Pemakaman lama dianggap sebagai tempat sunyi untuk refleksi, tetapi praktik berkabung yang berubah mendefinisikannya kembali sebagai ruang tak hanya bagi yang telah tiada.
“Di atas tanah, pemakaman juga tempat untuk yang hidup,” ujar Christian Jäger, direktur asosiasi pengurus pemakaman di Jerman.
Di banyak tempat, lahan seperti taman berfungsi sebagai paru-paru hijau bagi iklim mikro kota. Dan, lebih banyak lagi yang mungkin, kata asosiasi pengurus pemakaman, meski dalam batas wajar.
Meski tanah pemakaman masih dalam “tidur pulas,” kegiatan rekreasi dan acara sosial di pemakaman makin umum di beberapa negara.
Di negara-negara Skandinavia, sebuah studi kasus perencanaan kota mencatat minat besar mengubah pemakaman urban menjadi ruang rekreasi.
Studi berdasarkan wawancara di Norwegia dan Swedia memperlihatkan bahwa aktivitas tenang seperti jalan-jalan atau duduk diterima luas, tapi pandangan terbelah soal penggunaan lebih aktif seperti joging atau ajak anjing jalan.
Latar budaya dan agama, niat pribadi, dan desain pemakaman membentuk apa yang dianggap sopan, laporannya.
Di Jerman, beberapa kotamadya mendirikan kafe mobile di pemakaman. Sekali sebulan, sekitar 20 orang berkumpul untuk ngobrol di tengah pemakaman di Rheine, dekat perbatasan Belanda.
“Ngobrol, tertawa, bertukar ide—hal-hal ini juga bisa dilakukan di pemakaman,” kata Anna Held, petugas pastoral paroki Katolik di distrik Eschendorf.
Program ini menyatukan orang-orang yang biasanya hanya mengunjungi makam orang tercinta dalam duka sunyi, katanya.
Pemahaman baru tentang duka menunjukan bahwa, tak seperti pendekatan Barat tradisional yang cenderung memutus ikatan, orang kini berusaha menjaga hubungan dengan almarhum dan mengintegrasikan kenangan mereka dalam hidup walau tak ada lagi.
Banyak budaya di dunia punya cara berkabung yang secara terbuka memandang kematian sebagai bagian hidup yang layak dirayakan. Misalnya, “Hari Orang Mati” di Meksiko dirayakan tiap tahun saat keluarga menghormati dan mengenang orang tercinta dengan musik dan perayaan.
Ruang dan ritual peringatan pun berubah.
Beberapa pemakaman menggelar acara dengan musik dan pencahayaan. Di Dusseldorf, Jerman, acara Hari Semua Orang Kudus memungkinkan pelayat yang mengunjungi Pemakaman Utara kota itu mengalami ruang sebagai pusat budaya dan alam di tengah kota.
Fitur acara termasuk musik folk dan jazz, pohon dan nisan yang diterangi warna-warni plus tur obor.
Beragam warna dan kreativitas juga makin berperan dalam pemakaman. “Satu hal yang kami amati beberapa tahu terakhir adalah perpisahan jadi jauh lebih berwarna,” kata Jäger. Seringkali, saat masih hidup, orang memutuskan bagaimana mereka ingin dilepas, katanya.
“Tamu kadang datang ke upacara pemakaman dengan pakaian warna-warni cerah.”
Yang lain menggelar upacara di ruang berbeda, kata Marie Thiermann dari rumah duka Lebenslicht di Dusseldorf—yang artinya cahaya hidup. “Sebagian besar waktu, hidup itu berwarna dan beragam,” katanya, jadi upacara perpisahan dan pemakaman mestinya tak beda.
Guci dan peti mati bisa dicat warna cerah. Orang-orang menggelar apa yang Thiermann sebut “perayaan hidup” di kebun binatang, pub, atau arena berkuda dalam ruangan.
Tak perlu ada batas untuk kreativitas yang terlibat, katanya, “entah kami pakai tanah dari pemakaman, serbuk gergaji dari bengkel kakek, atau konfeti untuk mengenang almarhum penyelenggara karnaval.”
Makamnya sendiri juga bisa berwarna-warni. “Daun dalam angin” adalah salah satu jenis pemakaman yang dimungkinkan di pemakaman Würselen dekat Aachen.
Ini melibatkan daun kaca berwarna yang bisa diukir nama almarhum dan mengambang pada rangka dari tabung baja tipis. Almarhum dimakamkan di bawah instalasi daun dalam makam guci bersama.
Tren baru? Kode QR digital di nisan.
Ada banyak cara mengucapkan selamat tingal, tak hanya di pemakaman tapi juga daring. “Kami telah menjadi masyarakat yang sangat tercerai-berai,” kata Jäger. Seringkali, kini, orang memilih merayakan perpisahan hibrid, seperti lewat situs duka daring tempat keluarga dan teman bisa mengunggah foto atau film.
Sebuah nisan tak biasa punya kode QR terukir setelah pembawa acara TV dan jurnalis sains Jean Pütz memberi tahu beberapa media bahwa ia ingin nisannya punya kode yang bisa di-scan orang untuk melihat video yang ia rekam beberapa tahun lalu.
Nisannya bukan satu-satunya yang dilengkapi untuk pengunjung melek digital. Makam penemu Heinz Kunert di Pemakaman Melaten, Koln, juga punya kode QR yang menyediakan informasi tentang hidupnya.
Jäger belum pernah melihat kode QR di nisan sebelumnya tapi mengatakan yang makin umum adalah orang merencanakan dan memilih upacara pemakaman, penguburan, dan tempat peristirahatan semasa hidup.
Itu menunjukan “kematian bukan lagi topik tabu,” katanya.