Banyak orang khawatir soal efek AI pada pekerjaan level pemula. Sebuah studi Stanford yang terkenal di bulan Agustus cukup mengejutkan. Studi itu bilang ada dampak besar yang tidak proporsional pada pekerjaan entry-level yang paling terpapar otomatisasi AI, seperti pengembangan perangkat lunak dan layanan pelanggan. Pekerjaan di bidang itu menurun tajam. Studi ini keluar hampir bersamaan dengan studi MIT yang bilang 95% pilot AI generatif gagal dan kesadaran tiba-tiba bahwa AI bisa menuju ke gelembung ekonomi. Bahkan ketua Federal Reserve, Jerome Powell, berkomentar bahwa anak-anak lulusan kuliah dan kaum muda, termasuk minoritas, sulit cari pekerjaan.
Tapi menurut studi baru dari peneliti Yale dan Brookings, contoh-contoh ini seperti "sambaran petir," bukan "kebakaran rumah." Pasar tenaga kerja AS belum menunjukkan tanda-tanda gangguan besar yang didorong AI, setidaknya belum sekarang.
Martha Gimbel, seorang ekonom dari Yale dan penulis utama makalah itu, berharap pemahaman data ini bikin orang lebih tenang. "Coba lihat dari jauh. Tarik napas dalam-dalam," katanya ke Fortune. "Cobalah menanggapi AI dengan data, bukan emosi."
Belum ada kiamat
Studi baru ini memeriksa berbagai ukuran gangguan pasar tenaga kerja, menggunakan data Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) tentang kehilangan pekerjaan, masa pengangguran, dan perubahan komposisi pekerjaan. Kesimpulannya: ada pergerakan, tapi tidak ada yang aneh.
Meski campuran pekerjaan agak berubah dalam beberapa tahun terakhir, para penulis menekankan bahwa perubahan ini masih dalam batas normal sejarah. Saat ini, kekuatan yang mendorong perubahan itu tampaknya lebih bersifat makroekonomi, bukan teknologi.
"Kekuatan terbesar yang menghantam pasar tenaga kerja sekarang adalah ekonomi yang melambat, populasi yang menua, dan penurunan imigrasi—bukan AI," kata Gimbel.
Mudah sekali mencampurkan ‘kebisingan’ dalam ekonomi dengan dampak AI, terutama bagi pekerja muda yang mungkin sudah merasakan tekanan dari pasar kerja yang mendingin. Tapi Gimbel menekankan bahwa efek ini adalah "dampak yang sangat spesifik pada populasi yang sangat tertarget," dan tidak ada dampak luas AI bagi pekerja muda yang lebih konsisten dengan perlambatan makroekonomi.
Ekonom — termasuk Ketua Fed Jerome Powell — telah menggambarkan kondisi pasar tenaga kerja saat ini sebagai lingkungan "low hire, low-fire," di mana PHK jarang, tapi peluang baru juga langka. Lulusan kuliah baru telah menerima pukulan: mereka kesulitan menemukan peran entry-level di sektor kerah putih seperti teknologi dan layanan profesional, dan tingkat pengangguran pemuda telah naik ke 10,5%, yang tertinggi sejak 2016. Tapi efeknya juga melanda pekerja yang lebih tua, lebih dari seperempat penganggur Amerika telah tidak bekerja selama lebih dari enam bulan, yang tertinggi sejak pertengahan 2010-an di luar tahun-tahun pandemi.
Terpapar AI bukan berarti kehilangan pekerjaan
Makanya, tidak mengherankan jika banyak pekerja berasumsi AI pasti sudah bertanggung jawab. Tapi Gimbel berpendapat salah satu kesalahpahaman terbesar adalah mencampurkan paparan terhadap AI dengan penggantian pekerja. Radiolog menggambarkan hal ini. Dulu dianggap sebagai korban utama otomatisasi, jumlah mereka sekarang lebih banyak dan dibayar lebih baik dari sebelumnya, bahkan saat alur kerja mereka sangat bergantung pada alat pencitraan bertenaga AI.
"Terpapar AI tidak berarti pekerjaanmu hilang," katanya. "Itu mungkin berarti pekerjaanmu berubah."
Hal yang sama berlaku untuk pembuat kode dan penulis, yang mendominasi tingkat adopsi AI di platform seperti Claude, tempara para peneliti. Menggunakan alat-alat itu tidak otomatis menghilangkan mata pencaharianmu—bisa saja hanya mengubah bentuk cara pekerjaan dilakukan.
Molly Kinder, rekan penulis Gimbel dari Brookings, menambahkan lapisan lain: geografi. Orang Amerika terbiasa memikirkan otomatisasi sebagai sesuatu yang menghancurkan kota-kota pabrik di jantung negeri. Dengan AI generatif, kata Kinder, geografinya terbalik.
"Ini bukan otomatisasi ala kakek-nenekmu," kata Kinder kepada Fortune. "GenAI lebih mungkin mengganggu—secara positif atau negatif—kota-kota besar dengan kluster pekerjaan pengetahuan dan teknologi, bukan kawasan industri."
Menurutnya, kota-kota seperti San Francisco, Boston, dan New York, yang padat dengan pembuat kode, analis, peneliti, dan pekerja kreatif, jauh lebih terpapar AI generatif daripada kota-kota kecil. Tapi apakah paparan itu berubah menjadi kehancuran atau pertumbuhan tergantung pada masa depan.
"Jika manusia tetap berada dalam lingkaran, kota-kota itu bisa menuai manfaat paling banyak," kata Kinder. "Jika tidak, mereka akan merasakan sakit terburuk."
Kuncinya, dia tekankan, adalah paparan tidak memberitahu kita apakah pekerjaan akan benar-benar dihilangkan, melainkan hanya memberitahu kita tugas mana yang bisa berubah. Cerita sebenarnya akan tergantung pada apakah perusahaan memperlakukan AI sebagai pembantu atau sebagai pengganti.
Sambaran petir, bukan kebakaran rumah
Kinder, seperti Gibbel, menekankan bahwa difusi butuh waktu. Meskipun sistem AI meningkat dengan cepat, sebagian besar organisasi belum mendesain ulang alur kerja mereka di sekitarnya.
"Meskipun terasa seperti AI menjadi sangat baik, mengubahnya menjadi perubahan di tempat kerja itu memakan waktu," katanya. "Itu berantakan. Itu tidak merata."
Itulah sebabnya analisis Yale-Brookings sengaja dibuat luas. "Analisis ini bisa tahu apakah rumahnya kebakaran," jelas Kinder. "Ini tidak bisa mendeteksi kompor meledak di dapur. Dan saat ini, pasar tenaga kerja sebagai sebuah rumah tidak kebakaran."
Itu tidak berarti tidak ada apa-apa di sini.
Kinder menyebut perubahan saat ini, seperti yang diambil studi Stanford, sebagai "sambaran petir" di industri spesifik seperti pengembangan perangkat lunak, layanan pelanggan, dan pekerjaan kreatif. Guncangan awal ini berfungsi sebagai ‘canary in the coal mine’ (peringatan dini). Tapi ini belum berkumpul menjadi gangguan yang membentuk ulang statistik pekerjaan resmi.
"Makalah kami tidak bilang tidak ada dampak sama sekali," katanya. "Seorang penerjemah mungkin menganggur, seorang pekerja kreatif mungkin sedang berjuang, seorang perwakilan layanan pelanggan mungkin tergantikan. Itu nyata. Tapi itu tidak cukup besar untuk menjadi kiamat skala ekonomi seperti yang dibayangkan orang."
Baik Kinder maupun Gimbel mengatakan mereka berharap efek sistemik pertama yang jelas akan membutuhkan tahunan, bukan bulanan, untuk muncul.
Apa yang terjadi selanjutnya
Jika dan ketika penggantian nyata tiba, kedua penulis percaya itu akan datang dari AI yang tertanam dalam alur kerja perusahaan, bukan dari pekerja individu yang santai menggunakan chatbot.
"Pada saat itulah Anda akan melihat penggantian," kata Kinder. "Bukan ketika satu pekerja beralih ke chatbot, tapi ketika bisnis mendesain ulang alur kerjanya dengan AI."
Proses itu sudah dimulai, karena lebih banyak perusahaan mengintegrasikan API AI ke dalam sistem inti. Tapi perubahan organisasi itu lambat.
"Tiga tahun bukanlah apa-apa bagi teknologi serba guna," kata Kinder. "GenAI belum melawan gravitasi. Butuh waktu untuk mendesain ulang alur kerja, dan butuh waktu untuk menyebar di tempat kerja. Pada akhirnya AI bisa jadi sangat transformatif, tapi itu tidak terjadi dalam semalam."