Selamat pagi. Ini Lila MacLellan, gantiin Diane Brady. Ini masalah yang biasa banget buat CEO yang mengambil alih merek yang punya masalah tapi disukai. Gimana caranya bikin segar tanpa buang pelanggan setia? Kita lagi bahas tentang hebohnya Cracker Barrel, yang dapet reaksi brutal karena usaha modernisasi dan logo barunya yang diumumin minggu lalu.
Logo barunya mirip sih sama yang lama—warna coklat dan kuning, fontnya tua-tua gitu—tapi gambarnya bukan tong (barrel) dan orang tua yang biasanya duduk di kursi, yang udah ada selama 56 tahun.
Waktu saya tanya pendapat David Reibstein, profesor marketing di The Wharton School, tentang kegagalan ini, dia kasih review campur. Merek harus berubah dan terima marahnya pelanggan setia, jadi dia puji CEO-nya, Julie Felss Masino, karena mau bikin Cracker Barrel berkembang.
Soalnya, kayak kata Jake Bartlett, analis di Truist Securities, pengunjung restorannya udah turun bertahun-tahun. Masino, yang jadi CEO sejak 2023, janji ke investor soal transformasi besar yang akan hasilnya keliatan di 2027.
Perusahaan udah coba interior baru yang kurang ramai di beberapa tokonya dan udah bicara ke investor dan pelanggan tentang percobaan ini berbulan-bulan. Masino juga baru aja tampil di Good Morning America dan jawab kritik soal tampilan baru; dia bilang meskipun ada postingan media sosial yang bilang desainnya membosankan, tapi sebagian besar responnya positif.
Tapi untuk perubahan logo, perusahaan kurang jelasin, dan pasar yang isi kekosongan itu, nyebut logonya membosankan. Beberapa aktivis konservatif bahkan bilang CEO-nya tinggalin warisan merek demi “wokeness”. Pembahasannya jadi keterlaluan.
Inti masalahnya mungkin bukan logonya. Tapi, dalam ubah citra perusahaan, pemimpinnya gagal komunikasin visi babak baru Cracker Barrel. “Akan lebih baik kalau Cracker Barrel bilang, ‘Ini yang kami percayai sekarang,’” kata Reibstein, bukan cuma, ‘Kami cuma ubah background nama kami.’”