Gelembung atau Bukan, Reaksi Negatif terhadap AI Membenarkan Peringatan Seorang Kritikus

Buat pertama kali, OpenAI merilis GPT-5 yang menurut Sam Altman, mereka "sangat gagal." Lalu, Altman juga mengatakan kata "B" (gelembung/bubble) saat makan malam sama wartawan. Dia bilang, saat gelembung terjadi, orang pintar jadi terlalu semangat tentang hal yang sebenarnya kecil. The Verge melaporkan komentar CEO OpenAI ini.

Kemudian, ada survei besar dari MIT yang menunjukkan bahwa 95% percobaan AI di perusahaan-perusahaan gagal. Ini bikin investor panik dan nilai S&P 500 turun sampai $1 triliun. Banyak yang takut kalau booming AI ini bakal jadi seperti gelembung dotcom lagi.

Memang, ketakutan soal AI bukan satu-satunya hal yang pengaruhi pasar. Contohnya, S&P 500 sempat membaik setelah komentar Jerome Powell yang agak positif.

Gary Marcus sudah memperingatkan soal batas model bahasa besar (LLM) sejak 2019 dan potensi gelembung AI sejak 2023. Dia seorang ilmuwan kognitif yang sudah lama meneliti AI. Dia tidak menganggap dirinya seperti "Cassandra" yang tidak didengar, tapi lebih sebagai orang yang realistis.

Marcus bilang goyahnya pasar terutama karena GPT-5. Modelnya tidak buruk, tapi tidak sehebat yang dijanjikan. Banyak orang berharap GPT-5 seperti AGI (kecerdasan umum buatan), tapi kenyataannya tidak. Menurutnya, ini sudah bisa diperkirakan karena deep learning sudah mentok.

Dia bilang psikologi massa sedang terjadi, dan dia ingat quote John Maynard Keynes: pasar bisa tetap bertahan lebih lama daripada kamu bisa tetap rasional. Atau seperti karakter kartun Wile E. Coyote yang lari di udara setelah kejatuhan tebing. Marcus merasa seperti itu: "Kita sudah jatuh dari tebing. Ini tidak masuk akal. Tapi beberapa hari terakhir, orang akhirnya mulai sadar."

Pembicaraan soal gelembung mulai panas bulan Juli lalu. Seorang ekonom terkenal, Torsten Slok, bilang nilai 10 perusahaan teratas di S&P 500 sekarang lebih overvalue dibanding tahun 1990-an. Perusahaan seperti Nvidia, Microsoft, Apple, dan Meta nilainya sudah tidak sesuai dengan pendapatan mereka.

Selain kekecewaan pada GPT-5, peringatan lain adalah banyaknya uang yang dihabiskan untuk pusat data untuk mendukung AI. Investasi untuk pusat data menyumbang pertumbuhan GDP sama besar seperti pengeluaran konsumen, padahal konsumen biasanya 70% of GDP.

Akhirnya, pada 19 Agustus, mantan CEO Google Eric Schmidt menulis op-ed di New York Times yang banyak dibicarakan. Dia bilang tidak pasti kapan AGI bisa dicapai. Ini perubahan signifikan, karena sebelumnya dia dianggap sebagai salah satu suara yang membentuk konsensus bahwa AGI akan datang sebentar lagi. Judul post Farrell waktu itu: "The twilight of tech unilateralism". Dia simpulkan: "Kalau taruhan AGI itu buruk, maka banyak alasan untuk konsensus ini runtuh. Dan itu kesimpulan yang Eric Schmidt kayaknya juga setuju."

MEMBACA  Warga Kota el-Fasher yang Terkepung Hadapi Kelaparan, Peringatan PBB

Akhirnya, suasana berubah di musim panas 2025 jadi penolakan terhadap AI yang makin kuat. Darrell West sudah peringatin di Brookings bulan Mei bahwa opini publik dan ilmuan bakal berubah melawan penguasa AI. Tidak lama kemudian, Fast Company prediksi bahwa musim panas akan penuh dengan "AI slop". Di awal Agustus, Axios temukan istilah slang "clunker" yang dipakai luas untuk kegagalan AI, terutama di layanan pelanggan yang jadi kacau.

Sejarah bilang: susah sebentar, untung jangka panjang

John Thornhill dari Financial Times kasih sudut pandang tentang soal gelembung, nasehatin pembaca untuk bersiap-siap untuk crash, tapi juga mempersiapkan masa depan "zaman keemasan" AI. Dia soroti pembangunan pusat data—investasi $750 miliar dari Big Tech di 2024 dan 2025, dan bagian dari roll out global yang diproyeksikan capai $3 triliun di 2029. Thornhill lihat ke sejarah finansial untuk hiburan dan perspektif. Berulang kali, ini tunjukkan bahwa investasi gila kayak gini biasanya picu gelembung, crash dramatis, dan kehancuran kreatif—tapi akhirnya nilai yang tahan lama terwujud.

Dia catat bahwa Carlota Perez udah dokumenin pola ini di "Technological Revolutions and Financial Capital: The Dynamics of Bubbles and Golden Ages". Dia identifikasi AI sebagai revolusi teknologi kelima yang ikut pola yang dimulai di akhir abad 18, yang hasilnya ekonomi modern sekarang punya infrastruktur kereta api dan komputer pribadi, antara lain. Masing-masing punya gelembung dan crash di suatu titik. Thornhill gak sebut dia di kolom ini, tapi Edward Chancellor dokumenin pola serupa di buku klasiknya "Devil Take The Hindmost", buku yang terkenal bukan cuma karena bahas gelembung tapi juga prediksi gelembung dotcom sebelum terjadi.

Owen Lamont dari Acadian Asset Management sebut Chancellor di November 2024, waktu dia bilang bahwa momen kunci gelembung udah lewat: jumlah partisipan pasar yang luar biasa banyak bilang harga terlalu tinggi, tapi tetap ngeyakinin bahwa harga kemungkinan bakal naik lagi.

MEMBACA  Investor berbondong-bondong ke dana emas saat kekhawatiran atas tarif Trump meningkat

Bank Wall Street kebanyakan gak bilang ini gelembung. Morgan Stanley keluarin catatan baru-baru ini yang lihat efisiensi besar buat perusahaan karena AI: $920 miliar per tahun untuk S&P 500. UBS, setuju dengan hati-hati yang diingetin di penelitian MIT yang jadi berita. Mereka peringatin investor untuk mengharap periode "capex indigestion" yang menyertai pembangunan pusat data, tapi juga pertahankan bahwa adopsi AI meluas jauh dari ekspektasi, sebut monetisasi yang tumbuh dari ChatGPT OpenAI, Gemini Alphabet, dan sistem CRM bertenaga AI.

Bank of America Research nulis catatan di awal Agustus, sebelum peluncuran GPT-5, lihat AI sebagai bagian dari "perubahan besar" produktivitas pekerja yang akan dorong "inivasi premium" yang berkelanjutan untuk perusahaan S&P 500. Kepala Strategi Ekuitas AS Savita Subramanian intinya bilang bahwa gelombang inflasi tahun 2020-an ajarin perusahaan untuk lakukan lebih dengan kurang, ubah orang jadi proses, dan AI akan percepat ini. "Saya gak berpikir itu pasti gelembung di S&P 500," dia bilang ke Fortune dalam wawancara, sebelum nambahin, "Saya pikir ada area lain yang mulai jadi agak kayak gelembung."

Subramanian sebut perusahaan kecil dan mungkin pinjaman privat sebagai area "yang mungkin sudah di-rate terlalu agresif". Dia juga khawatir dengan risiko perusahaan terjun ke pusat data terlalu dalam, catat bahwa ini representasi pergeseran balik ke pendekatan yang lebih berat aset, dibanding pendekatan ringan aset yang makin membedakan kinerja teratas di ekonomi AS.

"Maksud saya, ini baru," dia bilang. "Teknologi dulu sangat ringan aset dan cuma habiskan uang untuk R&D dan inovasi, dan sekarang mereka habiskan uang untuk bangun pusat data ini," nambahin bahwa dia lihat ini mungkin tandai akhir dari keberadaan mereka yang ringan aset dan margin tinggi dan pada dasarnya ubah mereka jadi "sangat intensif aset dan lebih mirip manufaktur daripada dulu." Dari perspektif dia, itu wajar multiple yang lebih rendah di pasar saham. Ditanya apa itu sama dengan gelembung, jika bukan koreksi, dia bilang "sudah mulai terjadi di beberapa tempat," dan dia setuju dengan perbandingan ke boom kereta api.

Matematika dan hantu dalam mesin

Gary Marcus juga sebut dasar-dasar matematika sebagai alasan dia khawatir, dengan hampir 500 unicorn AI dihargai $2,7 triliun. "Itu tidak masuk akal relatif terhadap seberapa banyak pendapatan yang masuk," dia bilang. Marcus sebut OpenAI laporkan $1 miliar pendapatan di Juli, tapi masih belum profit. Spekulasi, dia ekstrapolasi bahwa OpenAI punya kira-kira separuh pasar AI, dan kasih kalkulasi kasar bahwa itu artinya sekitar $25 miliar per tahun pendapatan untuk sektor itu, "yang bukan tidak ada, tapi butuh banyak uang untuk lakukan ini, dan ada triliunan dolar [diinvestasikan]."

MEMBACA  Keuntungan Citigroup melonjak saat perdagangan saham naik 23%

Jadi kalau Marcus benar, kenapa orang belum dengar dia selama bertahun-tahun? Dia bilang dia sudah peringatin orang tentang ini selama bertahun-tahun juga, sebut itu "kesenjangan mudah percaya" di bukunya tahun 2019 "Rebooting AI" dan berargumen di The New Yorker tahun 2012 bahwa deep learning adalah tangga yang tidak akan mencapai bulan. Selama 25 tahun pertama karirnya, Marcus belajar dan bekerja sebagai ahli ilmu kognitif. Dia belajar tentang "antropomorfisasi" yang dilakukan orang-orang. Mereka melihat mesin-mesin ini dan melakukan kesalahan dengan menganggap mesin punya kecerdasan seperti manusia, padahal sebenarnya tidak. Akhirnya, mereka menggunakan mesin ini sebagai teman dan berpikir bahwa kemajuan teknologi ini lebih hebat dari kenyataannya.

Dia bilang gelembung teknologi membesar seperti sekarang ini sebagian besar karena keinginan manusia untuk memproyeksikan diri mereka ke benda lain, sesuatu yang tidak dilakukan oleh ahli ilmu kognitif.

Mesin-mesin ini mungkin terlihat seperti manusia, tapi "cara kerjanya tidak seperti kamu," kata Marcus. Dia menambahkan, "Seluruh pasar ini berdasarkan pada ketidaktahuan orang-orang, membayangkan bahwa penskalaan akan menyelesaikan semua masalah, karena mereka tidak benar-benar mengerti masalahnya. Ini hampir tragis."

Di sisi lain, Subramanian bilang dia pikir "orang-orang suka teknologi AI ini karena terasa seperti sihir. Terasa sedikit ajaib dan mistis… Sebenarnya, teknologi ini belum benar-benar mengubah dunia, tapi saya juga tidak berpikir ini harus diabaikan." Dia sendiri juga sangat tertarik. "Saya bahkan lebih sering menggunakan ChatGPT daripada anak-anak saya. Lucu juga melihatnya. Sekarang saya pakai ChatGPT untuk segala hal." Saya belajar bahasa Indonesia sudah enam bulan. Saya rasa bahasa ini sangat bagus dan orang-orangnya ramah sekali. Saya harap bisa tinggal di Indonesia suatu hari nanti.