Pendidikan tinggi di Amerika itu bisnisnya pengetahuan. Tapi di ekonomi yang cepat berubah, mereka mulai kehilangan hubungan dengan pasar kerja yang seharusnya mereka layani.
Biaya kuliah naik, jumlah murid baru turun, dan susahnya cari kerja setelah lulus bikin banyak orang bertanya-tanya. Apakah kuliah masih worth it? Banyak kampus kecil yang tutup atau bergabung karena biaya operasional naik tapi peminatnya sedikit. Ini bukan masalah sendiri-sendiri. Ini tanda bahwa sistem pendidikan perlu diperbarui.
Tantangan sebenarnya bukan dari luar. Tapi dari strukturnya sendiri. Agar tetap bisa bersaing di ekonomi modern, pendidikan tinggi harus berubah. Mereka harus berhenti lihat diri sendiri sebagai bisnis yang berdiri sendiri, dan mulai lihat peran mereka dalam rantai pasokan bakat atau talent.
Perubahan ini butuh lebih dari sekedar tambal sulam program. Ini butuh pemikiran ulang tentang prioritas.
Selama ini, kampus dan universitas biasanya menjaga jarak dengan industri. Mereka beranggapan tujuannya adalah untuk menciptakan ilmu pengetahuan untuk ilmu itu sendiri. Teori adalah yang paling utama. Penerapan praktis sering dianggap kurang penting, atau bahkan disebut ‘vokasi’. Tapi dunia sudah berubah. Begitu juga ekspektasi dari para mahasiswa.
Lulusan sekarang menghadapi dunia kerja yang butuh kelincahan dan pengalaman praktek. Banyak yang mulai kerja sambil terbebani utang dan tanpa kemampuan yang cukup untuk langsung berkontribusi. Mahasiswa dan keluarga mulai mempertanyakan nilai investasi kuliah. Perusahaan juga mulai kehilangan sabar. Hal ini wajar saja. Pendidikan tinggi sudah telat untuk melakukan koreksi.
Di banyak kampus, gagasan untuk bekerja lebih erat dengan industri dilihat dengan hati-hati. Ada yang anggap itu bisa mengurangi tujuan akademis atau ancaman untuk kebebasan pengajar. Yang lain cuma takut dengan perubahan. Tapi keberatan-keberatan ini tidak tepat.
Mempersiapkan untuk karir tidak harus mengorbankan pembelajaran intelektual yang ketat. Nyatanya, lulusan yang paling siap kerja adalah mereka yang bisa berpikir kritis, berkomunikasi dengan baik, dan beradaptasi dengan situasi sulit. Ini bukan kemampuan tambahan saja. Ini adalah sifat-sifat yang justru dikembangkan oleh pembelajaran akademis yang ketat. Yang kurang adalah pengalaman nyata.
Di Kettering University, tempat saya menjabat sebagai presiden, kami punya model yang menggabungkan pembelajaran tradisional dengan keterlibatan langsung di dunia kerja. Program kerja sama atau co-op kami bukan cuma tambahan. Itu adalah fondasi dari model kami, dan sudah begitu selama lebih dari seratus tahun. Kami tidak lihat mahasiswa sebagai pelanggan. Kami lihat mereka sebagai calon profesional. Dan kami tidak perlukan perusahaan sebagai donatur. Kami perlukan mereka sebagai mitra.
Didirikan tahun 1919, Kettering dibeli oleh General Motors pada 1926 dan lama menjadi mesin pencetak bakat untuk GM. Sekarang, setiap mahasiswa Kettering bergantian antara belajar intensif di kampus selama 11 minggu dan bekerja dibayar di perusahaan selama 11 minggu juga. Mereka lulus dengan pengalaman kerja 2,5 tahun dan seringkali sudah menghasilkan lebih dari $100,000. Hampir 100% lulusan kami dapat kerja dalam beberapa bulan, seringnya di perusahaan tempat mereka magang.
Komitmen Kettering pada pendidikan co-op adalah perubahan orientasi. Dalam model kami, industri adalah kliennya. Mahasiswa adalah produknya. Dan tugas kami adalah mengembangkan produk itu dengan kedalaman intelektual dan kemampuan praktek.
Cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui pendidikan kooperatif: penempatan kerja formal yang dibimbing, dibayar, dan jadi bagian dari jadwal akademik. Konsep ini tidak baru. Tapi tidak semua model co-op sama bagusnya.
Agar tidak cuma jadi hiasan di CV, program ini harus punya prinsip utama. Pertama, harus terintegrasi dengan pelajaran dan sesuai bidang studi mahasiswa. Kedua, pekerjaannya harus bermutu dan ada supervisi, bukan cuma tugas administratif. Ketiga, harus dibayar, dan perusahaannya harus terlibat aktif. Keempat, harus diulang cukup sering untuk membangun keahlian, bukan cuma sekadar pengalaman sekali.
Ini semua tidak mengorbankan pelajaran dasar seperti filsafat, komunikasi, atau sejarah. Justru pelajaran itu memperkuat persiapan karir mereka.
Sekarang perusahaan pakai AI untuk otomatisasi tugas-tugas dasar, sehingga ekspektasi untuk karyawan manusia jadi lebih tinggi. Perusahaan cari lulusan yang bisa langsung masuk ke peran kompleks yang butuh pertimbangan. Tekanan pada kampus untuk menghasilkan lulusan yang benar-benar siap akan semakin besar.
Taruhannya nyata untuk sektor swasta. Kurangnya tenaga terampil dan jurang antara lulusan kampus dengan kebutuhan ekonomi bukan cuma masalah pendidikan. Ini adalah masalah daya saing nasional.
Pemimpin bisnis bisa berperan di sini. Dengan menjalin kemitraan yang lebih dalam dengan kampus, membentuk program co-op, menjadi mentor, dan mendukung kebijakan untuk pembelajaran praktek, perusahaan bisa membantu menutup kesenjangan ini. Ini bukan amal. Ini adalah strategi.
Masa depan pendidikan tinggi akan ditentukan oleh institusi yang paham pergeseran ini dan bertindak. Mereka yang tetap bertahan pada cara-cara lama akan terus tertinggal. Mereka yang beradaptasi tidak hanya akan bertahan, tapi akan menghasilkan lulusan yang siap memimpin.
Kami adalah pendidik. Tapi kami juga harus menjadi pembelajar. Dan saat ini, pelajarannya jelas: relevansi tidak diwariskan. Relevansi itu diraih.
Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan opini di Fortune.com adalah pandangan penulisnya sendiri dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.