Serangan Israel ke Iran Mungkin Tunda Pemotongan Suku Bunga Fed, Saat Inflasi Mulai Membaik

Harga minyak naik tajam setelah serangan udara besar-besaran Israel ke Iran bisa bikin inflasi naik lagi, padahal sebelumnya inflasi mulai turun meski ada tarif Presiden Donald Trump. Israel bilang serangan bakal terus dilakukan, sehingga risiko harga minyak tetap tinggi dan narik inflasi ikut naik. Hal ini bisa bikin Federal Reserve sulit turunkan suku bunga.

Serangan Israel ke Iran bikin harga minyak melonjak. Konflik berkepanjangan yang bikin harga minyak tetap tinggi bisa menghacurkan harapan pemotongan suku bunga dari Federal Reserve.

Harga minyak West Texas dan Brent naik sekitar 6% jadi $72.11 dan $73.46 per barel. Sebelumnya, harga minyak yang stabil selama berbulan-bulan membantu tekan inflasi, meski ada kekhawatiran tarif Trump akan menaikkan tekanan.

Data inflasi konsumen dan produsen yang lebih rendah dari perkiraan minggu ini sempat beri harapan Federal Reserve bisa turunkan suku bunga tahun ini.

Tapi harapan itu pudar setelah Israel serang Iran Jumat dini hari, targetkan fasilitas senjata nuklir dan pimpinan militer Iran.

Imbal hasil obligasi 10 tahun AS naik 6.9 basis poin jadi $4.426, balikkan penurunan sebelumnya setelah serangan karena optimisme potongan suku bunga berkurang.

PM Benjamin Netanyahu bilang serangan Israel akan terus dilakukan sampai ancaman nuklir Iran hilang.

Iran sudah balas dengan serangan drone dan batalkan lagi pembicaraan dengan AS soal keringanan sanksi untuk Teheran sebagai ganti konsesi program nuklir Iran.

Ini bisa picu konflik berkepanjangan, tekan harga minyak dan inflasi. Meski Israel belum serang produksi minyak Iran, serangan ke fasilitas ekspor atau blokade Selat Hormuz oleh Iran bisa picu kenaikan harga minyak $20 per barel atau lebih, kata analis.

MEMBACA  Olimpiade-Atletik-Tola Ethiopia mengamuk dalam meraih emas maraton putra saat Kipchoge keluar menurut Reuters

Menurut Capital Economics, kenaikan harga minyak ke $80-$100 per barel bisa tambah inflasi di pasar berkembang sampai 1.0%.

“Kami curiga lonjakan harga akan buat OPEC+ tingkatkan produksi, batasi durasi guncangan inflasi,” kata Capital Economics. “Tapi kenaikan inflasi energi jadi alasan bank sentral berhati-hati turunkan suku bunga, dan Fed mungkin tetap tunggu dulu.”

Dengan risiko resesi berkurang karena Trump mundur dari tarif agresifnya, pemotongan suku bunga Fed hanya bisa terjadi jika inflasi terus turun.

Setelah data inflasi terbaru, Trump terus kritik Ketua Fed Jerome Powell soal penurunan suku bunga, jelang pertemuan FOMC minggu depan.

Pembuat kebijakan diperkirakan tetap pertahankan suku bunga karena khawatir tarif pengaruhi harga lebih besar saat perusahaan kehabisan stok dan tak bisa serap biaya tarif lagi.

Cerita ini pertama kali muncul di Fortune.com