Freezer dengan produk daging JBS oleh Carol Maluf via Shutterstock
Penawaran saham perdana (IPO) terus bermunculan di tahun 2025. Mulai dari platform trading eToro (TORO), penerbit stablecoin Circle (CRCL), hingga platform kesehatan Omada (OMDA), para investor sepertinya punya banyak pilihan setelah pasar IPO sempat sepi.
Yang terbaru, perusahaan pengolahan daging terbesar di dunia, JBS (JBS), telah go public. Mari kita lihat apakah sahamnya cukup "empuk" untuk diinvestasikan.
Didirikan tahun 1953 oleh José Batista Sobrinho (makanya namanya JBS), perusahaan ini sekarang jadi raksasa pengolahan daging global. Mereka mengolah sapi, ayam, babi, kambing, dan ikan—plus produk sampingan seperti kulit, kolagen, biodiesel, dan produk pembersih. Dengan 600 pabrik di seluruh dunia, JBS bisa mengolah 75.000 sapi, 14 juta ayam, dan 147.000 babi per hari.
Saham JBS mulai diperdagangkan di Bursa Efek New York pada Jumat, 13 Juni, dan sekarang terdaftar ganda di AS dan Brasil. Banyak yang melihat listing JBS di AS sebagai sebuah kemenangan. Perusahaan induk JBS pernah mengaku bersalah atas kasus suap di AS tahun 2020, dan aktivis lingkungan serta politisi AS sering mengkritik jejak lingkungannya, termasuk emisi yang tinggi.
Di kuartal pertama 2025, pendapatan bersih JBS naik 8,5% dari tahun sebelumnya jadi $19,5 miliar. Di Brasil (negara asalnya), pendapatan naik 10,3% per tahun jadi $3,2 miliar. Ini juga meningkatkan margin laba operasional jadi 7,8% dari 7,2% di periode yang sama tahun lalu.
Laba per saham juga melonjak dari $0,15 jadi $0,23 karena laba operasional naik dari $1,3 miliar jadi $1,5 miliar.
Meski utang bersih turun jadi $14,8 miliar (dari $15,9 miliar di Q1 2024), kemampuan JBS menghasilkan arus kas tetap jadi perhatian. Arus kas keluar dari operasi melebar jadi $555 juta dari $235 juta tahun lalu. Di akhir kuartal, saldo kasnya $4,8 miliar—jauh lebih rendah daripada utangnya.
JBS udah jadi pemain utama di industri daging global, terutama di AS sebagai produsen daging sapi terbesar dan nomor dua untuk unggas dan babi. Operasinya ada di 20 negara dengan produk terjual di lebih dari 190 pasar. Portofolionya beragam, mulai dari sapi, babi, unggas, sampai kategori daging lain, bikin bisnisnya kuat.
Skala global ini ngasih JBS keunggulan kompetitif. Di banyak daerah, mereka punya posisi tawar kuat karena jadi pembeli dominan. Ini bikin JBS bisa ngatur pemasok, termasuk peternak yang mungkin enggak punya pilihan pembeli lain. Hasilnya, JBS sering bisa menentukan harga dan jadwal pembayaran yang menguntungkan.
Jaringan pasokan global JBS juga jadi tameng jika ada gangguan di satu daerah. Misalnya, kalau di satu wilayah harga daging turun karena kelebihan pasokan, JBS bisa beli murah lalu jual di daerah lain yang harganya lebih tinggi, sehingga labanya tetap terjaga.
Perusahaan ini juga gencar investasi buat ekspansi. Proyek terbaru termasuk budidaya salmon di Australia dan perluasan produksi unggas olahan di pabriknya di Jeddah, Arab Saudi.
Tapi tantangan tetap ada, terutama soal harga bahan baku. Harga jagung (ZCN25), kedelai (ZSN25), dan ternak bisa naik-turun, yang bisa tekan margin laba.
Masalah tata kelola juga masih jadi kekhawatiran investor. Kembalinya Joesley dan Wesley Batista (anak pendiri) ke dewan direksi bikin kontroversi. Mereka terlibat skandal korupsi besar di Brasil tahun 2017 dan pernah dipenjara. Perusahaan induk mereka, J&F Investimentos, bayar denda $3,2 miliar. Kembalinya mereka bikin