Kecerdasan buatan (AI) sebenarnya dibuat untuk mempermudah pekerjaan dan otomatisasi tugas rutin. Tapi sekarang, AI justru membuat proses cari kerja jadi lebih sulit bagi para pelamar dan juga perekrut di pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif ini.
Para pelamar mencoba mengakali sistem filter AI, sementara perekrut kebanjiran lamaran. Banyak juga perusahaan yang memasang lowongan "hantu" (ghost jobs). Daniel Chait, CEO platform perekrutan Greenhouse, bilang situasi ini menyebabkan krisis keaslian.
"Ini pertama kalinya saya ingat di mana kedua pihak sama-sama tidak senang," katanya kepada Fortune. "Perusahaan berkata, ‘Sulit sekali merekrut karena kami kebanjiran pelamar dan tidak tahu mana yang harus diperhatikan.’ Dan para pencari kerja bilang, ‘Sekarang lebih gampang mengirim lamaran, tapi semakin sulit dapat pekerjaan.’"
Laporan Greenhouse tentang AI dalam Perekrutan tahun 2025 menemukan bahwa hanya 8% pencari kerja yang percaya algoritma AI yang menyaring lamaran awal membuat perekrutan lebih adil. Dari 1.200 pencari kerja di AS yang disurvei, hampir setengahnya mengatakan kepercayaan mereka pada proses perekrutan menurun tahun lalu. Angka ini naik jadi 62% bagi pekerja level pemula dari Generasi Z.
Dari mereka yang kepercayaannya menurun, 42% menyalahkan AI secara langsung. Lebih dari sepertiga pencari kerja juga berpikir AI telah memindahkan bias dari manusia ke algoritma.
Di sisi lain, laporan Greenhouse juga menemukan hampir setengah pencari kerja mengirim lebih banyak lamaran tahun ini, sebuah tren yang dibantu AI dan disebut Chait sebagai "lingkaran setan AI".
"Kepercayaan ada di titik terendah untuk kedua belah pihak, pencari kerja dan perekrut," ujarnya.
Bagian di mana AI justru merugikan
Dalam setahun terakhir, jumlah lamaran yang dikirim melalui LinkedIn melonjak lebih dari 45%, sebagian karena alat AI. Pada Juni, platform itu mencatat rata-rata 11.000 lamaran per menit.
Tiga dari empat pencari kerja di AS menggunakan AI untuk memperbaiki aplikasi mereka. Sebanyak 87% mengatakan sangat penting bagi perusahaan untuk transparan soal penggunaan AI mereka sendiri, yang saat ini sebagian besar tidak dilakukan.
Tapi ketika lebih banyak pencari kerja memakai AI untuk menyesuaikan lamaran, efeknya justru sebaliknya, kata Chait. Alih-alih membuat kandidat menonjol, alat AI malah menghasilkan surat lamaran dan resume yang terdengar mirip satu sama lain.
"Pada akhirnya kamu tidak bisa membedakan satu orang dengan yang lain," kata Chait.
Pencari kerja merasa kecewa, tapi AI tidak benar-benar membantu mereka
Menurut Paddy Lambros, CEO perusahaan teknologi agen karier AI Dex, adopsi cepat alat AI oleh pelamar adalah "akibat dari perasaan para kandidat yang selama ini merasa dirugikan oleh cara perekrutan dilakukan."
Kelelahan pelamar terlihat dari banyaknya postingan media sosial yang menasihati pencari kerja cara mengakali dan melewati filter AI yang sering digunakan oleh sistem pelacakan pelamar.
"Jika kamu merasa setiap lamaran yang kamu kirim adalah hal sia-sia yang tidak akan dibaca orang, maka tentu saja, kenapa kamu tidak menggunakan AI untuk mengirimnya dalam jumlah banyak?" kata Lambros.
Tapi dia memperingatkan, alat AI jarang membantu pelamar melewati tahap penyaringan awal.
Di pekerjaan terakhirnya sebagai direktur talent di firma modal ventura Atomico di London, timnya dihubungi oleh perusahaan-perusahaan yang tiba-tiba kebanjiran empat hingga lima kali lebih banyak lamaran kerja dibandingkan bulan sebelumnya.
Tapi di antara banjir lamaran itu, sebagian besar CV terlihat sederhana dan hampir sama persis, karena dibuat AI berdasarkan deskripsi pekerjaan, bukan mewakili kandidat secara pribadi. Hal ini menyulitkan untuk menilai apakah kandidat benar-benar memenuhi syarat.
Selain itu, Lambros mengatakan banyak pelamar yang datang ke wawancara kerja bahkan tidak tahu apa yang dilakukan perusahaan tersebut. Mereka menggunakan AI untuk "menyemprot dan berdoa" (spray and pray), mengirim ribuan lamaran setiap hari.
Laporan Greenhouse merinci masalah ini: 65% manajer perekrutan di AS pernah menemukan pelamar yang menggunakan AI secara menipu, seperti membaca dari naskah buatan AI, menyembunyikan perintah (prompt) di resume untuk melewati penyaringan awal, atau bahkan hadir sebagai deepfake.
Laporan itu menyebutkan pencari kerja di AS mungkin menganggap penggunaan AI sebagai "menyamakan kedudukan", karena perusahaan dan perekrut juga semakin mengandalkan AI untuk menyaring pelamar. Tapi 74% manajer perekrutan mengatakan mereka lebih takut terhadap penipuan dibandingkan setahun yang lalu.
"Saya bisa mengerti keinginan para kandidat" untuk menggunakan alat AI, kata Lambros. "Saya hanya tidak berpikir itu sangat efektif."
Siapa yang menggunakan AI untuk melamar?
Di antara pencari kerja di AS, 41% mengaku menggunakan prompt injections, atau teks tersembunyi yang dirancang untuk melewati filter AI. Dari mereka yang tidak, lebih dari setengahnya mengatakan mereka sedang mempertimbangkannya.
Laporan itu juga menemukan bahwa di antara kandidat yang menggunakan prompt injections, taktik ini paling umum di bidang TI (65%) dan perbankan atau keuangan (54%).
Tapi seiring taktik ini makin meluas, penggunaan AI dalam proses perekrutan juga demikian. Lebih dari setengah kandidat pernah mengalami wawancara yang dipimpin AI, yang semakin membuat prosesnya terasa tidak personal.
"Penggunaan AI dalam wawancara babak pertama sangatlah menghina dan tidak manusiawi," kata Lambros. "Diberitahu bahwa tidak layak mengirim manusia untuk berbicara denganmu adalah sinyal yang buruk."
Kekuatan AI untuk kebaikan
Tapi Lambros mengatakan AI dalam proses perekrutan tidak semuanya buruk—ketika digunakan dengan benar.
Memanfaatkan AI untuk membantu mencari pekerjaan yang tepat, alih-alih menyaring setiap lowongan di internet, adalah salah satu penggunaan AI yang baik bagi pencari kerja, katanya. Alat AI perusahaannya membantu menghubungkan kandidat dengan lowongan kerja yang mencerminkan tujuan pribadi dan karier mereka, dan bertindak lebih seperti pelatih karier.
"Saya pikir itulah masa depan perekrutan. Ini bukan lagi tentang pipa lamaran, tapi lebih tentang pencocokan yang sangat akurat," ujar Lambros.
Meski demikian, Chait dari Greenhouse mengatakan sesuatu harus berubah dan manusia harus dikembalikan ke dalam prosesnya.
"Solusinya harus datang dari cara-cara yang lebih baik untuk menonjolkan ketertarikan sejati dan makna di balik aplikasi pekerjaan dan lowongan pekerjaan," tambahnya.