Ketika China ingin mendirikan bank yang jadi tandingan Bank Dunia, mereka memilih Jin Liqun. Dia adalah ahli keuangan berpengalaman yang pernah kerja di Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Kementerian Keuangan China, dan China Investment Corporation. Sejak 2014, Jin adalah penggerak di balik Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Dia jadi presiden pertamanya mulai tahun 2016, selama sepuluh tahun.
Masa jabatan Jin yang sepuluh tahun itu berakhir pada 16 Januari. Dia akan menyerahkan kursi presiden kepada Zou Jiayi, mantan wakil menteri keuangan. Saat Jin memimpin AIIB sepuluh tahun lalu, dunia masih mendukung globalisasi dan integrasi ekonomi. Amerika Serikat dan China adalah kompetitor, bukan musuh. Sekarang dunia sudah berubah: Proteksionisme muncul lagi, negara-negara meninggalkan multilateralisme, dan AS dengan China berseteru.
AIIB berhasil mempertahankan lebih dari 100 anggotanya. Banyak dari negara anggota itu adalah sekutu dekat AS—seperti Jerman, Prancis, dan Inggris—atau punya ketegangan lama dengan Beijing, seperti India dan Filipina.
Tapi, bisakah AIIB—yang pemegang saham terbesarnya adalah China, dan terkait erat dengan keinginan Beijing untuk dilihat sebagai “pemangku kepentingan yang bertanggung jawab”—tetap netral di lingkungan internasional yang sekarang lebih terpolarisasi? Dan bisakah multilateralisme bertahan dengan pemerintahan “America First” di Washington?
Setelah puluhan tahun bekerja untuk organisasi multilateral—Bank Dunia, ADB, dan sekarang AIIB—Jin tetap mendukung multilateralisme dan optimis dengan masa depan tata kelola global.
“Saya rasa sangat tidak masuk akal kalau kita bertindak sendirian,” kata Jin dalam wawancara dengan Fortune. “Multilateralisme adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari.”
Mengapa China mendirikan AIIB?
Beijing mendirikan AIIB hampir sepuluh tahun lalu, pada 16 Januari 2016. Bank ini lahir setelah Krisis Keuangan Global, ketika pejabat China memikirkan cara terbaik menggunakan cadangan devisa negara mereka yang terus tumbuh. Beijing juga merasa tidak punya pengaruh yang cukup di lembaga ekonomi global besar, seperti IMF dan Bank Dunia, padahal China sudah jadi salah satu ekonomi terpenting di dunia.
Dengan aset $66 miliar, AIIB lebih kecil dibanding bank sejenis yang dipimpin AS, yaitu Bank Dunia ($411 miliar) dan Bank Pembangunan Asia ($130 miliar). Tapi AIIB dirancang sebagai lembaga pertama China untuk tata kelola global dan mencantumkan namanya sebagai pemimpin di bidang pembiayaan pembangunan.
Perundingan untuk mendirikan bank ini dimulai serius tahun 2014. Banyak ekonomi Asia seperti India dan Indonesia memilih bergabung. Lalu, awal 2015, Inggris bikin keputusan mengejutkan untuk ikut bergabung dengan AIIB; beberapa negara Barat lain seperti Prancis, Jerman, Australia, dan Kanada ikut juga.
Dua ekonomi besar memilih untuk tidak ikut. AS, di bawah pemerintahan Obama, memilih tidak gabung ke AIIB karena khawatir dengan standar tata kelola dan lingkungan. Jepang, sekutu keamanan terdekat AS di Asia Timur, juga menolak, alasannya karena masalah hak asasi manusia, lingkungan, dan utang.
“Mereka pilih tidak gabung, tapi kami tidak keberatan,” kata Jin. “Kami tetap menjaga hubungan kerja yang erat dengan lembaga keuangan dan regulator AS, juga perusahaan Jepang.” Dia melihat hubungan ini sebagai bukti sifat netral dan apolitis AIIB.
Mengapa China peduli dengan infrastruktur?
Sejak awal, Beijing coba membedakan AIIB dari Bank Dunia dan ADB dengan fokus pada infrastruktur. Jin percaya investasi infrastruktur adalah dasar dari ledakan ekonomi China kemudian.
“Tahun 1980, China tidak punya jalan tol, tidak ada rel listrik, tidak ada bandara modern, tidak ada apa-apa dalam hal infrastruktur modern,” kata Jin. “Tapi pada 1995, ekonomi China mulai lepas landas. Dari 1995, sektor lain—manufaktur, pengolahan—tumbuh pesat karena ada infrastruktur dasar.”
Meski begitu, Jin tidak melihat AIIB sebagai pesaing Bank Dunia dan ADB. Dia bilang dia “sangat terikat” dengan kedua bank itu karena pernah bekerja di sana. “Kita butuh sesuatu yang baru untuk hadapi tantangan baru, lakukan proyek dengan biaya lebih efektif, dan lebih tanggap.”
Apa rencana Jin Liqun selanjutnya?
Jin Liqun lahir tahun 1949, beberapa bulan sebelum Republik Rakyat China berdiri. Dia dikirim ke desa selama Revolusi Kebudayaan, menghabiskan sepuluh tahun pertama sebagai petani, lalu jadi guru. Dia kembali ke pendidikan tinggi tahun 1978, dapat gelar master Sastra Inggris dari Universitas Studi Asing Beijing.
Dari sana, karirnya berlanjut di berbagai lembaga keuangan China dan internasional: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Kementerian Keuangan China, dan China Investment Corporation.
Tahun 2014, Jin ditunjuk memimpin tim untuk membentuk AIIB. Lalu, tahun 2016, dia terpilih jadi presiden pertama AIIB.
“Ketegangan geopolitik itu seperti angin atau ombak di laut. Mereka akan mendorong kita ke sana-sini,” kata Jin. “Tapi kita harus navigasi kondisi yang sulit ini tanpa menyimpang dari sifat netral dan apolitis kita.”
Dia akui “laut tidak pernah tenang” selama sepuluh tahun dia menjabat. Terpilihnya Presiden AS Donald Trump tahun 2016 memperketat persaingan AS-China. Washington sekarang melihat keterlibatan China dalam tata kelola global sebagai ancaman bagi kekuasaan AS.
Negara lain juga memikirkan ulang keanggotaan mereka di AIIB: Kanada menangguhkan keanggotaannya tahun 2023 setelah seorang mantan direktur AIIB asal Kanada menyatakan adanya pengaruh Partai Komunis China di kepemimpinan bank. AIIB menyebut tuduhan itu “tidak berdasar dan mengecewakan”. China adalah pemegang saham terbesar AIIB, pegang sekitar 26% saham dengan hak suara. Sebagai perbandingan, AS pegang sekitar 16% saham dengan hak suara di Bank Dunia.
Meski begitu, beberapa negara yang punya hubungan tegang dengan China, seperti India dan Filipina, tetap menjaga hubungan mereka dengan AIIB. “Kami berhasil mengatasi banyak kesulitan yang muncul dari perselisihan antara beberapa anggota kami. Staf dari berbagai kebangsaan tidak jadi musuh hanya karena pemerintah mereka punya masalah satu sama lain. Kami tidak pernah punya masalah seperti itu.”