CIO Goldman Sachs: Persiapkan Generasi AI untuk Masa Depan Pekerjaan—Hanya Mereka yang Bisa

AI Agenetik sedang membawa perubahan besar yang akan mengubah industri dan dinamika pekerjaan dengan cara yang belum sepenuhnya kita pahami. Nantinya, manusia dan AI akan belajar untuk bekerja sama, berkolaborasi, dan sukses bersama. Masa depan ini tergantung pada generasi baru yang memimpin perubahan ini.

AI Agenetik adalah sistem kecerdasan buatan yang bisa melakukan tugas untuk manusia dan membuat keputusan sendiri tanpa pengawasan langsung. Mereka bisa berpikir berdasarkan konteks, memori, dan data, membuat rencana, serta menjalankan langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas. Kemampuan ini membuat AI berubah dari sekadar alat menjadi mitra kerja yang aktif.

Beberapa orang berpikir AI akan menggantikan banyak pekerjaan tingkat junior, tapi sebenarnya lebih rumit dari itu. Justru, generasi yang baru masuk dunia kerja sekarang lebih penting daripada sebelumnya karena mereka tumbuh bersama AI generatif. Mereka lebih terbiasa dengan kecepatan AI dan siap membentuk masa depannya—mereka adalah "AI natives".

Tapi, seperti kata orang terkenal, "tidak ada algoritma kompresi untuk pengalaman". Pengalaman dan penilaian yang baik bukanlah sifat alami AI generatif, yang umurnya baru sekitar 4 tahun dan masih berkembang pesat. Lalu, siapa yang akan mengawasi jumlah AI yang tak terbatas di dunia kerja?

Kita harus mendidik generasi AI natives dengan keterampilan yang tepat agar mereka bisa menjadi pemimpin, bukan hanya penonton. Kreativitas dan adaptabilitas mereka akan menentukan seberapa sukses kita mengintegrasikan AI sebagai mitra, bukan sekadar alat. Tantangannya bukan hanya teknologi, tapi juga budaya, pendidikan, dan sifat manusiawi.

Paradigma AI Baru

Ini adalah permainan baru dengan pemain baru yang mungkin lebih mahir daripada generasi sebelumnya. Bayangkan belajar piano di usia dewasa—kamu mungkin bersemangat, tapi kecil kemungkinan menjadi jenius. Begitu juga dengan orang yang belajar komputer di usia dewasa, ketikannya sering terlihat kaku.

MEMBACA  Amerika Serikat dan Jerman menggagalkan dugaan rencana Rusia untuk membunuh CEO perusahaan senjata

Hal serupa terjadi dengan AI. Ada perbedaan generasi—bukan karena profesional yang lebih berpengalaman kurang pintar, tapi karena mereka tidak tumbuh bersama alat ini. Bagi yang bukan AI natives, beradaptasi dengan dunia kerja yang didominasi AI mungkin lebih sulit dari yang kita kira. Padahal, pengetahuan dan pengalaman justru ada pada mereka.

Perubahan teknologi sebelumnya, seperti komputer, internet, dan cloud, butuh waktu puluhan tahun untuk dikuasai. Tapi, perubahan AI terjadi dalam hitungan tahun. Mereka yang tidak bisa memanfaatkan AI akan tertinggal, sedangkan yang bisa menggunakannya akan maju.

Generasi pemimpin baru, terutama pengusaha yang fasih dengan AI, sedang muncul. CEO perusahaan seperti Devin, Windsurf, dan Scale AI adalah contohnya. Mungkin saja salah satu dari mereka akan menjadi Bill Gates berikutnya. Tugas kita adalah memaksimalkan potensi generasi ini dan mempercepat jalur mereka menuju kepemimpinan.

Investasi pada AI Natives

Kita harus fokus pada bakat junior yang akan mengubah industri. AI adalah gangguan teknologi terbesar saat ini, dan kita perlu memastikan manusia bisa beradaptasi dengan cepat. Kita harus melatih "atlet terbaik" untuk arena baru ini dan memberi mereka keterampilan penting untuk memimpin perubahan.

Dengan adanya AI agenetik, kemampuan untuk membuat "rekan kerja AI" akan menjadi dasar. Ini berarti bahkan karyawan junior harus menguasai tiga keterampilan manajemen: menjelaskan tugas dengan jelas, mendelegasikannya ke AI, dan mengawasi hasilnya. Pengawasan sangat penting karena teknologi agen masih berkembang.

Contohnya, AI saat ini sangat sensitif terhadap cara pertanyaan diajukan. Kesalahan kecil bisa memperbesar hasil yang salah. Pada agen otonom, halusinasi tidak hanya menghasilkan jawaban buruk, tapi juga tindakan berbahaya. Itu sebabnya manusia tetap harus terlibat.

MEMBACA  Gugatan Senilai $400 Juta kepada UBS untuk Hukum Bank yang Mengorbankan Karyawannya

Transformasi Budaya

Kenaikan AI bukan hanya evolusi teknologi, tapi juga transformasi budaya yang mengubah cara organisasi bekerja. Dampaknya melampaui produktivitas—kita harus memikirkan kembali struktur tim, peran, dan manajemen kinerja dalam lingkungan kerja hybrid.

Kita memasuki era di mana developer tidak menulis kode sendirian, dan pekerja pengetahuan bisa merangkum dokumen dalam hitungan detik. Tapi perubahan lebih dalam adalah bagaimana kita berkolaborasi, memimpin, dan berkembang. Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga psikologis dan manajerial.

Seperti manusia, AI agen juga butuh "jalur karir" dan kerangka pengaturan. Kita harus siap bekerja dengan rekan virtual yang lebih efisien, bisa bekerja 24/7, dan tidak pernah pensiun.

Untuk menghadapi perubahan ini, karyawan perlu dilatih untuk mengelola AI dengan bertanggung jawab—bisa berkomunikasi, mendelegasikan, dan mengawasi. Dalam dunia di mana siapa pun bisa membuat rekan kerja virtual, konsep "kontributor individu" berubah menjadi "pemain-pelatih".

Contohnya, bayangkan maskapai penerbangan yang menggunakan autopilot dan hanya mengisi pesawat dengan pilot junior. Apakah kita akan merasa sama amannya? Hanya jika pilot junior itu benar-benar bisa mengawasi dengan baik.

Pada akhirnya, transformasi budaya di era perubahan teknologi yang cepat ini bukan hanya tentang mengadopsi alat baru, tapi juga membentuk generasi pemimpin baru dan mempercepat pengalaman mereka. Kita harus memberi mereka keterampilan manajemen sejak awal dan memanfaatkan keakraban mereka dengan teknologi baru.

Saat ini, perubahan teknologi lebih cepat dari perubahan manusia. Lebih mudah mengubah perangkat lunak daripada melatih otak manusia. Bagi yang bukan AI natives—kebanyakan dari kita—tugas terberat adalah menyerahkan tongkat estafet ke generasi baru, memberi mereka keterampilan untuk mengelola sesuatu yang bahkan kita sendiri belum sepenuhnya pahami. Dan semua ini harus dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas.

MEMBACA  SpaceX sangat dekat untuk mengubah markas roketnya menjadi kota yang sebenarnya