Para ilmuwan baru saja mengeluarkan peringatan tentang ancaman baru untuk produktivitas di perusahaan-perusahaan Amerika: Karyawan membuat dan membagikan "workslop" yang buang-buang waktu dan ceroboh.
Deskripsi resmi workslop, menurut peneliti dari Stanford’s Social Media Lab dan BetterUp, adalah “konten kerja buatan AI yang terlihat seperti kerja bagus, tapi tidak ada isinya yang penting untuk menyelesaikan tugas.”
Tapi, jujur saja, kebanyakan pekerja kantoran tidak perlu definisi. Kita semua pernah menemukan contoh workslop. Itu seperti memo yang penuh kata-kata rumit seperti “underscore” dan “commendable” yang bikin bingung, atau laporan yang banyak em-dashes yang, setelah dibaca, terasa kosong.
Beda dapat email marketing dari AI yang aneh dari vendor; beda lagi dapatnya dari rekan kerja atau bos. Dulu kita komplain rapat yang sebenarnya bisa jadi email; sekarang kita dapat email workslop yang membingungkan yang perlu dijelasin di rapat. Manajer yang cerita pengalaman buruk workslop ke tim Stanford dan BetterUp juga bilang mereka sering harus mengulang proyek bawahan mereka atau minta direvisi banyak.
Jadi sementara perusahaan mungkin menghabiskan ratusan juta untuk software AI supaya kerja lebih efisien dan produktif, dan menyuruh karyawan pakai AI sebanyak-banyaknya, mereka mungkin juga bikin operasi jadi tidak lancar.
Setelah survey karyawan penuh waktu di 1.150 perusahaan, peneliti menemukan workslop menyebar ke semua arah di dalam perusahaan. Paling banyak antar teman sejawat, tapi manajer juga kirim slop ke bawahan, dan karyawan kasih ke bosnya. Totalnya, 40% responden bilang mereka pernah terima workslop dari kolega dalam sebulan terakhir.
Workshop anti-workslop
Apa ini artinya perusahaan harus kurangi AI? Mungkin tidak. Di pasar yang kompetitif, sulit mengabaikan teknologi yang bahkan menurut penulis studi “bisa mengubah beberapa aspek kerja secara positif.” Yang bisa perusahaan lakukan adalah pasang pengaman. Mereka bahkan bisa pertimbangkan buat workshop anti-workslop untuk karyawan. Ini yang mungkin termasuk:
**Kembangkan literasi AI.** Karyawan harus anggap hasil AI seperti pekerja magang yang belum terlatih, mudah bikin kesalahan fakta dan gaya, kata Thor Ernstsson, CEO ArticBlue.ai. Karyawan harus tau keunikan dan batasan alat yang mereka pake. Data apa yang bisa dihandle? Apa mudah berhalusinasi? “Orang tidak paham bahwa meski AI kedengarannya ahli, belum tentu benar,” kata Ernstsson.
**Jelas kapan AI cocok dipake.** “Ketika pemimpin organisasi menganjurkan AI untuk semuanya sepanjang waktu, mereka contohkan kurangnya pertimbangan dalam menerapkan teknologi,” tulis penulis studi. “Mudah dilihat bagaimana ini membuat karyawan asal copy-paste jawaban AI ke dokumen, bahkan ketika AI tidak cocok untuk pekerjaannya.”
**Pake AI untuk memperhalus kerja, bukan menciptakannya.** Latih karyawan untuk pake AI sebagai partner berpikir atau pelatih, kata Ernstsson. Pekerja bisa tulis draf laporan atau memo dulu, pastikan ada semua informasi dan konteks, sebelum minta tips dan saran dari AI.
**Pelajaran komunikasi.** Ada alasan kenapa beberapa orang sekarang bilang bahwa lulusan komunikasi mungkin jadi pemimpin masa depan. Di era AI, lebih penting daripada sebelumnya bahwa karyawan paham dan praktek cara komunikasi yang jelas dari orang-ke-orang sebelum pikirkan pake AI.
Ngomong-ngomong, lebih baik kamu jadwalkan workshop anti-workslop-mu soon. Peneliti bilang bahwa kerja buatan AI yang “malas” tidak hanya memperlambat orang, tapi juga bikin karyawan hilang rasa hormat satu sama lain. Setelah terima workslop, staf bilang mereka lihat rekan yang buat itu sebagai kurang kreatif dan kurang bisa dipercaya.
Fortune Global Forum kembali 26–27 Oktober 2025 di Riyadh. CEO dan pemimpin global akan berkumpul untuk acara undangan yang dinamis, membentuk masa depan bisnis. Apply untuk undangan.