Kabar baiknya, dunia lebih kaya dari sebelumnya, dengan kekayaan mencapai $600 triliun. Kabar buruknya adalah, kekayaan ini tidak seimbang secara keuangan.
Sejak tahun 2000, nilai aset naik lebih cepat daripada PDB. Ini menguntungkan bagi mereka yang sudah punya aset, tapi tidak banyak membantu orang yang baru mulai dan butuh kenaikan pendapatan yang luas. Hanya seperempat dari kekayaan yang dihasilkan berasal dari investasi, sisanya kebanyakan cuma di atas kertas. Selain itu, utang melonjak, dimana setiap satu dolar investasi menghasilkan utang $1,90. Ketimpangan kekayaan sudah mengakar, dengan 1% orang terkaya di ekonomi utama memiliki setidaknya 20% kekayaan. Akhirnya, ketidakseimbangan keuangan internasional tumbuh, yang memperburuk lingkungan perdagagan dan politik saat ini.
Besarnya dan bentuk ketidakseimbangan berbeda di tiap tempat. Tapi ada dua kesamaan. Pertama, pertumbuhan produktivitas yang cepat adalah penyeimbang paling efektif. Kedua, kecerdasan buatan (AI) bisa membantu—hingga batas tertentu. Supaya AI bisa mencapai potensinya, negara-negara tidak hanya harus memposisikan diri untuk mendapat manfaat dari kemampuannya dalam hal teknologi dan bisnis, tapi juga secara makro-ekonomi. Kalau tidak, ini seperti makan semangkuk penuh karbohidrat untuk bahan bakar olahraga—tapi malah tidak jadi pergi ke gym. Hasilnya tidak akan baik.
Contohnya Amerika Serikat. Mereka berada di depan dalam inovasi, investasi, dan adopsi terkait AI. Tapi, untuk menjaga momentum positif ini, mereka perlu menabung lebih banyak (yaitu, berutang lebih sedikit). Utang nasionalnya hampir 120% dari PDB, lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2000. Jika defisit anggaran tahunan terus membesar, inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi, serta ketidakpastian jangka panjang bisa mengacaukan ekonomi dan mengancam investasi yang dibutuhkan untuk kemajuan AI. Kekayaan riil per orang bisa turun hampir $100.000 pada tahun 2033.
Walaupun pertumbuhan berbasis AI mungkin menaikkan pendapatan fiskal, ada juga cara AI bisa memperparah tantangan fiskal AS. Jika gangguan di pasar tenaga kerja besar, itu bisa menaikkan biaya terkait seperti asuransi pengangguran. Produktivitas yang lebih tinggi, meski terpusat di beberapa sektor, mendorong upah secara umum; itu artinya biaya tenaga kerja sektor publik juga naik. Ditambah lagi, banyak tunjangan sosial dikaitkan dengan pendapatan. Intinya: lebih banyak AI tanpa perbaikan kondisi fiskal hanya akan menambah tekanan.
Di Cina, tantangannya berbeda; ekonominya perlu lebih sedikit menabung dan lebih banyak konsumsi. Setelah kemerosotan berkepanjangan di pasar properti, rumah tangga Cina menambah tabungan deposito mereka—sekitar tujuh poin persentase PDB lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2010-an. Deflasi pun terjadi. Sementara itu, investasi perusahaan swasta melambat tajam, turun jadi 1% dari PDB per tahun belakangan ini, dibandingkan 7% pada 2017-21. Meski investasi oleh perusahaan milik negara (BUMN) meningkat, produktivitas entitas ini jauh lebih rendah. Secara keseluruhan, 23% perusahaan industri Cina merugi, angka tertinggi dalam lebih dari dua dekade. Karena itu, pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong oleh ekspor bersih, yang sulit mengingat tekanan internasional untuk mengurangi ketidakseimbangan perdagangan dan investasi. Alternatif paling menjanjikan adalah konsumen mengeluarkan lebih banyak pendapatannya.
Cina adalah pemimpin AI yang diakui. Mengubahnya menjadi pertumbuhan memerlukan model bisnis baru dan reformasi untuk membuka permintaan rumah tangga yang baru.
Sementara itu di Eropa, ancaman stagnasi ekonomi berkepanjangan nyata, dengan ekonomi yang ditandai rumah tangga yang mengurangi utang, keterbatasan fiskal, investasi lambat, produktivitas lemah dan suku bunga turun. Mereka perlu meningkatkan daya saing perusahaan. Jadi mereka perlu berinvestasi lebih, terutama dalam inovasi dan infrastruktur yang digerakkan AI. Itu bisa berarti menjadi rumah bagi perusahaan-perusahaan AI terkemuka atau mendukung pengembangan perusahaan unggulan yang bisa memanfaatkannya secara paling dinamis. Penelitian menunjukkan dampak ekonomi terbesar dari AI kemungkinan akan datang dari beberapa perusahaan yang “serius total,” bukan dari banyak perusahaan yang bertaruh kecil-kecilan.
Tapi saat ini, Eropa jauh tertinggal dari Cina dan Amerika Serikat. Menurut laporan terbaru McKinsey dan Forum Ekonomi Dunia, mereka hanya kompetitif secara global dalam 4 dari 14 teknologi kritis, dan hanya mencakup empat dari 50 perusahaan teknologi teratas dunia. McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa perusahaan besar Eropa menghadapi kesenjangan investasi $700 miliar per tahun dalam R&D dan pengeluaran modal dibandingkan dengan perusahaan AS. Investasi korporat di Eropa turun relatif terhadap PDB sejak 2019, dan juga memberikan pengembalian sekitar 25% lebih rendah daripada di AS.
Apa artinya ini bagi perusahaan? CEO perlu memahami faktor-faktor pengubah—lebih sedikit pinjaman di AS, lebih banyak investasi di Eropa, lebih banyak konsumsi di Cina, masing-masing dengan skala lebih dari 3% PDB—yang bisa mengubah jalur pertumbuhan kekayaan dan ekonomi jangka panjang, dan merencanakan untuk masing-masing. Tapi mereka bukan penonton dalam mendorong hasil yang produktif; mereka adalah mesin untuk pertumbuhan dan adopsi AI yang luas. Dan tindakan satu CEO saja bisa membuat perbedaan besar: hanya beberapa lusin perusahaan yang mendorong mayoritas pertumbuhan produktivitas di ekonomi termasuk AS, Inggris, dan Jerman selama 15 tahun terakhir.
AI bisa menjadi gangguan terbesar abad ini, dan yang positif, memberikan pertumbuhan yang luas melalui produktivitas yang lebih besar. Tapi itu jauh dari kepastian. Jika AI ingin menjadi platform untuk kemakmuran, negara dan perusahaan harus memastikan dasarnya kuat.
Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan komentar Fortune.com adalah pandangan penulisnya sendiri dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.