku, atau apakah aku akan hadir untuk diriku sendiri dan memastikan bahwa aku baik-baik saja?” ujarnya.
### ‘Makanan Bersifat Discretionary’
Isabel Deniz, seorang wanita berusia 31 tahun yang tinggal di Austin, Texas, sepakat.
Ia bekerja di bidang pemasaran media sosial hingga di-PHK pada akhir tahun 2024, dan dalam satu bulan tertentu, ia bisa mengerjakan hingga enam pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sewa dan tagihan lainnya.
Saat diwawancarai untuk cerita ini, ia sedang menjual pakaian di pasar daring Poshmark, bekerja sebagai kru panggung teater, serta memotong dan mencetak es batu kerajinan untuk bar koktail. Tak lama kemudian, ia mengambil pekerjaan tambahan lagi: sebagai runner jaminan penebusan.
“Aku menikmati tidak harus di depan layar dan benar-benar berbicara langsung dengan orang lain serta menggerakkan seluruh tubuhku, tetapi di sisi lain, aku butuh tiga pekerjaan seperti itu untuk bertahan hidup,” katanya, seraya menambahkan bahwa semua temannya bekerja lebih dari satu pekerjaan.
“Pergi keluar rumah itu mahal,” ujarnya. “Begitu kau melangkah keluar, rasanya seperti, ‘Itu akan membuatmu keluar $20’.”
Itu berarti ia terus-menerus menilai apa yang bisa dikategorikan sebagai pengeluaran discretionary.
“Makanan pada titik ini sudah bersifat discretionary, dan rasanya seperti, ‘Yah, sisa pendapatan yang bisa dibelanjakan cuma $42. Apa yang bisa kulakukan dengan 42 dolar ini?’” katanya. “Aku khawatir yang terburuk masih akan datang.”
“Aku bekerja begitu banyak sampai-sampai tidak punya cukup waktu untuk merenungkan betapa absurdnya kenyataan bahwa aku harus bekerja sebanyak ini, mengerti? Tetapi ketika aku berhenti, aku berpikir, ‘Sebenarnya apa yang sedang terjadi?’”