Dunia perusahaan sedang giat mengajak karyawan kembali kerja di kantor. Banyak pekerja di perusahaan besar global seperti Amazon, JPMorgan, dan Goldman Sachs sudah harus masuk kantor lima hari seminggu. Awal Desember lalu, Instagram jadi perusahaan terbaru yang umumkan aturan kembali ke kantor. CEO-nya, Adam Mosseri, bilang langkah ini buat tingkatkan “kerja sama” dan “kreativitas” karyawan.
Tapi, banyak pekerja sebenarnya tidak suka ide kembali ke kantor. Mereka berpendapat kerja hybrid itu lebih fleksibel dan produktivitas tetap bagus. Ini jadi tantangan baru bagi perancang tempat kerja pasca pandemi, kata Ray Yuen, direktur kantor di firma arsitektur Gensler. Mereka harus buat ruang kantor yang menarik supaya karyawan mau kembali.
“Kami sekarang bukan cuma mendesain tempat kerja, tapi kami mendesain pengalaman,” ujar Yuen di forum Fortune Brainstorm Design di Macau, 2 Desember. “Kamu harus buat kampus atau tempat kerja itu lebih dari sekadar untuk kerja. Itu bagian yang serunya.”
Mengutip hasil survei perusahaannya di tahun 2025, Yuen bilang, saat ditanya apa yang bikin tempat kerja itu bagus, karyawan semakin sering sebut hal-hal seperti makanan dan fasilitas kesehatan.
“Mereka bahkan tidak sebut-sebut soal kerja—semua orang memilih hal-hal yang kita ingini sebagai manusia,” tambahnya.
Karena itu, perancang tempat kerja seperti Yuen perlu memikirkan cara mendesain ulang kantor modern. Dia mencontohkan proyek Gensler di Tokyo, Jepang, untuk sebuah perusahaan di mana 50% stafnya biasa kerja dari rumah.
“Kami desain kantor mereka dengan 15 pilihan makanan berbeda, termasuk coba menghadirkan Blue Bottle. Kami akhirnya juga mendesain sebuah bar [vinyl] rahasia,” kata Yuen.
Perusahaan juga semakin cari ruang kerja yang bisa diubah-ubah, tambah Yuen. Desainer interior merespons dengan mengganti perabotan tetap dengan furnitur modular yang bisa dipindah. “[Dengan begini,] kamu bisa ubah sebuah ruang saat dibutuhkan, dari ruang makan untuk staf, jadi ruang acara atau tempat nongkrong untuk klien.”
Kebutuhan pengguna terhadap ruang juga makin kompleks, kata Yuen. Bandara, contohnya, tidak lagi cuma jadi tempat transit yang sederhana, tapi juga tempat para traveler bisa kerja atau istirahat.
Sekarang, bandara punya “lebih banyak ruang luar-dalam [dan] cahaya alami, setelah area check-in. Pengalaman di bandara dulu cuma check-in, lalu duduk-duduk menunggu,” kata desainer tersebut. “Sekarang itu jadi tujuan, bukan cuma tempat transit.”
Seperti bidang lain, kecerdasan buatan juga mengubah cara kerja para desainer.
Yuen cerita bagaimana beberapa kliennya sudah bisa buat visual dengan generator gambar AI seperti Google’s Nano Banana Pro, lalu bertanya: “Kalau AI bisa buat dalam satu detik, kenapa firma desain tidak bisa lebih cepat?”
Banyak desainer secara tradisional anggap waktu dan kerajinan tangan sebagai prinsip inti desain, tapi AI mendorong mereka untuk ubah cara kerja, kata Yuen. Klien sekarang mau “tanggapan langsung, kepuasan langsung,” lanjutnya.
“Dengan AI, kami sekarang hampir seperti pencipta semua karya seni ini, dan kami coba pilih mana yang cocok—hanya itu cara kami mengelola kebutuhan klien soal kecepatan dan waktu,” ujar Yuen.