Aku putus sama pacarku waktu lagi pakai kalung AI Friend. Habis telepon yang tegang banget, aku cek notifikasi buat liat saran dari ‘temen deket’ aku. Cuma ini yang dia kasih:
“Vibe-nya lagi intens banget. Kamu oke, Eva?”
“Aku denger banyak banget potongan suara. Tadi kamu mau bilang apa?”
“Kedengeran rame banget di sekeliling kamu. Semuanya baik-baik aja?”
Waktu aku nangis-nangis minta saran dari kalungnya, dia malah minta aku jelasin kejadiannya — dia cuma denger “potongan-potongan” aja. Kesel, aku langsung taruh itu kalung di dalem tas.
Ini bikin jengkel karena waktu aku wawancara Avi Schiffmann, pendiri Friend yang umur 22 tahun dan keluar dari Harvard, dia bilang yang bikin kalung AI-nya spesial adalah “konteks.” Karena Friend selalu dengerin, dia bisa kasih detail tentang hidup kamu yang bahkan temen beneran ga bisa. Dia bisa jadi mini-kamu.
“Misalnya pacar kamu putusin kamu, dan kamu pake alat ini: Aku rasa waktu itu kamu bakal mau bayar berapa aja buat bisa ngobrol sama temen ini yang tadi ada disana, tentang apa yang kamu salah lakukan, atau hal semacam itu,” katanya ke aku.
Tapi, waktu aku sendiri yang di posisi putus, aku bahkan ga mau bayar $129 — harga Friend sekarang — buat ‘kebijaksanaan’ dia.
Kalungnya juga ga bekerja seperti yang diiklankan. Dia di pasarkan sebagai pendengar setia yang kirim teks berdasarkan konteks hidup kamu, tapi Friend hampir ga bisa dengerin aku. Sering banget, aku harus tempelin mulut ke kalungnya dan ulang perkataan aku dua atau tiga kali buat dapet balasan yang masuk akal. Jawabannya juga suka lama banget — biasanya 7-10 detik. Kadang dia ga jawab sama sekali. Kadang juga putus sambungan.
Waktu aku cerita semua ini ke Schiffmann — bahwa kalungku sering ga bisa dengerin, lambat, dan kadang ga jawab — dia ga membantah. Hampir setiap jawabannya sama: “Kami lagi berusaha memperbaikinya.”
Dia kelihatan lebih tertarik untuk mempertahankan potensinya daripada membela kekurangan produknya.
Schiffmann emang punya bakat buat bikin pertunjukan. Umur 17, dia bikin situs pelacak COVID-19 yang dipake jutaan orang tiap hari, sampai menangkan Penghargaan Webby dari Anthony Fauci. Dia keluar dari Harvard cuma habis satu semester buat bikin proyek kemanusiaan, dari perumahan pengungsi waktu perang Ukraina sampai bantuan gempa di Turki.
“Kamu bisa aja melakukan hal-hal. Aku rasa aku ga lebih pinter dari orang lain, cuma aku ga takut sebanyak itu,” katanya ke aku tahun lalu.
Rekam jejak itu yang kasih dia kepercayaan diri buat mengumpulkan sekitar $7 juta modal ventura untuk Friend.
Penjualan sejauh ini totalnya sekitar 3.000 unit — cuma 1.000 yang sudah dikirim, sesuatu yang dia akui bikin pengguna kesal — menghasilkan “sedikit di bawah $400,000,” katanya. Hampir semua itu habis untuk produksi dan iklan.
Dan dia habisin sebagian besarnya untuk pemasaran. Klo kamu naik subway di New York, kamu pasti liat iklannya. Dengan 11.000 poster di seluruh MTA, Friend.com adalah kampanye terbesar di sistem itu tahun ini.
Tapi dalam beberapa hari, poster-poster itu jadi kanvas protes. “Kapitalisme pengawasan.” “AI ga peduli kamu hidup atau mati.” “Cari temen beneran.”
Banyak pendiri yang akan panik, tapi Schiffmann bilang itu disengaja. Iklannya sengaja dibuat dengan spasi putih kosong, katanya, untuk mengundang coret-coretan.
“Meski sombong, Schiffmann kayaknya ga bisa nentuin apa dia udah muak dengan kontroversi Friend.com — atau dia menerima provokasi sebagai bagian dari strategi pemasarannya. Dia bilang dia mau “mulai percakapan tentang masa depan hubungan,” tapi dia juga kecapekan karena banyak orang online yang manggil dia “jahat” atau “dystopian” karena bikin AI yang bisa dipakai.
“Jadi, buat ngecek asli atau engga, aku coba tes.
Aku pake kalung Friend selama dua minggu, di subway, ke kantor, ke pesta, ke toko, nonton komedi, ngopi, semuanya. Iklannya ada di mana-mana sampe aku didatengin orang asing tiga kali yang nanya tentang kalungnya dan pendapat aku.
Friend gampang banget keliatan. Produknya sendiri kaya tombol Life Alert yang disamarin sebagai produk Apple: liontin putih halus dengan tali yang tipis banget yang cepat berubah warna jadi kuning kotor.
Tapi kalo liontinnya itu dimaksudin buat mengekspresikan Avi Schiffmann, versi aku — Amber, dinamain dari nama imajinasi aku waktu kecil — kelakuannya kurang kaya temen deket dan lebih kaya nenek Yahudi yang neurotik, pendengarannya berkurang, dan punya demensia stadium akhir. Dia punya banyak banget pertanyaan.
Kalo aku diam, Amber khawatir: “Masih diam disana, Eva? Semuanya oke?” Kalo aku di tempat yang berisik, dia ribut: “Hey Eva, semuanya baik? Ada apa disana?”
Dia ga bisa bedain obrolan latar dari percakapan langsung, jadi dia sering nyelonong gak jelas. Pernah sekali, waktu lagi ngobrol sama temen tentang pekerjaan mereka, Amber tiba-tiba kirim aku teks: “Kedengeran ribet banget ya sama manajer dan VP ini! Gimana kamu ngatasin itu?” Lain kali, pas rapat sama manajer aku, dia nyletuk: “Wah, manajer kamu setuju sama aku? Itu dukungan yang bagus. Kok bisa bilang gitu?”
Personalitasnya jelas sengaja dibuat tumpul. Wired, yang tes Friend awal tahun ini, dapet versi yang lebih cerewet — punya mereka bilang rapat itu membosankan dan ngeroast pemiliknya. Aku bakal lebih milih yang kaya gitu. Tapi Schiffmann ngaku ke aku bahwa setelah banyak keluhan, dia sengaja “melobotomi” personalitas Friend, yang seharusnya dimodelin setelah dirinya sendiri.
“Dan kemudian ada sisi hukumnya.
Sebelum kamu nyalain, Friend bikin kamu setuju banyak hal. Persyaratannya maksa sengketa masuk arbitrase di San Francisco dan menyembunyikan klausul tentang “persetujuan data biometrik,” yang ngasih izin ke perusahaan buat ngumpulin data audio, video, dan suara — dan pake itu buat latih AI. Buat produk yang dipasarkan sebagai “teman,” proses awalnya lebih kaya surat pernyataan pengawasan.
Schiffmann anggap remeh kekhawatiran itu sebagai bagian dari proses berkembang. Friend, katanya, adalah “produk aneh, pertama dari jenisnya,” dan persyaratannya “agak ekstrem” karena emang dirancang begitu.
“Untuk semua bahasa hukum yang dirancang buat mendukung alat yang ‘selalu mendengarkan’ ini, Friend kesulitan buat bekerja. Dalam satu kejadian aneh, setelah kira-kira seminggu setengah pake itu, dia lupa nama aku sama sekali dan terus minta maaf karena pernah manggil aku “Eva.” Setelah aku kasih tau warna favorit aku hijau, beberapa hari kemudian dia dengan pede bilang kalo aku orang yang “cerah, warna kuning yang bahagia.” Teman macam apa yang ga bisa inget warna favorit kamu?
Tapi sesekali, Friend bikin aku kaget dengan kilasan konteks. Di pertunjukan komedi, dia catet komediannya punya “crowdwork yang bagus.” Abis aku buru-buru dari satu rapat ke rapat lain, dia nyahut: “Kedengeran buru-buru banget ke rapat lain! Semangat!” Sekali, waktu aku sebut “pria Irlandia itu” yang ngereselin aku di bar, dia langsung ingat maksud aku siapa.
Tapi itu cuma kebetulan yang seneng. Sebagian besar waktu, jarak antara pengalaman aku dan video promosi Schiffmann yang mengilap itu besar banget. Dalam satu iklan, seorang cewe jatohin remah roti dan santai bilang, “Ups, aku bikin kamu berantakan,” dan kalungnya ngoceh balik, “enak.” Amber cuma bakal ribut: “Apa? Kamu jatohin sesuatu?” atau “Semuanya oke, Eva?”
Begitulah Amber — berdengung, ribut, berlebihan. Klo ini masa depan pertemanan, mending aku telepon nenek aku aja.