Sebagian dari peningkatan ini disebabkan IDF berhasil mengusir Hezbollah sejak gencatan senjata November 2024, dengan tidak adanya pasukan Hezbollah di Lebanon selatan dan tidak ada lagi roket yang ditembakkan ke Israel sejak Desember.
IDF menyatakan bahwa 74% warga Israel telah kembali ke kota-kota perbatasan utara dari total 60.000-80.000 orang yang mengungsi saat puncak perang.
Ini merupakan peningkatan signifikan dibanding beberapa bulan lalu, ketika jumlahnya masih diperkirakan sekitar 30-40%.
Sebagian alasannya tampak karena IDF berhasil membuat Hezbollah terusir sejak gencatan senjata November 2024, dengan hampir tak ada pasukan mereka di Lebanon selatan dan tidak ada serangan roket ke Israel sejak Desember.
Selain itu, keluarga yang mengungsi ke wilayah Israel tengah menunggu tahun ajaran berakhir sebelum kembali ke utara sebelum tahun sekolah baru dimulai 1 September.
Meski berita ini positif, tingkat kepulangan sangat tidak merata.
Di komunitas seperti Shlomi, tingkat kepulangan mencapai hampir 100%.
Sebaliknya, di tempat seperti Metula yang lebih parah dampak serangan Hezbollah, angka kepulangan baru mencapai 30%.
Ada juga lingkungan di Manara yang nyaris hancur total, dan belum ada upaya rekonstruksi karena berbagai faktor lokal.
Kementerian Pertahanan memang mulai memperbanyak ruang aman dan shelter, tapi progresnya lambat dan kurang serius.
Pada Februari, The Jerusalem Post mengunjungi berbagai lokasi perbatasan Lebanon termasuk Metula, Kiryat Shmona, dan Kfar Giladi, untuk melihat langsung perubahan kehidupan warga dan tentara pasca-gencatan senjata 27 November, serta menilai rasa aman mereka setelah penarikan IDF.
Waktu itu, Juru Bicara Kiryat Shmona Doron Shneper mengatakan, “Kami tak butuh pos-pos ini jika IDF sudah menyingkirkan Hezbollah.”
“Ini kesalahan historis. Generasi mendatang akan menyesal karena Israel bisa mengubah realitas di perbatasan utara dengan determinasi lebih untuk mencegah perang dan menciptakan perdamaian dengan membersihkan wilayah dari Hezbollah,” ujarnya.
Shneper menambahkan, “Ini bukan hanya untuk kepentingan kami, tapi juga rakyat Lebanon. Di mana lagi organisasi teror bisa menguasai negara sementara dunia diam? Warga Lebanon lebih mendukung IDF daripada sebagian orang Israel. Siapa yang paling menderita karena Hezbollah setiap hari? Mereka!”
Namun, banyak pejabat utara kemudian memuji IDF yang tetap agresif terhadap Hezbollah meski tidak sepenuhnya menghancurkannnya dengan invasi darat seperti yang diharapkan.
Sumber keamanan pada Februari menjelaskan bahwa sisi timur Metula lebih terlindungi oleh pos IDF, sementara sisi barat nyaris tak dapat perlindungan.
Beberapa tentara juga menyayangkan pembatalan beberapa pos tambahan yang sebenarnya memberi titik pandang strategis, tapi dihapus untuk menghindari gesekan dengan desa-desa Lebanon terdekat.
Kelima pos yang dipilih dianggap seimbang—memberi peringatan dini serangan sekaligus menjaga jarak untuk minimalkan konflik.
Sumber IDF menegaskan bahwa kelima pos itu tidak mengurangi keamanan Israel dan justru memberi “dominasi operasional” dalam hal intelijen dan pencegahan invasi.
Warga Metula mengaku kurang aman pasca-penarikan IDF dari Lebanon selatan, tapi merasa lebih aman dibanding sebelum 7 Oktober 2023 karena jumlah pasukan penjaga tiga kali lipat.
Alasan beberapa warga enggan pulang bervariasi: protes karena Hezbollah tidak dilucuti atau IDF tidak mempertahankan zona keamanan permanen di Lebanon selatan.
Yang lain khawatir meski saat ini lima pos dan pasukan tambahan cukup melindungi dari Hezbollah yang melemah, dalam 3-5 tahun mereka bisa bangkit kembali sementara kewaspadaan Israel mungkin mengendur.
Di Kiryat Shmona, Metula, dan Kfar Giladi, banyak infrastruktur publik dan layanan—termasuk sekolah—belum siap menampung warga yang kembali per 2 Maret, ketika banyak subsidi berakhir.
Perbaikan rumah-rumah di Metula masih berlanjut; beberapa membutuhkan waktu tahunan.
The Post pada Februari kembali mengunjungi rumah Zami Ravid di Metula, yang terkena serangan berkali-kali setelah 50 tahun dihuni (terakhir dikunjungi Desember 2024).
Lantai dua rumahnya hancur dan menyebabkan sebagian lantai satu runtuh. Beberapa rumah di jalan yang sama juga terkena serangan yang sama.
Hingga Februari, belum ada kemajuan rekonstruksi karena proses lelang pengembang dan pembiayaan yang tertunda.
Sebanyak 40% warga di tiga kota tersebut mungkin tak akan kembali karena trauma serangan, ketakutan baru pasca-7 Oktober, dan sudah terbiasa hidup baru selama 17 bulan.
Pemerintah perlu memberi insentif finansial untuk menarik keluarga baru ke utara menggantikan warga lama.
Candice Omerod dari Kfar Giladi menyebut beberapa warga tidak pulang karena pemerintah ingkar janji biaya ruang aman. Awalnya, desa yang hanya 1 km dari perbatasan dijanjikan penggantian penuh, tapi kemudian dikurangi akibat defisit anggaran—membebani warga dengan biaya 20.000-70.000 shekel yang tak terjangkau.