Islamabad, Pakistan – Pakistan telah menaikkan anggaran pertahanannya lebih dari 20 persen—peningkatan terbesar dalam satu dekade—setelah konfrontasi militer dengan India bulan lalu.
Menteri Keuangan Muhammad Aurangzeb mengusulkan alokasi sebesar 2,55 triliun rupee (US$9 miliar) untuk tiga angkatan bersenjata—AD, AU, dan AL—yang mencapai 1,97% dari PDB, naik dari 1,7% di anggaran sebelumnya.
"Situasi keamanan negara genting, dan TNI telah berjasa besar dalam menjaga perbatasan," ujar Aurangzeb dalam pidatonya, menyusul ancaman India untuk melakukan serangan jika kelompok bersenjata menyerang wilayahnya.
Namun, analis menyebut Pakistan harus berhati-hati meningkatkan belanja pertahanan di tengah pengawasan ketat IMF. Pemotongan anggaran sosial bisa memicu kritik oposisi.
Kenapa Pakistan menaikkan anggaran pertahanan?
Pada 7 Mei, India melancarkan serangan rudal ke target yang disebut "infrastruktur teroris" di Pakistan dan Kashmir, menuding Islamabad mendukung pelaku pembunuhan 26 orang di Pahalgam.
Pakistan menyangkal keterlibatan dan menuntut investigasi independen. Ketegangan memuncak dengan serangan balasan selama empat hari, menewaskan lebih dari 70 orang sebelum gencatan senjata diumumkan.
Analis menyebut kenaikan ini wajar. India juga menambah anggaran pertahanan menjadi US$78,7 miliar. Namun, berbeda dengan India, Pakistan juga menghadapi tekanan IMF untuk mengefisienkan belanja.
Kenaikan anggaran pertahanan: ‘tak terhindarkan dan perlu’?
Meski anggaran pertahanan naik signifikan, total belanja pemerintah dipangkas 17,57 triliun rupee (US$62 miliar).
Angkatan Darat, lembaga terkuat di Pakistan, mendapat alokasi terbesar (46% dari total anggaran pertahanan). Sementara, AU dan AL masing-masing menerima sekitar 520 miliar dan 265,9 miliar rupee.
Laporan SIPRI April lalu mencatat belanja militer global mencapai US$2,7 triliun pada 2024—kenaikan tertajam sejak Perang Dingin.
Ekonom Hina Shaikh menyebut langkah Pakistan mencerminkan prioritas keamanan di tengah ketegangan geopolitik. Namun, kenaikan ini terjadi saat pemulihan ekonomi masih rapuh.
Menyeimbangkan fiskal di tengah utang
Tantangan utama pemerintah adalah membiayai pertahanan tanpa mengorbankan sektor sosial.
Utang luar negeri Pakistan mencapai US$87,4 miliar, dengan pembayaran bunga hampir 47% dari total belanja.
Anggaran terbaru memangkas subsidi dan memperluas basis pajak. Namun, oposisi mengecamnya sebagai "anti-rakyat".
Stabilisasi atau transformasi?
Ekonom Sajid Amin Javed menyebut kombinasi penurunan bunga utang dan pemotongan subsidi memberi ruang fiskal. Namun, belanja pertahanan Pakistan—meski tinggi di Asia Selatan—ternyata lebih rendah dibanding banyak negara lain.
Hasanain dari LUMS menekankan perlunya reformasi struktural untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan pertahanan jangka panjang.
Prospek ekonomi: stabil tapi tanpa terobosan
Cadangan devisa Pakistan membaik dari US$3 miliar (2023) menjadi US$11 miliar berkat program IMF.
Namun, ekonom Shaikh menilai anggaran ini terlalu konservatif, minim investasi di kesehatan dan pendidikan.
"Hanya fokus pada stabilisasi makro, tanpa perubahan struktural," tandasnya.
Hasanain menambahkan, meski Pakistan mulai keluar dari krisis utang, reformasi mendasar masih terabaikan.
"Ketiadaan oposisi kuat membuat pemerintah kurang terdorong untuk melakukan perubahan," ujarnya.