Saat Iran mulai menembakkan rudal ke pangkalan udara AS di Qatar pada Senin, pedagang minyak merespon dengan cepat — bukan dengan membeli, tapi malah menjual.
Dalam tujuh menit setelah peluncuran pertama sekitar jam 5.30 sore waktu London, harga minyak Brent, patokan internasional, mulai turun. Hanya butuh 20 menit untuk kerugian mencapai 3%. Pada jam 7.30 malam, harganya sudah jatuh 7,2% ke $71,48, penurunan harian terbesar dalam hampir 3 tahun.
Kecepatan penjualan di pasar yang biasanya naik saat ada konflik geopolitik mengejutkan banyak orang. Bahkan saat warga berlindung dan saluran TV menayangkan gambar rudal di langit malam, pedagang sudah menyimpulkan dengan benar bahwa serangan ini justru mengurangi ketegangan antara AS, Israel, dan Iran.
“Ini semua direncanakan, kita tahu pangkalan udaranya kosong. Saya sudah tau sejak 18 Juni kalau pangkalan itu kosong,” kata Jorge Montepeque, analis minyak di Onyx Capital Group, lewat pesan teks setelah serangan dimulai. “Kita udah lihat film ini sebelumnya.”
Sejak konflik Israel-Iran pecah, pedagang mengaku terus memantau media sosial dan intelijen sumber terbuka untuk memahami perkembangan. “Semua orang di posisi sama, kita semua melacak Twitter, akun Osint, dan apapun yang bisa bantu kita pahami situasi,” kata seorang eksekutif di perusahaan perdagangan minyak besar.
Contohnya, pedagang minyak fokus pada gambar satelit pangkalan udara Al Udeid di Qatar, yang ditempati 10.000 tentara AS. Gambar itu menunjukkan AS memindahkan pesawat dari Al Udeid beberapa hari sebelum serangan udara ke fasilitas nuklir Iran akhir pekan lalu, dan sebelum serangan balasan Iran pada Senin.
Intel itu bantu pedagang ambil dua kesimpulan: peluncuran rudal kebanyakan simbolis, dan Iran, setelah menunjukkan reaksi terhadap serangan AS ke fasilitas nuklirnya, kecil kemungkinan bakal eskalasi lebih jauh dengan menarget aset paling rentan di region — infrastruktur minyaknya.
Minyak dan gas terus mengalir tanpa hambatan dari kawasan itu selama konflik, dengan Iran malah menaikkan ekspornya menurut konsultan energi Rystad, karena tidak mampu menyuling banyak minyak mentah di dalam negeri.
Itu mencerminkan fitur lain pasar minyak: pedagang sering pandai menjaga pasokan minyak tetap mengalir di tengah gejolak yang biasanya bikin industri lain panik.
Reaksi pasar pada Senin mirip dengan seminggu sebelumnya, saat harga minyak sempat naik 5,5% setelah serangan udara Israel ke pabrik gas dan depot bahan bakar Iran, sebelum untungnya hilang ketika muncul tanda-tanda Tehran ingin perundingan damai.
Kedua kejadian ini menunjukkan bagaimana, sejak perang mulai, pedagang memfokuskan pada satu pertanyaan besar: apakah Iran lebih atau kurang mungkin mengancam kapal tanker minyak yang melintasi Selat Hormuz, jalur sempit selebar 33 km yang menghubungkan produsen Teluk dengan pasar global?
“Semua orang fokus pada kemungkinan Selat diserang. Begitu jelas itu tidak akan terjadi, premi risikonya langsung hilang,” kata Amrita Sen, pendiri firma intelijen pasar Energy Aspects.
Eksekutif perdagangan minyak mencatat tahun-tahun terakhir membentuk pola: lonjakan harga akibat drama geopolitik sering cepat hilang. “Ini bukan situasi kayak Ukraina-Rusia di mana kita harus mengalihkan arus perdagangan untuk waktu lama. Ini situasi di mana pasar cenderung jual setiap kenaikan harga.”
Montepeque setuju, mengatakan sekarang sudah jadi praktik standar untuk jual setiap perkembangan signifikan. “Kalau kamu baca pasar dengan benar, posisi kamu untung, kamu bisa dapat uang dan ingin mengunci keuntungan itu dengan menjual.”
Meski pasar sudah antisipasi perang, dengan minyak naik sebelum serangan pertama Israel, latar belakang yang lebih luas bikin pedagang enggan bertaruh besar pada kenaikan harga. Pasar minyak global kelebihan pasokan, dengan kartel OPEC+ menaikkan produksinya secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Produsen shale AS juga menjaga produksi tetap di rekor tertinggi.
Helima Croft, strategis di RBC, mencatat Gedung Putih mungkin memutuskan untuk tidak menggunakan Cadangan Minyak Strategis AS bahkan di puncak gejolak pasar energi beberapa pekan terakhir karena pejabat “yakin punya sumber cadangan lain kalau ada gangguan serius”.
Banyak analis memprediksi dunia akan kebanjiran minyak mentah pada akhir tahun, memberi lebih banyak tekanan pada harga. “Semua orang masih pikir ini [minyak] bakal turun ke $50 atau $60,” kata Sen. “Begitu risikonya hilang, orang kembali lihat fundamental.”
Gencatan senjata sementara antara Iran dan Israel, yang difasilitasi Presiden Donald Trump, memicu lagi aksi jual pada Selasa, dengan Brent jatuh 6,1% ke sedikit di atas $67 per barel, di bawah level sebelum perang.
“Perasaan umumnya adalah Iran tidak bisa berbuat banyak lagi, dan menutup Selat cuma bakal menyakiti Cina, satu-satunya sekutu penting mereka yang tersisa,” kata seorang pedagang minyak. “Israel juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ancaman nuklir sudah mereda, agresi lebih lanjut dari mereka tidak akan diterima dengan baik.”
Analis mengatakan fluktuasi harga di pasar juga diperparah oleh posisi di opsi, derivatif yang jadi lebih berharga ketika minyak naik atau turun ke harga yang sudah ditentukan.
Dengan pasar minyak Jadi mereka harus jual lebih banyak *futures*,” kata Ilia Bouchouev, mantan presiden *trader* komoditas AS Koch Global Partners. Penjualan ekstra ini bikin harga turun tajam di hari Senin, katanya.
Al Munro, *broker* di Marex, nambahin: “Ada *rush* gila-gilaan ke atas trus turunnya juga cepat banget.”