Menurut survey terbaru dari KPMG, penggunaan agen AI di perusahaan-perusahaan besar AS berkembang sangat pesat. Budaya kerja dan cara manajemen juga berubah dengan cepat mengikuti perkembangan ini.
Dalam waktu hanya enam bulan, jumlah organisasi yang sudah menggunakan agen AI naik empat kali lipat, dari 11% menjadi 42%. Survey ini menanyakan 130 pemimpin bisnis di AS dari perusahaan dengan pendapatan tahunan lebih dari $1 miliar.
Rahsaan Shears dari KPMG AS mengatakan bahwa di kuartal ketiga, cara orang memandang teknologi ini berubah total. Rasa takut terhadap AI sudah hilang karena banyak orang sudah mencoba alat-alat ini. Sebagai gantinya, muncul perasaan lelah secara kognitif. Laporan KPMG juga menunjukkan penurunan besar dalam penolakan karyawan terhadap AI, dari 47% di kuartal lalu menjadi hanya 21% sekarang. Lebih dari setengah karyawan sekarang menerima atau bahkan mendukung penggunaan agen AI. Departemen teknologi yang paling banyak menggunakannya, dengan 95% melaporkan penggunaan agen untuk meningkatkan produktivitas.
Peran Manusia Masih Diperlukan — dan Melelahkan
Menurut Shears, para pemimpin perusahaan mengatakan bahwa setelah banyak pekerja mencoba teknologi ini, mereka bisa lihat bahwa AI adalah alat bantu. Tapi AI belum matang cukup untuk menggantikan pekerja manusia sepenuhnya. Masih harus ada “manusia dalam prosesnya” atau “manusia yang mengawasinya”.
Shears menggambarkan AI seperti “anak kecil” yang bisa melakukan hal-hal hebat tapi masih belum dewasa dan butuh bimbingan. Ia mengatakan, “Ia bukan seperti anak kecil di semua bidang — contohnya dalam pengembangan perangkat lunak, AI sudah lebih maju. Tapi untuk kebanyakan penggunaan di perusahaan, AI masih perlu campur tangan manusia.”
Kebutuhan akan keahlian manusia ini justru membuat karyawan lebih nyaman dengan AI. Mereka melihat AI sebagai alat yang membantu, bukan menggantikan mereka. Keterampilan seperti berpikir kritis, bertanya, dan kemampuan beradaptasi akan menjadi sangat penting di masa depan.
Shears juga mengatakan, orang tadinya berharap AI akan sama bagusnya dengan pekerja berpengalaman. Sekarang mereka paham, AI memang lebih cepat di banyak hal, tapi seperti anak kecil, AI bisa menyebabkan banyak masalah jika tidak diawasi dengan baik.
Mendefinisikan Ulang Kesuksesan di Era AI
Baik KPMG maupun Shears berpendapat bahwa metrik bisnis tradisional tidak cukup untuk mengukur dampak transformatif AI. Survey menunjukkan 78% pemimpin setuju bahwa KPI konvensional tidak menangkap banyak nilai dari AI. Hal yang sama berlaku untuk ukuran ROI (Return on Investment).
Shears mengatakan, “Saya percaya ukuran tradisional tidak akan memberikan cerita lengkap karena kita tidak tahu cara mengukur semua indikator yang tepat.” KPMG sekarang melihat berbagai sinyal baru untuk mengevaluasi hasil AI.
Data KPMG mencerminkan perubahan ini. Para pemimpin perusahaan sekarang lebih memantau produktivitas (97%), profitabilitas (94%), dan peningkatan kualitas (91%) sebagai bukti dampak AI bagi bisnis.
Menuju Jenis Tenaga Kerja yang Baru
Transformasi tenaga kerja sudah berlangsung. Shears melihat ada harapan terutama untuk pekerja pemula yang sudah terbiasa dengan dunia digital, tapi sekarang mereka dituntut untuk lebih skeptis, berpikir kritis, dan mampu menalar dengan adaptif.
Ketika ditanya apakah ini akan mengubah pekerjaan level pemula, Shears menjawab ya, tapi hal ini rumit. Ia melihat kaum muda yang tumbuh dengan media sosial dan iPhone cenderung “percaya” pada perangkat dan teknologi mereka. Dalam hal AI, karena teknologinya masih muda, mereka justru perlu lebih skeptis. Ini adalah hubungan yang berbeda dengan interaksi digital yang mereka alami sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan temuan KPMG bahwa 56% pemimpin berencana mengubah proses rekrutmen level pemula dalam setahun. Shears mengatakan bahwa perusahaan sudah mulai merombak pekerjaan level pemula agar tidak hanya bersifat rutin tapi lebih berorientasi pada pemikiran kritis. “Kami sudah melihatnya terjadi,” ujarnya.