Penulis, seorang editor kontributor FT, adalah CEO Royal Society of Arts dan mantan ekonom kepala di Bank Inggris.
Buat banyak pemerintah, pertumbuhan jadi tuhan baru. Bahkan di antara yang moderat, pertumbuhan mengisi pidato politik mereka. Bagi fanatik, termasuk pemerintah Inggris, pertumbuhan adalah misi terpenting dalam hidup. Ini bikin mereka seperti di neraka sementara, di mana setiap rilis GDP jadi alasan buat pesta (kalau bagus) atau pengakuan dosa (kalau buruk).
Loyalitas ke konsep statistik abstrak, yang gak masuk akal dan baru ada seabad lalu, aneh buat rakyat biasa. Tapi semangat ini muncul karena realitas ekonomi global baru: pertumbuhan melambat drastis. Di negara G7, tingkat pertumbuhan turun lebih dari setengah jika bandingin 25 tahun pertama abad 21 dengan 25 tahun terakhir abad 20.
Pelambatan ini bawa dampak buruk ke masyarakat—standar hidup melemah, utang publik membengkak, layanan publik tertekan. Gabungan ini bikin rakyat gak puas dan akhirnya politik jadi rapuh. Memulihkan pertumbuhan bisa balikkan tantangan ini, baik ekonomi maupun sosial, dan bawa penebusan politik.
Tapi emang iya? Di abad ini, pertumbuhan GDP gak jamin standar hidup naik, khususnya buat keluarga berpendapatan rendah. Di AS, pendapatan riil median hampir gak naik sejak 1980an. Di Inggris, gaji riil median lebih rendah daripada saat krisis finansial global. Gak ada tanda membaik: pendapatan 50% terbawah diprediksi lebih rendah di akhir masa parlemen ini dibanding awal, seperti di periode sebelumnya.
Saat debat referendum Brexit, seorang penonton marahi panelis dengan: "Itu GDP lo, bukan kami." Ada benarnya. Pertumbuhan di Inggris, AS, dan lainnya belakangan ini gak inklusif, baik secara geografis maupun sosial-ekonomi. Seperti Brexit tunjukkan, pertumbuhan yang fokus ke orang kaya dan wilayah tenggara cuma tambah ketidakpuasan publik.
Hubungan pendapatan dan kepuasan publik kompleks. Di level pendapatan di atas $75.000 per orang, hubungan itu hilang—paradoks Easterlin yang ditemukan profesor ekonomi AS Richard Easterlin tahun 1974. Di atas angka itu, uang beneran gak bisa beli cinta (atau kebahagiaan). Tapi bahkan di bawah batas itu, hubungan pendapatan dan kesejahteraan gak sederhana.
Berdasarkan survei, penelitian Carol Graham tunjukkan mobilitas sosial naik lebih penting buat kepuasan publik daripada pendapatan. Misalnya, komunitas dan negara miskin, di mana prospek jauh lebih baik dibanding generasi sebelumnya, lebih bahagia daripada tempat kaya di mana prospek generasi menurun. Singkatnya, perjalanan generasi lebih penting daripada tujuan GDP.
Jadi, dalam hal kesejahteraan, mobilitas sosial lebih penting daripada pendapatan nasional. Kesuksesan masyarakat lebih tergantung pada membuka peluang ketimbang maksimalin output. Konsep lain (juga baru seabad, tapi kurang abstrak) dari GDP memegang kunci rasa diri, pertumbuhan, dan kepuasan—"mimpi Amerika" tentang peningkatan generasi, pertama kali dibahas sejarawan James Truslow Adams tahun 1931.
Buat banyak orang, mimpi Amerika udah mati. Survei tunjukkan cuma sekitar seperempat warga AS yang percaya "mimpi Amerika masih berlaku". Tahun 2010 saja, lebih dari setengah. "Opportunity Atlas" karya ekonom Raj Chetty tunjukkan persepsi ini akurat—mobilitas sosial mandek atau menurun di banyak bagian AS selama setengah abad terakhir.
Ukuran mobilitas sosial di Inggris juga tunjukkan hal serupa. Rata-rata orang usia 20-30an sekarang dapat gaji lebih rendah daripada orang tua mereka di usia sama, setelah inflasi. Banyak yang lebih kecil kemungkinan punya rumah dibanding kakek-nenek, bahkan buyut mereka. Bagi mereka, eskalator peluang udah berhenti atau malah mundur.
Buat banyak orang, ini dimulai sejak kecil. Di Inggris, 4,5 juta anak tumbuh dalam kemiskinan. Anak miskin dua kali lebih mungkin dikeluarkan dari sekolah, dan sepertiga gagal mencapai nilai di usia 16. Hampir 1 juta gak belajar atau kerja di usia 16-24. Satu generasi bisa hilang. Dan generasi hilang hari ini adalah pertumbuhan hilang besok.
Di abad 19 dan 20, kemajuan generasi jadi norma sosial buat pertama kalinya dalam sejarah. Tergerusnya mobilitas sosial di abad ini bikin masa di mana harapan dan ekspektasi menyusut, menghambat pertumbuhan individu, komunitas, dan negara.
The Rise of the Meritocracy karya Michael Young gambarkan dunia distopia di mana stratifikasi sosial ditentukan prestasi akademik. Hampir 70 tahun kemudian, dunia fiksi itu jadi kenyataan. Naiknya meritokrasi runtuhkan nasib orang dengan kualifikasi akademik rendah atau tanpa ijazah. Pertumbuhan rendah bukan penyebab, tapi akibat. Tanpa menghidupkan eskalator peluang, mengejar pertumbuhan cuma sia-sia.
"GDP mengukur segalanya kecuali yang berharga." Kata-kata Robert F Kennedy tahun 1968 sekarang lebih benar dari dulu. Mobilitas sosial yang mandek tutup satu-satunya jalan menuju kesejahteraan dan pertumbuhan berkelanjutan. Dengan prioritaskan pertumbuhan nasional ketimbang peluang lokal, pemerintah sembahyang di altar yang salah dan kejar pelangi yang salah. Minggu depan, saya akan bahas cara mencari yang benar.