Buka White House Watch newsletter gratis!
Panduan kamu buat tau apa arti masa jabatan kedua Trump buat Washington, bisnis, dan dunia.
Penulis ini dulu pejabat senior di Dewan Keamanan Nasional AS dan departemen luar negeri.
Butuh waktu lama—bertahun-tahun—sebelum kita tau apakah serangan AS ke Iran hari Sabtu "sangat sukses," kayak kata Presiden Donald Trump beberapa jam setelah bom jatuh. Bom-bom itu kena target, dan serangan mungkin nunda program nuklir Iran selama berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Tapi itu beda jauh dari jaminan "sukses."
Pertanyaan jangka pendek: apakah situs pengayaan bawah tanah di Fordow benar-benar rusak dan berapa lama, serta berapa banyak uranium yang sudah diperkaya Iran hancur. Sebelum serangan, Iran punya lebih dari 400kg uranium tinggi, mungkin disimpan dalam wadah kecil dan tersebar di berbagai tempat rahasia. Kalau sebagian kecil aja selamat dari serangan, Iran masih punya cukup bahan buat beberapa bom nuklir.
Dalam jangka panjang, efek serangan pada ambisi nuklir Iran jadi masalah utama. Skenario terbaik: Iran sadar usaha selama puluhan tahun buat bikin senjata nuklir justru merugikan mereka. Tapi pemimpin Iran lebih mungkin mikir bahwa hanya senjata nuklir yang bisa lindungi mereka, dan mereka akan lanjutkan proses itu—kayak Saddam Hussein setelah Israel bom program nuklirnya tahun 1981. Iran itu negara besar, penduduknya 90 juta, punya banyak ahli nuklir, dan mungkin bakal tinggalkan komitmen non-proliferasi serta menolak inspeksi. Mereka bisa lanjutkan kegiatan nuklir kecuali AS dan Israel terus-terusan menyerang.
Kunci kesuksesan jangka panjang adalah hindari eskalasi militer yang bisa narik AS lebih dalam ke perang dan bikin Iran lebih mungkin lanjutin program nuklir. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, ancam AS dengan "kerusakan permanen" kalau AS ikut perang, tapi sebenarnya pilihannya sangat terbatas. Jaringan proxy Iran sudah lemah, rudal balistiknya berkurang, pertahanan udaranya hancur, jadi rentan serangan balik AS atau Israel.
Iran masih punya banyak rudal jarak pendek yang bisa kena pasukan dan pangkalan AS di Timur Tengah, juga ranjau dan aset laut yang bisa tutup Selat Hormuz sementara, naikkan harga minyak dan rugikan Barat. Tapi langkah-langkah ini hampir pasti picu balasan kuat dari AS, seperti ancaman Trump. Tujuan utama rezim Iran adalah bertahan berkuasa, makanya mereka cari senjata nuklir. Kalau mereka bales dan narik AS lebih dalam ke perang, itu bisa lebih ancam rezim mereka daripada kehilangan program nuklir.
Sulit bayangin Iran gak bales sama sekali setelah serangan AS ke fasilitas nuklirnya. Mereka mungkin tembak lebih banyak rudal ke Israel, suruh proxy di Yaman, Irak, dan Syria serang pangkalan AS atau target Israel, atau coba tenggelamkan kapal tanker minyak buat tunjukin keseriusan dan jaga kredibilitas di mata publik. Tapi kalau pinter, mereka akan atur respons agar gak picu eskalasi total—kayak waktu Israel serang situs militer Iran Oktober lalu, Iran marah tapi gak eskalasi karena pilihannya buruk.
Tentu, Iran juga bisa pilih strategi sebaliknya: sengaja bunuh orang Amerika dan narik AS lebih dalam, harap AS gak mau perang mahal lagi di Timur Tengah, dan basis pendukung MAGA Trump bakal protes kalau korban jiwa dan biaya perang meningkat.
Trump sendiri sangat berkepentingan hindari skenario itu dan bisa bantu dengan kirim sinyal tepat ke Teheran. Beberapa orang mungkin bilang satu-satunya cara hentikan program nuklir Iran adalah gulingkan rezimnya, tapi itu cara tercepat narik AS ke perang lebih dalam.
Sebalinya, Trump harus singkirkan ide ganti rezim dan kasih tau pemimpin Iran bahwa mereka akan bayar mahal kalau bales serangan AS, tapi de-eskalasi bahkan kerja sama masih mungkin. Kalau pemimpin Iran percaya bahwa berhenti sekarang bisa selamatkan kekuasaan mereka, dan mungkin buka jalan buat penghapusan sanksi, mereka mungkin lakukan itu mengingat pilihan lain mereka sangat buruk.
Serangan Trump ke Iran itu langkah besar dan gak perlu. Tapi buat jadi sukses, tergantung pada keputusan penting dalam beberapa hari ke depan.