Manajemen perubahan yang efektif adalah kunci untuk menerapkan AI di seluruh perusahaan, tapi sering di remehkan. Saya belajar ini langsung pada masa awal saya sebagai CEO di Sanofi. Saya sudah biasa masuk ke rapat-rapat untuk belajar sebanyak mungkin tentang organisasi. Di satu rapat, saya diberi tau dengan langsung, mereka sedang bahas cara untuk menghindari memberikan data mentah ke saya tanpa review dulu dan memutuskan “naratifnya”. Momen itu bikin saya sadar. Saya sadar saya meremehkan bukan cuma skalanya manajemen perubahan yang diperlukan, tapi juga kurva belajar saya sendiri dalam memimpin transformasi seperti itu. Tantangan sebenarnya bukan teknis—tapi kultural.
Kita meremehkan skala kurva belajar AI
Membangun kepercayaan pada AI butuh lebih dari komunikasi yang jelas tentang manfaat dan batasannya; itu butuh komitmen untuk melibatkan karyawan dalam perjalanannya, menunjukkan bahwa AI hadir untuk menambah—bukan mengganti—penilaian manusia.
Seiring waktu, saat alat AI jadi lebih terintegrasi ke alur kerja sehari-hari—contohnya laporan keuangan langsung atau bahkan mengundang agen AI ke rapat (ingat AI tidak punya karir yang dipertaruhkan) untuk memberikan ringkasan yang tidak bias—kepercayaan karyawan tumbuh, dan skeptisisme berkurang. Anda bisa bayangkan resistensi AI seperti pakai app navigasi Waze. Orang sering merasa mereka lebih tau dari app-nya dan ingin ambil jalan yang sudah mereka lewati berkali-kali karena itu familiar. Tapi jika kamu berani ambil risiko dan ikuti sarannya, kamu mungkin menemukan perjalanan kamu lebih cepat dan mudah dari yang kamu bayangkan.
Jangan mendelegasikan revolusi AI
Memimpin revolusi AI butuh lebih dari sekedar kasih arahan dari kantor atas. Itu butuh keterlibatan personal dan kemauan untuk putus dengan tradisi. Pada tahun 2021, kami luncurkan “AI Fight Club”, pilih 12 agen perubahan yang dihormati dari berbagai departemen—tidak ada yang spesialis AI—untuk berinovasi dalam fungsi mereka sendiri bekerja sama dengan ahli teknologi.
Agen perubahan ini diberikan otonomi penuh dan bertemu rutin untuk presentasikan progres dan berkolaborasi lintas sektor. Pendekatan ini terbukti jauh lebih efektif dari peluncuran tradisional, khususnya untuk generasi baru karyawan yang ingin partisipasi dan kreasi bersama daripada inovasi top-down. Pemimpin harus invest energi, kembangkan pemahaman teknologi yang nyata, dan ciptakan ruang untuk eksperimen. Dengan terlibat aktif, kami inspirasi kepercayaan, percepat adopsi, dan pastikan AI jadi katalis untuk perubahan yang berarti dan bukan cuma inisiatif korporat lain. Dukung AI lintas tim dan singkirkan penghalang untuk inovator. Jika kamu mendelegasikan revolusi AI, kamu risiko stagnasi dan perlawanan.
EQ adalah emas baru
Masa depan bukan tentang manusia versus AI, tapi manusia + AI. Ini tentang mempercepat tugas-tugas yang menyita waktu, memungkinkan karyawan melakukan pekerjaan mereka lebih cepat, dengan lebih efisien dan berdampak. Ini sangat penting untuk tetap kompetitif. Perusahaan tidak bisa hanya merekrut berdasarkan kecocokan seseorang dengan deskripsi pekerjaan. Adaptabilitas adalah keahlian baru yang wajib. Dimana AI tidak beremosi dan terhitung, manusia menawarkan sesuatu yang unik: kecerdasan emosional. Emotional quotient, atau kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi, meningkatkan pengambilan keputusan dengan mengambil pengalaman manusia untuk hasil yang lebih seimbang, efektif, dan inklusif.
Itu juga kenapa saya percaya filosofi, sejarah, dan geografi akan terus beri nilai besar di masa depan. Disiplin ilmu ini pupuk pemikiran reflektif dan penalaran kritis—kualitas yang AI tidak bisa tiru. Olahraga tim dan kegiatan kreatif sama pentingnya dengan coding atau data science, karena mereka bangun ketahanan, empati, dan kemampuan untuk berkolaborasi. Bakat baru sekarang tidak mau informasi yang di cascade—mereka mau berpartisipasi dan membentuk inovasi.
Kesimpulan
Membangun kepercayaan diri, mendorong partisipasi, dan menggerakkan perubahan budaya sama pentingnya dengan menguasai aspek teknis AI. Pengalaman saya sendiri menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam revolusi AI menuntut lebih dari sekedar memberikan arahan, itu butuh semangat kewirausahaan, rasa ingin tau, dan kemauan untuk mendengar dan belajar dari setiap tingkat organisasi. Ketika karyawan dilibatkan dalam proses dan diberi ruang untuk berkreasi bersama, skeptisisme memudar dan inovasi berkembang. Tambang emas berikutnya tidak akan ditemukan dalam algoritma atau otomasi saja, tapi dalam kualitas manusiawi yang unik yang tidak bisa di code.
Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan komentar Fortune.com adalah pandangan penulisnya saja dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.
Memperkenalkan Fortune Global 500 2025, ranking pasti dari perusahaan-perusahaan terbesar di dunia. Jelajahi list tahun ini.