Negosiator diplomatik utama Amerika Serikat, Steve Witkoff, mengunjungi Moskow pada Rabu dalam upaya terakhir untuk membujuk Presiden Rusia Vladimir Putin menyetujui gencatan senjata dengan Ukraina sebelum tenggat waktu 8 Agustus yang ditetapkan Presiden Donald Trump.
Setelah pertemuan Witkoff dengan Putin, Gedung Putih menyatakan bahwa Rusia meminta pertemuan dengan Trump. Presiden AS itu, menurut Gedung Putih, terbuka untuk bertemu baik Putin maupun Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Trump, yang dalam kampanye pemilihannya menjanjikan bisa mengakhiri perang Rusia-Ukraina dalam 24 jam jika berkuasa, sejauh ini gagal memediasi gencatan meski telah berbulan-bulan melakukan diplomasi intensif, pembicaraan langsung Moskow-Kyiv, dan panggilan telepon dengan Putin.
Semakin frustasi oleh keengganan Putin menyetujui jeda pertempuran tanpa syarat-syarat yang tak bisa diterima Ukraina atau Barat, Trump mengancam akan memberlakukan gelombang baru sanksi ekonomi terhadap Rusia jika negara itu menolak gencatan.
Sejak invasi penuh Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, AS dan sekutunya, termasuk Inggris dan Uni Eropa, telah menjatuhkan lebih dari 21.000 sanksi terhadap ekonomi Rusia.
Tapi tarif baru yang diancam Trump berbeda dari sanksi-sanksi sebelumnya. Kali ini, ia menargetkan Rusia dengan memukul mitra dagangnya, berharap mereka berhenti membeli atau menjual ke Moskow.
Namun, tarif sekunder ini juga membawa risiko bagi AS dan sekutunya.
Apa itu tarif sekunder yang diancam Trump?
Pertengahan Juli lalu, ketika perundingan damai mandek meski upaya Trump, presiden AS itu mengancam Rusia dengan tarif sekunder 100 persen jika tak bergerak ke gencatan. Dia memberi Kremlin tenggat 50 hari untuk bekerja sama.
Usai Moskow menegaskan tak akan menyerah pada tekanan AS, Trump memajukan batas waktu itu menjadi 8 Agustus. Belum jelas apakah keterbukaan Trump untuk bertemu Putin dan Zelenskyy usai kunjungan Witkoff mengubah tenggat tersebut.
Pada Rabu, Trump menggandakan tarif impor India dari 25 persen—yang diumumkannya akhir Juli—menjadi 50 persen, sebagai hukuman atas penolakan New Delhi menghentikan pembelian minyak Rusia. Itu membuat India, bersama Brasil, jadi negara dengan tarif AS tertinggi saat ini.
Jika tarif sekunder Trump berlaku, barang yang AS impor dari negara-negara yang masih dagang dengan Rusia akan dikenai bea tambahan 100 persen di atas tarif yang sudah ada.
Ini setidaknya melipatgandakan harga produk-produk tersebut, membuatnya kurang kompetitif di pasar AS.
Tujuan tarif ini adalah mendesak mitra dagang Rusia untuk berhenti berbisnis dengannya, mengisolasi ekonominya dan memangkas pendapatan ekspor—terutama energi.
Meski sudah disanksi, sejak 2022 Rusia terus mendapat lebih dari 500 juta euro ($580 juta) per hari dari ekspor energi. Ini bakal terganggu jika negara-negara berhenti membeli minyak dan gas Rusia.
Negara apa saja yang terancam tarif sekunder Trump?
Negara yang paling terpukul adalah:
Tiongkok: Sekutu terpenting Rusia, Tiongkok adalah konsumen terbesar ekspor negara tetangga utaranya. Pada 2023, Tiongkok membeli hampir sepertiga total ekspor Rusia, termasuk separuh ekspor minyaknya.
India: Sejak 2022, India membeli crude Rusia besar-besaran, mencakup 40 persen ekspor minyak Rusia pada 2023. Tahun itu, 17 persen ekspor Rusia ditujukan ke India. Trump sudah mengenakan tarif 25 persen ke barang India, lalu menggandakannya jadi 50 persen pada Rabu sebagai hukuman.
Turkiye: Pembeli energi Rusia terbesar ketiga, 8 persen ekspor Rusia pada 2023 dikirim ke Turkiye—sekutu NATO AS.
Turkiye bukan satu-satunya sekutu yang bisa kena imbas jika Trump benar-benar menarget semua pedagang dengan Rusia.
Apakah sekutu AS bisa terkena?
Menanggapi ancaman Barat atas hubungannya dengan Rusia, India mengingatkan perdagangan Uni Eropa sendiri dengan Moskow. Meski merosot sejak 2022, nilainya masih besar.
Menurut UE, total perdagangannya dengan Rusia senilai 67,5 miliar euro ($77,9 miliar) pada 2024. Sementara, perdagangan India-Rusia pada 2024-25 mencapai $68,7 miliar.
Blok itu masih sangat bergantung pada gas alam cair (LNG) Rusia. Bahkan, impor LNG Rusia oleh UE naik 9 persen pada 2024 dibanding tahun sebelumnya.
Eropa sudah kena tarif 15 persen dari Trump. Akankah dia menghukum pendukung terdekatnya demi tekan Rusia mengakhiri perang?
Apakah AS juga berisiko?
Bukan hanya sekutu—tarif sekunder terhadap pedagang dengan Rusia juga berisiko untuk AS sendiri.
Tim Trump kini sedang menyusun kesepakatan dagang dengan Tiongkok, yang telah meredakan perang tarif dua ekonomi terbesar dunia itu.
Gencatan senjata itu akan hancur jika Trump mengenakan tarif 100 persen ke barang Tiongkok hanya karena Beijing masih berdagang dengan Rusia.
Tiongkok, Eropa, dan India adalah pemasok utama barang ke AS: Jika harga produk—mulai pakaian, lampu, hingga iPhone—naik dua kali lipat, konsumen AS yang akan merasakan dampaknya.
AS juga membeli bahan kimia dari Rusia, termasuk uranium heksafluorida untuk pengayaan uranium.
Akankah India dan Tiongkok berhenti beli energi Rusia?
Sepertinya tidak. Tiongkok tetap beli minyak Iran meski ada sanksi AS—apalagi Rusia yang bisa dibilang adalah mitra strategis terdekatnya.
India juga belum menunjukkan tanda-tanda melemahkan hubungan dengan Rusia. Witkoff bukan satu-satunya utusan asing yang mengunjungi Moskow saat ini. Penasihat Keamanan Nasional India Ajit Doval juga ada di ibu kota Rusia itu. Menteri Luar Negeri India S Jaishankar dijadwalkan berkunjung akhir bulan ini, dan India telah mengumumkan rencana menerima Putin sebelum akhir tahun.
Pada Rabu, India menyebut tarif 50 persen Trump sebagai “tidak adil, tidak berdasar, dan tidak masuk akal”, menegaskan pembelian minyak Rusia didasari kebutuhan keamanan energi bagi 1,4 miliar penduduknya.