Kekhawatiran Suzy Welch: Generasi Z Dinilai “Tidak Bisa Dipekerjakan”

Perusahaan dan kampus sedang berusaha berikan keterampilan dasar buat Gen Z. Ini terjadi setelah Suzy Welch, seorang profesor, bilang kalau Gen Z itu sulit buat dipekerjain. Dia bilang nilai-nilai Gen Z beda sama yang dicari manager.

Menurut dia, cuma 2% anak Gen Z yang peduli sama prestasi, belajar, dan semangat kerja. Sebaliknya, mereka lebih peduli sama self-care, jadi diri sendiri, dan bantu orang lain. Banyak pemimpin bisnis juga setuju, dan ada yang ogah hire lulusan baru.

Fortune juga nulis tentang masalah Gen Z di tahun 2025, seperti rasa takut sama AI dan lapangan kerja yang menyusut. Banyak pemimpin bilang "human skills" atau keterampilan manusiawi sekarang lebih penting, tapi justru Gen Z kurang di bagian itu. Fenomena "Gen Z stare" juga viral, yang tunjukkan kesulitan mereka dalam interaksi.

Beberapa pemimpin sekarang ambil tindakan. Rebecca Adams, seorang Chief People Officer, ngirim semua managernya ikut pelatihan khusus cara kerja sama Gen Z. Ada juga Liz Feld dari organisasi nirlaba Radical Hope, yang bantu bekali anak muda dengan keterampilan komunikasi dan kecerdasan emosional di banyak kampus.

Adams cerita dia belajar banyak dari anak-anaknya sendiri yang Gen Z, jadi dia lebih paham sama pekerja pemula. Dia bilang perlu ada pelatihan tambahan tentang cara berperilaku di kantor. Feld juga bilang hal serupa, kalau banyak anak muda belum siap urus hal-hal sederhana sendiri karena biasa orang tua mereka yang putusin semuanya.

Ada kesenjangan di pasar: etiket di tempat kerja

Adams cerita tentang magang dan karyawan baru yang kesulitan dengan hal-hal dasar profesional, seperti bolos rapat karena urusan pribadi atau gak paham cara pake kalender. Perusahaannya sekarang kasih arahan eksplisit, dari cara ngatur kalender sampai etiket rapat.

Menurut Adams, Gen Z itu pengen tau kenapa dan gimana, dan mereka pengen feedback terus-terusan. Tapi, dia juga akui cara mereka mendekati pekerjaan kadang bikin heran.

Perusahaannya harus ajarin manager cara memimpin Gen Z, sekaligus ajarin hal "dasar" ke pekerja muda, seperti cara ngatur kalender dan bahwa mereka harus terima undangan rapat, dan gak boleh tinggalin rapat yang belum selesai.

MEMBACA  Waktu tidak menunggu, Diskon 26% untuk Pemindai Dokumen Portabel Canon ini akan Berakhir Hanya untuk Hari Prime Malam Ini

Dia kasih contoh, ada program makan siang manager dan magang. Seorang manager nunggu magang yang sebenarnya udah sukses dan bakal dijadikan karyawan tetap. Tapi si magang ini datang telat dan bilang, "Maaf, saya harus jalan, tadi ada rapat." Saat manager nawarin jadwal ulang, si magang bilang dia "banyak kegiatan" jadi dia pikir gapapa tinggalin rapat lebih awal buat makan siang.

Adams juga cerita soal anaknya yang berumur 20 tahun yang milih magang. Sikap anaknya itu seperti, "Saya harus suka pekerjaannya dan suka perusahaannya." Adams bingung sama ini dan bilang, "Maksud kamu apa? Dulu saya jadi pelayan bertahun-tahun."

Adams juga bilang Gen Z suka transparan, tapi kadang keliatan pilih-pilih. Ada satu magang cowok yang kerjanya bagus banget dan melebihi ekspetasi. Waktu kami kasih dia tawaran kerja, dia bilang, ‘Tahu nggak? Aku lebih pengin ambil waktu setahun buat jalan-jalan aja karena aku baru lulus.’ Aku langsung kaget banget." Adams bilang, kalo dia itu ibu dari anak magang itu, dia bakal bilang, "Ambil aja kerjaannya. Nanti aja jalan-jalannya." Tapi generasi sekarang memang beda, dan kedua belah pihak butuh pelatihan baru supaya bisa kerja sama dengan baik.

Rasa takut yang dalam akan kegagalan

Program Feld, dibuat dari diskusi dengan ribuan murid, fokus ke skill yang “dulu kita semua dapat waktu tumbuh dewasa di meja makan”—seperti empati, komunikasi, tentuin prioritas, dan cara menyelesaikan konflik dasar. Programnya bukan terapi kelompok, tapi lebih disebut sebagai “pengalaman” yang dipimpin teman sebaya dan penuh aktivitas. Sesi-sesinya bisa berupa main peran, ngatur stres, ngatur waktu, bahkan bagi-bagian playlist musik untuk dukungan emosi. Yang paling penting, ada panduan dasar untuk komunikasi tatap muka, karena kata Feld, banyak Gen Z yang “takut” bikin obrolan kecil. “Mereka merasa terancam, dan mereka bakal bilang kalo mereka anggap penolakan dalam percakapan itu sebagai kegagalan pribadi.”

Feld bilang, ribuan murid yang dia ajak bicara punya masalah dengan hal-hal paling sederhana. “Mereka nggak akan nanya seseorang, ‘Mau ke kantin makan malam nggak, mau minum bir, mau jalan-jalan, mau ngopi?'” Kalo ada yang bilang nggak, dia nambahin, “mereka menanggung semuanya di dalam hati. Penolakan tatap muka itulah yang mereka takutin.” Dia bilang mereka cuma nggak pernah belajar caranya, dan teknologi bikin mereka bisa menghindari banyak langkah-langkah dasar dalam perkembangan mereka.

MEMBACA  Mesir tidak akan membiarkan siapapun masuk dari Gaza

Saat dia lanjut njelasin apa yang dia lihat di pekerjaannya, rasa kesal dan bingung Feld tumbuh sama besarnya. Waktu ditanya tentang kabar kalo ada pelamar kerja Gen Z yang bawa orang tua mereka ke wawancara kerja, Feld konfirmasi kalo itu beneran terjadi. “Kami bahas itu, dan ini balik lagi ke orang tua yang sebenernya pikir itu wajar aja buat pergi ke Bank of America untuk wawancara sama anak mereka, yang kuliah di Dartmouth… ada banyak banget hal aneh dalam hal ini yang nggak nyambung.”

Feld bilang kadang dia dengar orang tua bilang ke anak mereka yang udah dewasa, “Aku ikut sama kamu, kamu nggak bisa melakukan ini sendiri, yang mana adalah… kenapa sih kamu ngomong gitu ke anak umur 22 tahun?” Dia bilang tekanannya sangat besar. “Anak-anak muda ini rasanya mereka harus selalu tampil bagus buat orang tua mereka sendiri.”

Adams, di sisi lain, njelasin tekanan besar yang dia lihat dari anak muda ke diri mereka sendiri, menyebutnya “seram dan menarik.” Dia bilang dia lihat anak magang dan kolega Gen Z sangat fokus ke masa depan, inget tesis Jonathan Haidt tentang Gen Z sebagai “generasi cemas” yang besar dengan smartphone. Adams njelasin kecemasan performa yang mirip dengan apa yang Feld identifikasi, sikap kayak: “Aku pengin semuanya udah pasti supaya aku bisa putusin kalo aku mau nikah, kalo aku mau punya anak, jadi aku pengin naik karir sebanyak mungkin sebelum itu, tapi aku juga pengin jalan-jalan dan punya banyak keseimbangan kerja-hidup.”

“Waktu aku ketemu mereka,” kata Adams, “tekanan yang mereka taruh ke diri sendiri bikin aku takut.” Dia bilang terlalu banyak mikir buat milih jurusan yang tepat, mengoptimalkan karir terbaik, tampil di level teratas di setiap saat, dan itu sangat beda sama dia. “Jurusanku nggak sama dengan pekerjaanku. Itu cuma sesuatu yang aku suka dan pengalaman pergi kuliah” itu yang lebih penting.

MEMBACA  OpenAI Mengatakan ChatGPT Kemungkinan Tidak Akan Membuat Senjata Biologi

Baik Adams maupun Feld nggak tau banyak soal frase viral yang dikaitin sama Gen Z. Adams pake frase “locked in” untuk njelasin sikap kolega Gen Z-nya, tapi dia jelasin kalo dia nggak nonton TikTok dan belum pernah dengar “the great lock-in,” jadi pake frasenya cuma kebetulan. Feld sendiri belum pernah dengar soal “tatapan Gen Z” tapi dia kenali deskripsinya.

“Aku lihat itu waktu anak muda pesen lewat aplikasi,” kata Feld, “Dan mereka masuk ke Starbucks, atau Dunkin’ Donuts, atau Chipotle, dan mereka bahkan nggak bilang makasih, atau mereka bahkan nggak lihat orang yang ngasih mereka tasnya. Mereka sibuk sama hp-nya, atau pura-pura sibuk sama hp, supaya mereka nggak perlu berinteraksi.” Dia bilang dia ngobrol sama seorang orang tua yang kirim anaknya ke sekolah asrama terapeutik, dan anak muda ini sangat takut interaksi sampai-sampai dia, secara aktif, belajar caranya. “Satu latihan yang harus dia praktikkin di sekolah adalah pergi ke Dunkin’ Donuts atau McDonald’s dan latihan ngasih uang ke seseorang [dan dapet kembalian], seperti, sebagai orang yang udah umur 20-an.”

Feld bilang hal yang paling menghangatkan hati adalah bahwa anak-anak muda ini “pengin banget komunikasi langsung, mereka cuma nggak tau caranya. Sesuatu yang bikin sadar adalah bahwa itu sebenernya skill yang cuma belum mereka pelajari, dan mereka pengin belajar.” Biasanya kita mikir, kalo mau bikin sesuatu yang bagus, kita harus bayar mahal. Tapi sebenernya, kita bisa bikin produk yang sangat bagus dengan biaya yang rendah. Ini bukan cuma teori loh, tapi udah kami buktikan sendiri.