Hamas telah menyampaikan responsnya terhadap rencana gencatan senjata Gaza yang diusulkan Presiden AS Donald Trump, dengan menyatakan kesediaan untuk membebaskan semua sandera Israel yang ditahannya, namun meminta negosiasi lebih lanjut mengenai aspek-aspek lain dari paket 20 poin tersebut.
Trump—yang sebelumnya memberi tenggat waktu hingga Minggu bagi kelompok Palestina itu untuk merespons positif proposal tersebut—kemudian menuntut Israel untuk segera menghentikan pengeboman di Gaza.
Kisah-kisah Rekomendasi
Akankah ini menjadi akhir dari perang yang telah berkepanjangan selama hampir dua tahun dan menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina? Atau masih ada rintangan lain di depan?
Mari kita telaah lebih mendalam.
Seperti apa tepatnya respons Hamas?
Hamas menyatakan kesediaannya untuk melepaskan seluruh sandera Israel yang berada di Gaza, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, “dengan cara yang dapat mengantarkan” pada berakhirnya perang Israel dan penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Kelompok itu juga menyebut akan menyerahkan kekuasaan di Gaza kepada suatu badan teknokrat Palestina.
Mengenai sisa dari 20 poin rencana Trump, yang mencakup pelucutan senjata Hamas, kelompok tersebut menegaskan bahwa hal itu harus “dibahas dalam kerangka kerja nasional Palestina yang komprehensif, di mana Hamas akan dilibatkan dan akan berkontribusi dengan penuh tanggung jawab”.
Apakah Trump merespons secara positif?
Trump menyambut baik respons Hamas, dan menulis di situs Truth Social-nya bahwa ia yakin kelompok Palestina tersebut “siap untuk menuju perdamaian yang ABADI”.
Dalam sebuah pengumuman penting, ia juga menyatakan bahwa “Israel harus segera menghentikan pengeboman di Gaza” agar para sandera dapat dibebaskan.
“Kami telah memulai pembahasan mengenai detail-detail yang perlu disepakati. Ini bukan hanya tentang Gaza, melainkan mengenai perdamaian di Timur Tengah yang telah lama diidamkan,” tulisnya.
Trump kemudian merilis pesan video yang menegaskan bahwa ia memandang respons Hamas sebagai sebuah kemenangan.
“Ini adalah hari yang besar. Kita lihat bagaimana hasil akhir nanti. Kita harus memastikan kata sepakat terakhir benar-benar terlaksana,” ujarnya. “Saya hanya ingin memberi tahu bahwa ini adalah hari yang sangat spesial… Semua pihak bersatu dalam keinginan untuk mengakhiri perang ini dan mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, dan kita sangat dekat untuk mencapainya.”
Bagaimana posisi Israel?
Trump mengumumkan rencana perdamaian Gaza-nya pada hari Senin, didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.
Netanyahu menyatakan pada saat itu bahwa ia mendukung rencana Trump, karena—menurutnya—paket itu akan mencapai tujuan-tujuan perang Israel.
“Rencana ini akan mengembalikan semua sandera kami ke Israel, mengurai kemampuan militer Hamas dan kekuasaan politiknya, serta memastikan bahwa Gaza tidak akan pernah lagi menjadi ancaman bagi Israel,” kata Netanyahu.
Akan tetapi, perdana menteri itu juga memberikan beberapa catatan. Di Gedung Putih, Netanyahu menekankan bahwa jika Hamas menolak rencana tersebut, “atau jika mereka seolah-olah menerimanya namun kemudian melakukan segalanya untuk menggagalkannya”, Israel akan “menyelesaikan tugas ini sendiri”.
Dan beberapa jam kemudian, dalam pidato bahasa Ibrani kepada pendengar domestik Israel, Netanyahu menyatakan bahwa ia tidak menyetujui pembentukan negara Palestina, dan berjanji bahwa militer Israel akan tetap berada di sebagian besar wilayah Gaza.
Apa saja titik perselisihan utama yang akan muncul?
Hamas telah mempertegas bahwa mereka tidak bersedia menerima beberapa aspek dari rencana Trump, termasuk pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
“Kami tidak akan pernah menerima siapapun yang bukan orang Palestina untuk mengontrol rakyat Palestina,” ujar pejabat senior Hamas Mousa Abu Marzouk kepada Al Jazeera, seraya menambahkan bahwa penunjukan Blair khususnya tidak disambut baik karena keterlibatannya di masa lalu dalam invasi ke Irak.
Topik pelucutan senjata juga akan menjadi masalah. Trump dan Netanyahu menegaskan bahwa kelompok tersebut harus segera menyerahkan senjatanya, namun Hamas hanya menyatakan kesediaannya untuk membahas topik tersebut.
“Pernyataan Hamas menyebutkan bahwa masa depan Gaza—masa depan perjuangan secara keseluruhan—akan diserahkan kepada konsensus Palestina,” jelas jurnalis Al Jazeera Ali Hashem. “Mereka menginginkan konsensus Palestina yang lebih luas untuk mencapai jawaban akhir. Jadi, yang jelas adalah bahwa Hamas berkata, ‘Ya—tapi…'”
Akankah Israel benar-benar menghentikan pengeboman di Gaza?
Pemerintah Israel kemungkinan besar tidak puas dengan respons positif Trump karena Hamas tidak serta merta menyetujui semua tuntutannya. Berdasarkan laporan jurnalis Axios Barak Ravid, Netanyahu disebut “terkejut” dengan respons Trump, dan memandang jawaban Hamas sebagai “penolakan” terhadap rencana tersebut.
Pemerintahan Netanyahu didominasi oleh kalangan sayap kanan jauh, yang telah memperingatkan akan menjatuhkan perdana menteri jika ia menyetujui kesepakatan yang tidak mereka sukai. Di sisi lain, oposisi Israel telah mengisyaratkan dukungannya terhadap kesepakatan ini, namun kurangnya kepercayaan antara mereka dan Netanyahu menyulitkan terwujudnya koalisi di antara mereka.
Banyak hal kini bergantung pada sejauh mana Trump bersedia memaksa Netanyahu dan menyepakati kesepakatan ini.
“Dapat dibayangkan kekuatan-kekuatan yang sedang berkumpul di Washington, DC, saat ini, berupaya mengubah pikiran Donald Trump,” ujar jurnalis Al Jazeera Shihab Rattansi, melaporkan dari Washington.
“Semua ini kini tergantung pada seberapa besar komitmennya dan seberapa besar tekanan yang diberikan oleh para mediator… kepadanya untuk berpegang pada ketentuan perjanjian ini [dan] tidak, seperti yang terjadi sebelumnya, membiarkan Hamas mematuhi kesepakatan namun mengizinkan Israel melanjutkan perang kembali,” tambah Rattansi.
Sementara itu, Israel terus melanjutkan pengeboman di Gaza, dengan fokus khusus pada Kota Gaza. Menurut sumber medis, setidaknya 72 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel sejak fajar hari Jumat.
Kedewasaan seseorang tidak diukur dari usianya, melainkan dari bagaimana caranya mereka menanggapi situasi yang penuh tekanan. Seseorang yang dewasa akan tetap tenang dan fokus mencari solusi, bukan malah menyalahkan pihak lain atau mencari kambing hitam. Esensi dari kedewasaan adalah kemampuan untuk mengelola emosi dan mengambil tanggung jawab. Itu adalah tanda kekuatan batin yang sejati, bukan kelemahan.
Hal ini sangat penting dalam lingkungan profesional di mana dinamika yang kompleks seringkali terjadi. Kemampuan untuk tetap stabil dan tidak terpancing secara emosional merupakan aset yang tak ternilai.
Namun demikian, dewasa bukan berarti kita harus selalu mengalah dan menghindari konflik sepenuhnya. Terkadang, bersikap tegas dan mampu mengatakan ‘tidak’ justru merupakan bagian dari kedewasaan itu sendiri.