Krisis Empati Global yang Menghadang Natal Ini

“Pengemis bertangan satu jual pensil, tapi kita gak bisa kasih uang receh,” begitu lirik lagu Bobby Goldboro, “Ada yang tau ini Natal?” “Simpanlah untuk parkir meter atau kita kena denda.” Lagu klasik itu terlintas saat saya lihat keadaan global sekarang dan amati kurangnya rasa empati yang mengkhawatirkan.

Saya tahu sedikit tentang amal dan belas kasihan. Saya punya kesempatan selama 15 tahun terakhir memimpin organisasi nirlaba sektor swasta yang khusus bantu komunitas dan usaha hadapi bencana alam dan krisis buatan manusia.

Sistem kemanusiaan global dan hampir tiap organisasi non-pemerintah dan badan PBB hadapi masa sulit dan kekurangan dana. Penutupan USAID telah tutup ratusan kelompok bantuan dan potong dana untuk program yang beri makan orang lapar dan bantuan saat bencana. Menurut OXFAM, layanan kesehatan akan tak tersedia untuk hingga 95 juta orang dan sekitar 23 juta anak kehilangan akses pendidikan.

Sebanyak seperempat miliar orang butuh bantuan, lapor Tom Fletcher, kepala OCHA di PBB. Tapi dana turun ke $12 miliar, yang terendah dalam sepuluh tahun. Hanya 20% dari permohonan kontribusi PBB yang didukung, katanya. Organisasi kami sendiri, Philippine Disaster Resilience Foundation, kehilangan $1,5 juta tahun ini dalam program untuk tingkatkan kesiapan di Kantor Pertahanan Sipil Filipina dan berbagai pemerintah daerah. Akibatnya, staf dan dana di berbagai lembaga PBB yang kerja di respons bencana dan pembangunan ekonomi dipotong 20 sampai 50 persen. Lembaga lain, fokus pada kesehatan dan hak asasi manusia, alami pemotongan 100 persen.

Hanya satu dari tiap tiga orang Amerika rasakan belas kasihan pada kelompok terpinggirkan, dengan 61% dari yang disurvei bilang empati telah turun dalam empat tahun terakhir. Begitu temuan Laporan Belas Kasihan 2025 dari Muhammad Ali Center. Tingkat empati turun 14% di seluruh Amerika Serikat setelah pandemi, dengan penurunan terbesar di kalangan generasi milenial, menurut survei 2022 terhadap 1.000+ orang Amerika oleh United Way of the National Capital Area.

MEMBACA  Tarif AS untuk Produk India Kini 50%, Tingkat yang Dinilai Analis Setara Embargo Perdagangan

Fenomena kelelahan empati ini juga tampaknya tidak sepenuhnya baru. Analisis meta 2010 yang dipimpin peneliti University of Michigan laporkan bahwa selama periode 30 tahun, tingkat empati di antara mahasiswa Amerika telah anjlok 48%. Studi itu kaitkan penurunan empati generasional ini dengan kenaikan narsisme, xenofobia, rasisme, dan misogini.

Penghuni Gedung Putih saat ini wakili tren mengganggu ini. Pengaruhnya pada pemimpin dunia lain perparah masalah, dengan tindakan keras pada “alien” tanpa dokumen sekarang jadi wabah di seluruh Eropa dan tempat lain.

Namun, tren tandingan terjadi di, dari semua tempat, sektor swasta. Investor sosial dan bahkan dana investasi sosial telah bertambah baik jumlah maupun ukurannya. Kelompok ini siap dapat untung lebih sedikit jika uangnya dipakai untuk tujuan “baik” – sediakan air bersih, menampung korban bencana. Contohnya, Connecting Business Initiative, diluncurkan di World Humanitarian Summit di Istanbul tahun 2016 untuk fokus bantu saat bencana, telah tumbuh jadi jaringan 22 kelompok usaha. Data terbaru laporkan bahwa itu telah bantu dalam 213 krisis, bantu lebih dari 6 juta orang, dan hasilkan $144 juta dalam bantuan.

Waktu saya besar di Manila, salah satu pahlawan masa kecil saya adalah Bobby Kennedy. Kata-katanya ilhami saya dengan idealisme dan ambisi untuk bantu orang yang bertahan sampai hari ini. Suaranya yang sering saya dengar sekarang.

“Kemiskinan itu tidak pantas, Buta huruf itu tidak pantas,” katanya suatu kali. “Kita tidak boleh lupa bahwa kekuatan membangun sejati di dunia ini berasal bukan dari tank atau bom, tapi dari ide-ide imajinatif, simpati hangat, dan semangat dermawan suatu bangsa.”

“Apa yang kita butuhkan di Amerika Serikat,” katanya tak lama setelah Martin Luther King Jr. dibunuh, bukan perpecahan atau kebencian atau kekerasan atau pelanggaran hukum, melainkan, “cinta dan kebijaksanaan dan belas kasihan satu sama lain dan perasaan keadilan terhadap mereka yang masih menderita.”

MEMBACA  Bank of America Rekrut Eksekutif JPMorgan untuk Pimpin Unit Pasar Ekuitas India

Bagaimana kita kembangkan belas kasihan? Pemimpin politik dan agama bisa ilhami dan ajak naluri baik kita. Inisiatif pelibatan komunitas seperti Beyond Us & Them bisa pupuk hubungan sosial dan bangun komunitas tangguh. Sekolah bisa tingkatkan kesadaran masalah ini dan masukkan empati dalam kurikulum. Jesuit punya program imersi di mana siswa SMA habiskan hari-hari hidup dengan orang miskin. Kanada punya inisiatif Roots of Empathy yang bawa bayi ke kelas di mana siswa bisa berinteraksi dengan mereka. Nilai-nilai dipelajari saat kita muda. Orang tua dan bahkan film serta olahraga punya peran dalam membentuk diri kita sebagai manusia.

Dengan gunakan saluran dan strategi ini, kita bisa kerja sama lawan penurunan empati dan wujudkan masa depan yang ditandai dengan pengertian dan belas kasihan.

Empati beri arti pada hidup kita. Itu bagian dari yang membuat kita manusia. Kita tidak bisa biarkan itu mati.

Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan opini Fortune.com adalah murni pandangan penulisnya dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.

Cerita ini awalnya dimuat di Fortune.com

Tinggalkan komentar