Walopun banyak yang ragu dengan AI di perusahaan, tiga pemimpin dari Microsoft, Bloomberg Beta, dan startup AI bertemu di konferensi Fortune’s Most Powerful Women minggu lalu dengan pesan yang sama: tingginya angka kegagalan bukanlah masalah dalam adopsi AI—itu adalah bagian dari proses belajar memahami cara kerja teknologi transformatif ini.
Diskusi panel yang berjudul “Working it out: How AI is transforming the office,” membahas sebuah studi dari MIT yang menyebutkan bahwa sekitar 95% pilot proyek AI di perusahaan gagal memberikan hasil. Statistik ini membuat banyak orang ragu apakah AI bisa menepati janjinya. Tapi ketiga panelis—Amy Coleman dari Microsoft, Karin Klein dari Bloomberg Beta, dan Jessica Wu dari Sola—menentang narasi bahwa kegagalan berarti ada masalah mendasar dengan teknologi ini.
Klein bilang, "Kita masih di tahap awal. Tentu saja akan ada banyak eksperimen yang tidak berhasil. Tapi, apa ada orang yang bisa naik sepeda pada percobaan pertama? Tidak. Kita bangun, kita lanjut mencoba, dan akhirnya bisa. Sama halnya dengan AI."
Klein juga mendorong audiens untuk menjadi "pemrogram ala kadarnya" (vibe coders), yaitu orang yang pakai alat AI yang mudah untuk bikin aplikasi tanpa latar belakang pemrograman tradisional. Coleman setuju dan bilang, "Ini semua soal eksperimen."
Eksekutif Microsoft itu menekankan bahwa menciptakan budaya organisasi yang tepat lebih penting daripada teknologinya sendiri. Wu menambahkan konteks soal temuan MIT. Menurutnya, tingkat keberhasilan untuk teknologi besar di perusahaan sebelumnya juga tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 10% atau lebih rendah.
Wu bilang, perusahaannya, Sola, membangun alat otomasi proses yang membantu perusahaan mengotomasi pekerjaan kantor. Dia tekankan bahwa karena banyak sekali eksperimen AI yang dilakukan sekarang, wajar jika tingkat keberhasilannya lebih rendah.
Pembicaraan berlanjut ke apa yang dibutuhkan untuk penerapan AI yang sukses. Coleman tekankan pentingnya membangun "kefasihan AI" di seluruh tenaga kerja dan pendekatan kolaboratif. Dia juga menentang anggapan bahwa antusiasme terhadap AI mengurangi nilai kerja manusia.
Wu jelaskan apa yang dia lihat dalam penerapan yang sukses: kombinasi dukungan dari pimpinan dan keterlibatan dari karyawan yang memahami alur kerja sehari-hari. Klein tekankan bahwa eksperimen tidak perlu dalam skala besar, bisa dimulai dari kehidupan pribadi.
Ketika ditanya kondisi seperti apa yang diperlukan agar transformasi AI berhasil, Coleman menjawab: "Kamu harus bisa menerima kegagalan. Kamu harus bisa menerima kekacauan. Kita sedang membicarakan titik awal dari transformasi ini." Kamu harus siap untuk eksperimen, dan harus terima bahwa jalannya akan naik turun tidak rata.
Dia nambahin bahwa perusahaan perlu menerapkan apa yang dia sebut "organisasi pembelajar," dimana "para manajer harus berhenti menilai tugas dan mulai mengajar pembelajaran." Kondisi kuncinya, katanya, termasuk "kerentanan dan keberanian" saat organisasi menghadapi teknologi yang bergerak lebih cepat dari perubahan sebelumnya.
Diskusi itu nunjukin ketegangan utama yang dihadapi perusahaan: resiko jika terlalu lambat mengadopsi AI mungkin akhirnya lebih besar daripada resiko eksperimen itu sendiri.
Kamu bisa tonton diskusi lengkapnya dari acara Fortune’s Most Powerful Women di bawah ini:
Untuk cerita ini, Fortune pake AI generatif untuk bantu buat draft awal. Seorang editor memastikan keakuratan informasinya sebelum diterbitkan.