Para Investor Tahu soal Gelembung AI. Mereka Tetap Membeli Saham AI.

Kalau ada satu tema yg mendominasi pasar saham di tahun 2025, mungkin ini paradoksnya: Investor tahu semua soal gelembung AI, tapi mereka tetap beli saham AI.

Dalam survei baru oleh The Motley Fool, 93% investor yg punya saham AI bilang mereka rencananya akan tahan atau tambah investasi itu dalam setahun ke depan. Cuma 7% yg rencana kurangi kepemilikan AI mereka.

“Saya rasa banyak investor lihat AI sebagai teknologi transformatif, teknologi yg mengubah permainan,” kata Asit Sharma, analis investasi senior di Motley Fool.

Tapi omongan soal gelembung AI ada dimana-mana.

Harga saham “Magnificent Seven” (Alphabet, Amazon, Apple, Meta, Microsoft, Nvidia dan Tesla) naik 698% antara 2015 dan 2024, dibandingkan dengan kenaikan 178% untuk S&P 500 secara keseluruhan. Beberapa pengamat pasar memperingatkan bahwa ekspektasi berlebihan tentang AI yg mendorong kenaikan itu.

Kebanyakan karena pertumbuhan luar biasa dari Magnificent Seven, pasar saham secara historis dinilai terlalu mahal. Dalam istilah konsumen, sahamnya terlalu mahal.

Seberapa besar gelembungnya? Pertimbangkan metrik yg disebut rasio harga terhadap pendapatan disesuaikan siklis (CAPE). Per 23 Desember, rasio CAPE untuk S&P 500 ada di angka 40.59.

Secara historis, satu-satunya waktu rasio ini lebih tinggi adalah di puncak gelembung dot-com, tahun 1999-2000. Gelembung itu akhirnya pecah.

Meski ada omongan gelembung, saham AI terus naik di 2025. Nvidia naik sekitar 36% hingga 23 Desember. Alphabet naik sekitar 66%.

Investor terus beli saham AI meski banyak yg percaya saham2 itu secara historis terlalu mahal.

Dalam survei Motley Fool yg terbit 15 Desember, dua per lima investor bilang mereka percaya harga saham AI mencerminkan “gelembung spekulatif,” bukan “tren berkelanjutan.” Survei ini menjangkau 2.600 orang dewasa.

MEMBACA  Trailer Baru 'Trigun Stargaze' Reuni para Legenda

Di survei lain, situs jurnalisme keuangan Investopedia temukan bahwa dua dari tiga pembacanya percaya saham terkait AI dinilai terlalu mahal. Survei Desember itu menjangkau 815 investor.

Ketika Investopedia minta pembaca pilih satu saham untuk dimiliki sepuluh tahun ke depan, kebanyakan mereka sebut perusahaan2 di Magnificent Seven.

“Kebanyakan pembaca kami dalam survei merasa saham AI dan saham terkait AI ada dalam gelembung,” kata Caleb Silver, pemimpin redaksi Investopedia. “Tapi ketika kami tanya apa isi portofolio mereka, itu saham2 yg sama.”

Paradoks AI membuat investor bingung. Ada yg cuma lihat dari pinggir, hindari saham AI karena takut gelembung, cuma untuk lihat saham2 itu melonjak. Yang lain investasi besar di AI, dan sekarang mereka cari cara untuk keluar.

“Pasti ada orang di kedua ujung spektrum,” kata Jonathan Swanburg, perencana keuangan bersertifikat di Houston. “Di satu sisi, ada pengejar kinerja yg lihat laporan akhir tahun mereka dan mau punya lebih banyak hal yg performanya terbaik. Di sisi lain, ada orang yg takut dengan krisis berikutnya dan mau kurangi paparan ke nama2 yg paling sukses.”

Nilai saham AI yg melonjak berasumsi bahwa kecerdasan buatan pada akhirnya akan hasilkan pendapatan besar bagi perusahaan yg investasi di teknologinya.

Penyanggah berpendapat bahwa, sampai saat ini, hasilnya belum terlihat. Satu laporan berpengaruh tahun 2025 dari MIT temukan, dari semua miliaran dolar yg diinvestasikan di AI Generatif, 95% organisasi yg terlibat “tidak dapat hasil apa-apa.”

Sementara itu, analis prediksi perusahaan AI akan ambil lebih dari $1 triliun hutang kumulatif untuk danai proyek AI, uang yg dipinjam dengan janji hasil spekulatif.

MEMBACA  Apakah CrowdStrike Holdings (CRWD) Saham Cybersecurity Terbaik untuk Dibeli Sekarang?

Argumen menentang gelembung AI fokus pada pendapatan kuat raksasa teknologi. Nvidia, contohnya, laporkan pendapatan rekor $57 miliar di kuartal ketiga 2025.

Pendukung Magnificent Seven catat bahwa operasi mereka jangkauannya jauh melampaui AI. Amazon, contohnya, jalankan pasar online besar, di antara banyak kepentingan lain, selain usaha AI-nya. Alphabet menjalankan Google.

“Jika semua momentum AI tiba-tiba berhenti di bisnis mereka, mereka tidak akan kemana-mana,” kata Sharma.

Analis peringatkan bahwa kegelisahan AI yg berlanjut akan sebabkan volatilitas di saham AI, gelembung atau bukan. Harga saham Nvidia naik-turun sepanjang 2025.

Jika gelembung AI pecah di 2026 atau setelahnya, investor bisa harapkan penurunan besar di sebagian atau semua saham teknologi mereka.

Ketika gelembung dot-com pecah tahun 2000, Nasdaq yg sarat teknologi akhirnya kehilangan lebih dari tiga perempat nilainya. Banyak perusahaan dot-com bangkrut. Banyak pemain besar selamat, dan saham mereka akhirnya pulih.

Skenario yg sama bisa terjadi dengan AI. Kuncinya, kata analis saham, adalah siap untuk bertahan melewati gelembung.

“Investor, setelah sadar risiko ini, memutuskan untuk investasi jangka panjang,” kata Sharma. “Mereka yakin bahwa teknologinya sendiri akan menghasilkan nilai.”

Tinggalkan komentar