“Dimana-mana kami pergi, orang anggap ketersediaan energi sebagai hal yang pasti,” tulis Rui Ma di X setelah pulang dari tur ke pusat-pusat AI di China.
Bagi peneliti AI Amerika, ini hampir tak terbayangkan. Di AS, permintaan AI yang melonjak berbenturan dengan jaringan listrik yang rapuh, hambatan ekstrem yang menurut Goldman Sachs bisa menghambat pertumbuhan industri.
Di China, kata Ma, ini dianggap sebagai “masalah yang sudah selesai.”
Ma, ahli teknologi China dan pendiri media Tech Buzz China, membawa timnya untuk melihat langsung kemajuan AI di negaranya. Dia bilang ke Fortune meski bukan ahli energi, setelah banyak rapat dan diskusi dengan orang dalam, dia menyimpulkan sesuatu yang bikin Silicon Valley merinding: di China, pembangunan listrik untuk data center bukan lagi perdebatan.
“Ini sangat berbeda dengan AS, di mana pertumbuhan AI semakin dikaitkan dengan perdebatan soal konsumsi daya data center dan keterbatasan jaringan,” tulisnya di X.
Pembangunan data center adalah dasar kemajuan AI, dan pengeluaran untuk pusat data baru sekarang bahkan menggeser konsumsi masyarakat dalam kontribusi ke PDB AS—ini mengkhawatirkan karena konsumsi masyarakat biasanya dua-pertiga dari ekonomi. McKinsey memprediksi perusahaan global perlu investasi $6,7 triliun untuk kapasitas data center baru antara 2025-2030 demi mengimbangi tekanan AI.
Laporan Stifel Nicolaus memperingatkan koreksi untuk S&P 500 karena lonjakan belanja data center ini dianggap sekali jalan, sementara konsumsi masyarakat jelas menurun.
Survei Deloitte menunjukkan faktor pembatas utama pembangunan data center di AS adalah tekanan pada jaringan listrik. Jaringan kota begitu lemah sampai beberapa perusahaan membangun pembangkit listrik sendiri. Masyarakat semakin kesal dengan kenaikan tagihan listrik—di Ohio, tagihan rumah tangga naik $15 musim ini karena data center—sementara perusahaan energi bersiap hadapi lonjakan permintaan.
Goldman Sachs menggambarkan krisis ini sederhana: “Permintaan listrik AI yang tak terpuaskan melampaui siklus pengembangan jaringan yang butuh dekade, menciptakan hambatan kritis.”
Sementara itu, David Fishman, ahli listrik China, bilang ke Fortune bahwa di China, listrik bahkan bukan masalah. Rata-rata, China menambah permintaan listrik lebih besar dari konsumsi tahunan Jerman setiap tahun. Provinsi pedesaan dipenuhi panel surya atap, dengan satu provinsi menyamai pasokan listrik seluruh India.
“Pembuat kebijakan AS harus berharap China tetap pesaing, bukan penyerang,” kata Fishman. “Karena sekarang mereka tidak bisa bersaing di infrastruktur energi.”
China punya kelebihan listrik
Dominasi listrik China, jelas Fishman, hasil dari puluhan tahun pembangunan berlebihan dan investasi di semua lapisan sektor energi, dari pembangkit hingga transmisi hingga nuklir generasi baru.
Margin cadangan China tidak pernah di bawah 80%–100% secara nasional, artinya mereka selalu punya kapasitas dua kali lipat dari yang dibutuhkan, kata Fishman. Mereka punya begitu banyak ruang sampai data center AI dianggap sebagai cara untuk “menyerap kelebihan pasokan,” bukan ancaman.
Ini tak terpikir di AS, di mana jaringan regional biasanya beroperasi dengan margin cadangan 15% atau kurang, terutama saat cuaca ekstrem, ujar Fishman. Di California atau Texas, pejabat sering keluarkan peringatan saat permintaan diperkirakan membebani sistem. Ini menyisakan sedikit ruang untuk menyerap lonjakan beban yang dibutuhkan infrastruktur AI, catat Fishman.
Perbedaannya jelas: sementara AS sudah mengalami pertarungan politik dan ekonomi soal kemampuan jaringan, China beroperasi dari posisi berlimpah.
Bahkan jika permintaan AI di China tumbuh terlalu cepat untuk proyek energi terbarukan, negara itu bisa gunakan pembangkit batu bara menganggur untuk jembatan sambil membangun sumber berkelanjutan lebih banyak. “Ini tidak ideal,” akunya, “tapi bisa dilakukan.”
Sebaliknya, AS harus berjuang untuk menambah kapasitas pembangkit, sering menghadapi penundaan perizinan bertahun-tahun, penolakan lokal, dan aturan pasar yang terfragmentasi, katanya.
Perbedaan tata kelola struktural
Di balik keunggulan hardware adalah perbedaan tata kelola. Di China, perencanaan energi dikoordinasikan oleh kebijakan jangka panjang yang menentukan aturan pasar sebelum investasi dilakukan, kata Fishman. Model ini memastikan infrastruktur dibangun sebelum permintaan datang, bukan sebagai reaksi.
“Mereka siap untuk home run,” kata Fishman. “AS, paling banter, bisa sampai base pertama.”
Di AS, proyek infrastruktur besar bergantung pada investasi swasta, tapi investor biasanya mau untung dalam 3-5 tahun: terlalu singkat untuk proyek energi yang butuh dekade untuk dibangun dan balik modal.
“Modal sangat bias pada untung jangka pendek,” katanya, sambil mencatat Silicon Valley mengalirkan miliaran ke “iterasi ke-n software-as-a-service” sementara proyek energi berebut dana.
Di China, negara mengarahkan uang ke sektor strategis sebelum ada permintaan, menerima tidak semua proyek akan sukses tapi memastikan kapasitas siap saat dibutuhkan. Tanpa pendanaan publik untuk mengurangi risiko taruhan jangka panjang, sistem politik dan ekonomi AS tidak dirancang untuk membangun jaringan masa depan.
Sikap budaya memperkuat pendekatan ini. Di China, energi terbarukan dianggap sebagai pilar ekonomi karena masuk akal secara ekonomi dan strategis, bukan karena bobot moral. Batu bara tidak dianggap jahat seperti di beberapa kalangan AS—hanya dianggap ketinggalan zaman. Kerangka pragmatis ini, kata Fishman, memungkinkan pembuat kebijakan fokus pada efisiensi dan hasil, bukan pertempuran politik.
Bagi Fishman, kesimpulannya tegas. Tanpa perubahan dramatis dalam cara AS membangun dan mendanai infrastruktur energi, ketimpangan dengan China akan terus melebar.
“Perbedaan kemampuan akan semakin jelas—dan tumbuh dalam tahun-tahun mendatang,” ujarnya.