Mungkin dimulai dari sebuah kaset deck yang bisa memutar Spotify dan ngecas hp kamu. Ga harus berhenti disitu aja.
Sekarang ini, jaman dulu lagi jadi bisnis yang besar.
Ada kebangkitan lagi gaya retro di dunia desain: lampu bentuk jamur, konsol stereo dari kayu walnut, piring motif bunga daisy, kamera Polaroid warna neon. Rasanya rumah kita kayak baru aja pindah dari film “One Day at a Time” atau “That ’70s Show” atau dari tahun 1982 jaman “Thriller”.
Selamat datang di ‘retro reset’, dimana gaya estetika tahun 70an, 80an, dan 90an dapat kehidupan kedua. Ga cuma di fashion dan film, tapi juga di dekorasi rumah dan teknologi. Baik kamu pernah hidup di jaman itu atau merindukan masa lalu yang ga pernah kamu alamin, nostalgia lagi bikin banyak orang tertarik, dari Gen X sampai Gen Z, pada gaya jadul yang campur pesona vintage sama kenyamanan modern.
**Teknologi jadul, trik jaman sekarang**
Bagian besar dari tren ini adalah teknologi yang keliatannya analog tapi cara kerjanya digital. Contohnya, pemutar CD portabel dengan warna-warna cerah yang populer di Radio Shack tahun 1970-an, radio AM/FM yang ada colokan USB-nya, atau pemutar piringan hitam (turntable) dengan pengeras suara Bluetooth buat speaker nirkabel. Radio kecil yang gaya nya kayak model transistor tahun 1970-an sekarang juga berfungsi sebagai speaker pintar.
Bahkan ada pasar yang tumbuh untuk TV mini bergaya tabung sinar katoda yang besar tapi menarik — dan boombox yang bisa buat streaming. Rasanya kayak jaman Carter, Reagan, dan Clinton tabrakan sama teknologi digital terbaru.
Apa sih yang bikin kita tertarik? Sebagian karena suka sama sensasi tombol dan putaran — berinteraksi dengan sesuatu yang terasa padat, lebih “nyata”.
Di sebuah ruangan, barang-barang ini bukan cuma untuk kenangan masa lalu. Mereka juga pernyataan estetika yang nambahin lebih banyak karakter dibandingkan layar hitam datar yang besar, atau sistem suara “pintar” yang bahkan ga keliatan. Konsol stereo dengan finishing kayu atau warna pastel lacuer, bukan cuma ngasih musik tapi juga jadi perabotan tambahan yang bagus untuk ruangan. (Tapi siapa tau: Apa nanti layar hitam minimalis itu bakal jadi “retro” suatu hari nanti buat anak dan cucu kita?)
“Baik itu pemutar piringan hitam, pemutar kaset, speaker, atau alat musik, pasti ada ketertarikan dari penonton yang lebih muda dengan teknologi analog dan bagaimana cara kerjanya sebelum jaman digital,” kata Emmanuel Plat, direktur merchandising untuk MoMAstore, toko desain di Museum of Modern Art di New York.
Tokonya jual radio meja Tivoli Model One, dengan rangka kayu gaya jadul, kawat speaker bulat, dan tombol putar, tapi dengan kualitas suara dan konektivitas tahun 2025. Mereka juga jual synthesizer saku, pemutar piringan hitam Bluetooth, dan kamera Polaroid serta pemutar kaset bertema “Peanuts”.
**Siapa yang suka dan kenapa?**
Gen Z melihat semua ini dengan mata yang segar, dan mereka senang berburu barang vintage atau yang keliatan vintage. Milenial dan Gen X mungkin senang menghidupkan lagi estetika masa kecil mereka.
Dan itu bisa bikin nyaman di dunia yang penuh tekanan sekarang, kata Joseph Sgambatti, 37 tahun, seorang jurnalis desain di New York City.
“Pilihan desain yang didorong nostalgia menjadi kenyamanan yang bantu kita mengatasi,” katanya.
Ada juga komponen media sosial yang ironis dalam tren ini.
“Barang desain retro dan midcentury modern itu sederhana, seringkali jadi barang yang menarik perhatian,” kata Sgambatti. “Temuan-temuan ini punya nilai sosial yang besar di generasi yang memprioritaskan mempublikasikan hidup mereka online.”
Tren gaya emang cenderung datang dalam siklus — ingat “Happy Days” yang menggambarkan tahun 1950-an untuk penonton tahun 1970-an, atau ketertarikan Gen-Z pada fashion Y2K yang sedang happening sekarang. Ditambah lagi, tayangan media yang kaya nostalgia dari “Stranger Things” sampai “Barbie” telah memperkenalkan kembali desain retro ke penonton yang lebih muda.
Tapi ada juga komponen emosional. Setelah tahun-tahun kelebihan digital dan gangguan era pandemi, kita cenderung tertarik pada gaya yang terasa lebih hangat, lebih lembut — lebih manusiawi.
**Warna-warna yang punya arti**
Kalau kamu lewat E.C. Reems Academy, sebuah sekolah dasar di Oakland, California, atau Houston’s Children’s Assessment Center, kamu ga akan bisa melewatkan mural grafis yang hidup dibuat oleh Project Color Corps yang berbasis di Berkeley. Kelompok ini, yang bantu mengubah perpustakaan, sekolah, dan ruang komunitas lain dengan seni dinding yang mencolok, sering pakai grafis, jenis huruf, dan palet warna keseluruhan dengan nuansa tahun 70an dan 80an.
Di tahun 1970-an, “kami mencari ketenangan dalam nada hangat dan earthy yang melambangkan pembumian dan stabilitas. Coklat, oranye, hijau zaitun, dan kuning tua mendominasi lanskap estetika, mencerminkan gerakan Earth yang tumbuh,” kata Laura Guido-Clark, yang mendirikan nirlaba tersebut.
Estetikanya beda di tahun 80an — yang penuh dengan materialisme, konsumerisme, munculnya budaya ‘yuppie’, kata Guido-Clark. “Warna neon, pola berani, dan pilihan fashion yang hidup.”
Dan ada juga rasa suka akan hal itu.
Kelompoknya baru-baru ini bekerja dengan firma desain Gensler pada sebuah ruang lounge di pameran dagang NeoCon di Chicago untuk desain interior komersial. Ruangnya menampilkan warna dan motif berasa retro.
Direktur desain Gensler, Marianne Starke, bilang warna-warna itu menarik pemirsa ke dalam pengalaman indrawi yang mungkin berakar pada memori: “Es loli di hari musim panas tahun 90an, kaos bergaris tahun 80an, arena sepatu roda di tahun 70an.”
**Furnitur dengan lekukan dan percaya diri**
Di furniture, kebangkitan dekade-dekade yang agak jauh itu condong ke siluet lembut, tepi membulat, dan nuansa rendah. Rak buku melengkung, kursi gelembung, meja Lucite, dan finishing terrazzo semuanya masuk lagi dalam percakapan. Pola wallpaper dan tekstil menampilkan geometris yang berani, coretan gaya Memphis, dan botanikal ala Pop-Art.
Ini adalah perubahan yang sengaja menjauhi tampilan abu-abu-di atas-putih-di atas-abu-abu yang dingin yang diberikan dekorasi modern ala farmhouse kepada kita selama beberapa dekade terakhir.
Dalam prosesnya, era-era jadi tercampur. Siapa yang bisa bilang apakah sebuah inspirasi atau desain datang persis dari tahun 70an, 80an, atau 90an — atau mengandung elemen dari ketiganya?
Desainer bahkan meninjau kembali beberapa elemen era disko yang dulu kontroversial: Kaca smoked, aksen krom, dan permukaan bermirror sedang melakukan comeback yang halus (bukan kata yang sering dikaitkan dengan tahun 1970-an) di interior mewah dan lini produk.
Baik itu lampu lava yang bergoyang di konsol media, bunga daisy dan burung merpati menari di wallpaper, atau sofa dengan banyak bantal chintz berruffle, kebangkitan retro ini rasanya kurang seperti trik dan lebih seperti pergeseran dalam bagaimana orang ingin hidup — mengintegrasikan elemen-elemen masa lalu yang menawarkan kenyamanan dan kesenangan.
Selama pemutar kaset itu tetap bisa nyambung ke Bluetooth dan kita bisa streaming “Annie Hall”, “Saturday Night Fever” atau “Miami Vice”, masa lalu, sepertinya, akan tetap ada — setidaknya sampai momen kita sendiri pada akhirnya menjadi bahan nostalgia itu sendiri.