Mencari talenta yang tepat sangat penting bagi suksesnya sebuah perusahaan. Banyak pemimpin yang bilang kesuksesan mereka karena punya tim terbaik di sekelilingnya. Lew Frankfort, mantan CEO dari perusahaan fashion Coach yang bernilai $5 miliar, dulunya sering menyesal karena merekrut orang yang salah.
Dari pengalamannya, dia menciptakan strategi wawancara yang disebut “wawancara mendalam”. Strategi ini termasuk menilai kecerdasan emosional (EQ) dan mengurutkan 80 macam skill. Dia mengembangkan tekniknya supaya bisa dapat karyawan yang hebat dan mengurangi kesalahan.
Frankfort menghabiskan hampir seluruh karirnya di Coach, menjadi CEO selama 29 tahun. Dengan tim terbaik, dia bisa mengembangkan bisnisnya dari pendapatan cuma $6 juta per tahun menjadi kerajaan bernilai miliaran dolar. Sekarang, dia pakai cara yang sama di perusahaan investasi barunya, Benvolio Group.
Kalau ada pelamar yang ingin bekerja langsung dengannya, mereka harus melalui proses yang sangat teliti dan terstruktur. Frankfort sendiri akan ketemu setiap pelamar. Mulai dari wawancara awal tentang latar belakang dan pengalaman kerja. Dia tanya banyak hal, dari masa kecil sampai pencapaian terbesar mereka.
### Tahap selanjutnya: Nilai EQ bos dan tes 80 skill
Tahap kedua dari proses wawancaranya agak tidak biasa. Dia minta kandidat untuk menilai kecerdasan emosional (EQ) bos mereka sebelumnya, dari skala 1 sampai 10. Katanya, kebanyakan orang kasih nilai 7, 8, atau 9. Kalau nilainya rendah, dia akan tanya lebih lanjut. Lalu, dia tanya apa kelebihan dan kekurangan mereka menurut bosnya.
“Ini membantu orang untuk deskripsikan diri mereka dengan lebih tepat,” kata mantan CEO Coach itu. “Ini juga memaksa untuk jadi lebih jujur, apalagi kalau kamu tau bosmu bisa saja saya hubungi.”
Bagian ketiga adalah penilaian diri sendiri yang mencakup lebih dari 80 skill. Ini adalah kemampuan yang Frankfort kumpulkan selama karir panjangnya, seperti kemampuan menilai orang, keberanian, rasa ingin tau, dan lain-lain. Calon karyawan kasih nilai sendiri untuk setiap skill dari 1 sampai 10. Nanti, Frankfort akan tanya lebih lanjut tentang skill yang dapat nilai tinggi.
“Penilaian ini memberi saya banyak informasi,” jelas Frankfort. “Saya cari kelompok skill yang nilainya sama, atau nilai yang aneh yang mungkin jadi masalah.”
Kalau ada kandidat yang kasih nilai rendah untuk suatu skill, dia akan tanya bagaimana skill itu bisa ditingkatkan. Tapi intinya, dia cari “tanda bahaya” atau hal-hal yang menunjukkan kandidat itu tidak cocok untuk posisinya. Dia akui dia masih suka kandidat yang karismatik dan percaya diri, tapi strategi detail ini membantunya mengurangi bias pribadi.
### CEO lain yang juga pakai tes kepribadian
Tes kepribadian sudah menjadi hal biasa bagi banyak pemimpin bisnis saat merekrut. Sekitar 80% perusahaan Fortune 500 pakai kuis seperti ini untuk menilai calon karyawan level atas.
Julia Hartz, CEO perusahaan tiket Eventbrite, menggunakan metode Hogan. Tes Hogan ini untuk melihat bagaimana gaya kepemimpinannya cocok dengan calon karyawan. Tes ini cukup mendalam dan bisa prediksi bagaimana seseorang bereaksi di tempat kerja.
“Pakai AI, saya bisa analisa di mana mungkin akan ada gesekan antara saya dan kandidat,” kata Hartz.
Lalu ada Loren Castle, CEO perusahaan adonan kuker Sweet Loren’s. Dia pakai kuis CliftonStrengths untuk menyaring karyawan yang baik. Tes 30 menit ini menganalisa skill unik, pola pikir, dan perilaku seseorang. Dia cari orang dengan sikap positif, passion, dan skill bekerja sama.
“Sulit untuk merekrut tim yang tepat. Itu bagian tersulitnya,” kata Castle. “Kita harus benar-benar pahami budaya perusahaan dan menarik orang-orang terbaik.”