Selama puluhan tahun, Reza Pahlavi hidup di pengasingan jauh dari tanah airnya, mencari celah kelemahan di rezim Islam Iran yang menggulingkan ayahnya, sang Shah terakhir.
Kebanyakan, dia cuma jadi figu sampingan, dituduh kritikus gak punya kredibilitas dan gagal bikin oposisi terorganisir utk lawan pemimpin teokratis yg kuasai Iran sejak 1979. Tapi sekarang, saat bom Israel menghujani Iran dan rezim bertarung demi kelangsungan hidupnya, dia berharap mungkin akhirnya waktunya tiba.
"Ini pertama kalinya dalam bertahun-tahun kita lihat kesempatan untuk perubahan lebih terbuka," kata Pahlavi ke Financial Times.
Sejak Israel mulai perang melawan Iran Jumat lalu, Pahlavi—tokoh oposisi paling terkenal di pengasingan—manfaatkan momen ini utk serukan rakyat Iran "bangkit" dan "rebut kembali Iran". Dia ikut gaya Benjamin Netanyahu yg juga coba picu pemberontakan di Iran, bikin banyak orang Iran curiga PM Israel ini pengin ganti rezim.
Tapi sejauh ini, belum ada tanda-tanda seruan mereka didengar. Kekecewaan rakyat Iran terhadap pemimpinnya utk sementara tenggelam oleh usaha bertahan hidup dan kemarahan pada bom Israel.
Vali Nasr, profesor di Johns Hopkins, bilang suasana sekarang makin anti-Israel, "baik kamu pro-rezim atau anti-rezim", karena sentimen nasionalisme menguat.
"Rezim Islam pasti akan dapat balasannya; rakyat mau rezim ini jatuh, tapi mereka juga gak mau negaranya diserang. Mereka gak tertarik utk melawan rezim sekarang—itu bukan prioritas."
Rezim selama ini berhadapan dengan ketidakpuasan publik, terutama dari generasi muda yang frustasi dengan puluhan tahun penindasan, isolasi, dan kesulitan ekonomi. Aksi protes makin sering terjadi 20 tahun terakhir.
Jutaan orang demo pemilu 2009 yg disebut "Gerakan Hijau". Tiga tahun lalu, para pemuda turun ke jalan menuntut lengsernya Ayatollah Khamenei setelah kematian Mahsa Amini, 22 tahun, karena ditahan polisi gara-gara hijabnya "tak sesuai".
Tapi setiap kali, rezim menindas protes dengan keras, kadang kasih konsesi kecil utk redam tekanan.
Sepanjang itu, oposisi internal gak pernah bisa bersatu.
Pemerintah menangkapi siapa saja yg dicurigai, memenjarakan aktivis, kritikus, bahkan mantan pendukung rezim yg berbalik.
Pahlavi, yg belum pulang ke Iran sejak 1978 saat dia berangkat ke AS utk kuliah di usia 17 tahun, coba isi kekosongan ini dengan klaim jadi juru bicara oposisi dari markasnya di AS. Sekarang dia tawarkan diri sebagai "pemimpin transisi" menuju alternatif demokratis sekuler.
Tapi banyak ahli Iran ragu.
Menurut analis, Pahlavi emang punya sedikit dukungan karena dia manfaatkan kekecewaan pada rezim dan nostalgia masa sebelum revolusi. Tapi seberapa besar dukungan ini masih diperdebatkan, apalagi diaspora Iran sering terpecah-belah dan dibilang gak nyambung dengan realita di dalam negeri.
Pahlavi dan oposisi pengasingan sempet lihat peluang serupa saat protes "Wanita, Hidup, Kebebasan" setelah kematian Amini. Tapi mereka cepat terpecah, saling serang, dan akhirnya protes dipadamkan lalu oposisi kembali ke pinggiran.
Serangan Israel sekarang lebih berbahaya, tapi ahli bilang peluang oposisi yg terpecah tetap kecil.
"Untuk bikin revolusi atau ganti rezim tanpa pasukan AS, butuh karisma, organisasi, dan orang dalam negeri yg mau berjuang," kata Mohsen Milani, penulis buku tentang Iran.
"Harus punya visi masa depan yg diterima rakyat dan bisa bikin koalisi luas melawan rezim. Sejauh ini belum ada buktinya."
Dia tambahkan serangan Israel malah memperlebar perpecahan di oposisi: "Ada yg menolak, tapi banyak pendukung Pahlavi justru dukung serangan."
"Banyak orang di Iran yg benci rezim ini dan udah bayar mahal—nyawa dan penghidupan mereka," kata Milani. "Sulit bayangkan mereka akan minggir dan biarkan orang luar mengambil alih."
Resiko buat Pahlavi—yg ketemu Netanyahu saat berkunjung ke Israel 2023—adalah dia bisa dianggap kolaborator musuh Iran, menghancurkan sedikit dukungan yg dia punya.
Pahlavi, 64 tahun, bersik Tahun 1980-an, negara ini mendukung Irak dalam perang melawan Iran. Rezim Islam sering menuduhnya memicu protes dan ketidakstabilan serta bekerja sama dengan Israel.
Risiko tambahan untuk Pahlavi (kanan), yang bertemu Benjamin Netanyahu (tengah) saat berkunjung ke Israel tahun 2023, adalah dia akan dilihat sebagai kolaborator dengan musuh Iran.
Tapi para analis bilang gerakan militan, sering disebut sekte, dibenci dan ditakuti di Iran. Mereka dituduh membunuh pejabat dan warga sipil. Kemungkinan besar tidak dapat dukungan populer.
"Mereka bisa kirim orang untuk buat onar di negara ini," kata Boroujerdi. "Tapi pertanyaan utamanya: Kekuatan mana yang punya jaringan dan dukungan organisasi kuat untuk lakukan sesuatu yang efektif?"
Jadi, para analis bilang tidak ada alternatif jelas untuk republik ini, baik di dalam atau luar Iran. Tapi yang bisa ubah situasi adalah pembelotan dari dalam rezim, termasuk tentara dan Garda Revolusi yang kuat.
"Poin utamanya… seberapa besar batas kesabaran negara dan pendukungnya? Kapan kita akan lihat pembelotan, misalnya dari jajaran (Garda Revolusi)?" kata Boroujerdi. "Saat ini, belum ada tanda serius pembelotan dari elit itu."
Tapi republik ini berada di wilayah tak terpetakan. Serangan Israel menghancurkan jajaran atas militer, jaringan intelijennya sudah disusupi, dan Netanyahu tidak menolak kemungkinan membunuh Khamenei.
Nasr bilang Iran bisa mengalami momen "Yeltsin", mengacu pada Boris Yeltsin yang mempercepat runtuhnya Uni Soviet dan jadi presiden terpilih pertama Rusia.
"Yang diinginkan rakyat adalah seseorang yang bisa nyalakan lampu lagi, bawa ketertiban, dan stabilkan hubungan dengan luar negeri," katanya. "Itu akan menyatukan birokrasi."
Ketakutan terbesar warga Iran adalah perpecahan di negara multietnis berpenduduk 90 juta ini. Mereka melihat kekacauan di Irak setelah invasi pimpinan AS tahun 2003 yang gulingkan Saddam Hussein, juga perang saudara di Suriah dan Libya setelah pemberontakan 2011.
Milani bilang konflik-konflik itu, plus pengalaman revolusi Islam 1979, buat kelas menengah—pendorong utama perubahan—jadi hati-hati dengan upaya ganti rezim.
"Mereka jauh lebih ragu untuk ikut kecuali diberi jaminan bahwa pengganti republik Islam akan lebih baik dari sekarang," ujarnya.