Sudah sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada hari Rabu bulan September 2015. CEO Target, Brian Cornell, berdiri di atas panggung. Di belakangnya, ada layar besar yang memperlihatkan grafik saham Target yang jauh lebih baik daripada saham Walmart, pesaing utamanya. Itu terjadi di tahun pertamanya menjabat.
13.000 karyawan yang hadir di acara tahunan perusahaan itu tepuk tangan dengan riang. Cornell terlihat sangat puas. Saat itu, langkah-langkah awalnya untuk memperbaiki perusahaan terlihat berhasil. Tapi, mungkin saat itu mereka terlalu sombong, sehingga nasib berubah.
Belakangan ini, kedua CEO itu, Cornell dari Target dan Doug McMillon dari Walmart, mengumumkan mereka akan berhenti pada 1 Februari. Mereka akan digantikan oleh wakilnya. Tapi, hasil kerja kedua CEO dan perusahaan mereka sejak grafik di layar besar itu sangatlah berbeda.
McMillon dipuji karena berhasil memodernisasi Walmart. Dia membuat Walmart menjadi kuat di bidang teknologi dan belanja online, sehingga bisa bersaing dengan Amazon dan siap untuk era AI. Sejak McMillon jadi CEO, harga saham Walmart naik 300%. Pendapatan tahunannya juga naik hampir $200 miliar.
Sebaliknya, saham Target hanya naik 60% di bawah Cornell. Ini lebih rendah dibandingkan saham Walmart dan pasar secara keseluruhan. Masa jabatan Cornell sebenarnya sukses sampai sekitar tahun 2022, terutama saat pandemi. Tapi setelah itu, Target mengalami banyak masalah. Produknya tidak lagi disukai karena orang lebih hemat, ada protes tentang program keberagaman dan juga tentang pelayanan, serta masalah supply chain yang membuat rak-rak toko sering kosong.
Tentu saja, CEO tidak bisa disalahkan sepenuhnya untuk kinerja perusahaan. Tapi reaksi orang terhadap berhentinya kedua CEO ini sangat berbeda.
Saat penggantian Cornell diumumkan, banyak analis yang meragukan apakah penggantinya, Michael Fiddelke, adalah orang yang tepat. Fiddelke, yang sebelumnya adalah COO dan kepala keuangan, belum berhasil memperbaiki masalah supply chain. Pengangkatan Cornell jadi chairman—yang menjadi bos Fiddelke—juga membuat heran banyak orang. Beberapa orang berpikir perusahaan masih dijalankan oleh orang yang sama yang menyebabkan masalah.
Juru bicara Target membela keputusan ini. Katanya, proses penggantian CEO ini sudah direncanakan lama. Mereka bilang Cornell sudah membangun fondasi dan tim kepemimpinan yang kuat.
Meski begitu, saham Target turun 15% sejak pengumuman itu. Banyak orang di Wall Street berharap CEO baru dari luar perusahaan untuk membawa perubahan. Seorang investor bahkan meminta Target untuk mengubah peraturannya agar chairman harus orang independen, bukan mantan eksekutif.
Pengumuman bahwa McMillon tidak hanya berhenti sebagai CEO Walmart tetapi juga keluar dari dewan direksi sangat berbeda. Penggantinya, John Furner, adalah karyawan lama yang sudah memimpin bisnis AS yang sangat sukses untuk Walmart. Dia dipuji karena berperan besar dalam mempersiapkan Walmart untuk perubahan perilaku konsumen, terutama belanja dengan AI.
Kepergian McMillon menunjukkan perusahaan ini percaya diri dengan penerusnya. Juru bicara Walmart bilang ini adalah transisi kepemimpinan yang direncanakan dari posisi yang kuat. Kesuksesan Walmart dan kemampuannya mencetak pemimpin-pemimpin berbakat membuat investor yakin Furner bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Seorang analis bilang, perubahan ini “pahit-manis” dan terjadi saat perusahaan sedang kuat. Dia pikir Furner memiliki mentalitas dan fokus yang sama dengan McMillon, jadi strategi saat ini akan diteruskan.
Sayangnya, para analis tidak begitu percaya diri dengan transisi di Target. Presiden Quo Vadis Capital, John Zolidis, bilang kalau Fiddelke ditugaskan untuk melakukan perbaikan. Dia berasumsi Fiddelke punya ide baru, tapi ide-ide itu harus dijelaskan dengan jelas.
Beberapa analis merasa pendekatan Target terhadap pergantian CEO ini menunjukkan bahwa pimpinannya tidak ingin benar-benar melepaskan kendali. Seorang managing director menulis bahwa ini tidak serta-merta memperbaiki masalah “groupthink” dan pola pikir yang terlalu ke dalam yang sudah lama dialami Target.
Tapi, tidak semua orang berpikir Target harus memilih CEO dari luar. Seorang profesor dari Yale berpendapat dalam sebuah artikel bahwa memilih CEO dari dalam perusahaan secara sejarah justru menyebabkan kenaikan saham yang lebih besar. Mereka mengeluh bahwa “banyak orang kayaknya sudah menilai [Fiddelke] tidak bagus dari awal, terutama karena dia berasal dari dalam perusahaan sendiri”—menurut mereka sikap ini itu “terlalu cepat.” Mereka ngerti bahwa tantangan buat Target itu besar, tapi mereka berargumen bahwa Fiddelke mungkin bisa jadi CEO yang melakukan “langkah-langkah berani dan tegas, meskipun itu artinya harus langsung mengambil tindakan keras dan melewati masa-masa sulit untuk sementara.”
Mungkin aja. Tapi untuk sekarang, Wall Street masih belum terlalu yakin.