Eric Vaughan, CEO dari perusahaan perangkat lunak besar IgniteTech, sangat tegas saat menceritakan keputusan paling radikal dalam kariernya yang sudah puluhan tahun. Di awal 2023, yakin bahwa kecerdasan buatan generatif (AI) adalah perubahan "eksistensial," Vaughan melihat timnya dan menyadari banyak karyawan tidak sepenuhnya mendukung. Tanggapannya ekstrem: dia mengganti hampir 80% staf dalam setahun, menurut data jumlah karyawan yang dilihat Fortune.
Sepanjang 2023 sampai kuartal pertama 2024, Vaughan bilang IgniteTech mengganti ratusan karyawan, tapi dia tidak mau kasih angka pastinya. "Itu bukan tujuan kami," katanya ke Fortune. "Ini sangat sulit… Tapi mengubah pemikiran orang lebih susah daripada menambah keterampilan." Ini keputusan keras—tapi Vaughan yakin itu perlu dan akan melakukannya lagi.
Bagi Vaughan, tandanya sudah jelas dan dramatis. "Awal 2023, kami sadar," katanya dalam wawancara, menambahkan bahwa setiap perusahaan teknologi menghadapi titik balik penting soal AI. "Sekarang saya percaya ini berlaku untuk semua perusahaan, benar-benar semua, menghadapi ancaman eksistensial dari transformasi ini."
Di mana orang lain lihat peluang, Vaughan lihat urgensi—percaya bahwa gagal menguasai AI bisa menghancurkan bisnis terkuat sekalipun. Dia mengadakan rapat besar dengan tim globalnya. Rutinitas nyaman dan target kuartalan hilang. Pesannya jelas: Segalanya sekarang fokus ke AI. "Kami akan beri hadiah untuk kalian. Hadiahnya yaitu investasi besar waktu, alat, pendidikan, proyek… untuk kasih keterampilan baru," jelasnya. Perusahaan mulai mengganti biaya kursus AI dan kelas rekayasa prompt, bahkan mendatangkan pakar luar.
"Setiap Senin disebut ‘AI Monday’," kata Vaughan, memerintahkan staf untuk hanya kerja soal AI. "Tidak boleh ada panggilan pelanggan, tidak boleh kerjakan anggaran, hanya proyek AI." Ini berlaku untuk semua, bukan cuma tim teknis, tapi juga penjualan, pemasaran, dan seluruh karyawan. "Budaya itu harus dibangun. Itu… itu kuncinya."
Ini investasi besar, 20% gaji dipakai untuk program belajar massal—namun gagal karena banyak yang menolak, bahkan sengaja merusak. Vaughan sadar, kepercayaan sulit dipaksakan. "Di awal, banyak yang bilang ‘Aku enggak mau lakukan ini’. Jadi kami harus lepas mereka."
Penolakan: Kenapa mereka tidak mau ikut?
Vaughan terkejut karena justru staf teknis, bukan pemasaran atau penjualan, yang paling keras menentang. Mereka "paling sulit," lebih fokus pada kekurangan AI daripada manfaatnya. Sementara tim pemasaran dan penjualan justru antusias.
Penelitian WRITER tahun 2025 menunjukkan 1 dari 3 karyawan pernah "sengaja menghambat" penggunaan AI di perusahaan—angka ini naik jadi 41% untuk Generasi Milenial dan Gen Z. Caranya macam-macam: menolak pakai AI, sengaja hasilkan kerja buruk, atau hindari pelatihan. Banyak yang takut AI akan gantikan pekerjaan mereka, sementara lainnya frustrasi dengan alat AI yang kurang bagus atau strategi tidak jelas dari atasan.
Kevin Chung dari WRITER bilang, masalah utamanya bukan takut teknologi, tapi tekanan tinggi untuk sukses. "Ketika diberi alat yang tidak bekerja baik, orang jadi frustrasi dan mulai cari jalannya sendiri." Vaughan tidak mau memaksa. "Kamu tidak bisa paksa orang berubah kalau mereka tidak percaya."
Akhirnya, IgniteTech rekrut banyak "Spesialis Inovasi AI" di semua divisi. Vaughan akui masa ini "sangat sulit"—perusahaan seperti terbalik. Beberapa rekrutan penting membantu, termasuk Thibault Bridel-Bertomeu yang jadi Kepala AI Officer. Struktur perusahaan diubah agar semua laporan mengalir ke tim AI.
Hasilnya sepadan?
Setelah transformasi sulit ini, IgniteTech dapat hasil luar biasa. Di akhir 2024, mereka luncurkan dua solusi AI yang sedang dipatenkan, termasuk platform otomasi email berbasis AI (Eloquens AI), dengan tim yang hampir seluruhnya baru.
Secara finansial, perusahaan tetap kuat. Vaughan ungkap pendapatan IgniteTech mencapai ratusan juta dolar dengan EBITDA hampir 75%—sambil menyelesaikan akuisisi besar terhadap Khoros. Kamu memperbanyak orang… kasih orang kemampuan untuk memperbanyak diri mereka dan melakukan hal-hal lebih cepat," katanya, mempromosikan kemampuan perusahaan untuk bikin produk siap pakai dalam waktu cuma empat hari—sesuatu yang nggak kebayang di zaman dulu.
Apa arti cerita Vaughan buat orang lain? Di satu sisi, ini contoh tentang susahnya dan hasil dari manajemen perubahan radikal. Tapi cara kerasnya bisa dibilang menjawab banyak tantangan yang terlihat di survei WRITER: kurang strategi dan investasi, ketidakselarasan antara IT dan bisnis, serta gagal melibatkan orang-orang kunci yang bisa memaksimalkan manfaat AI.
Masalah ‘anak laki-laki yang teriak serigala’
IgniteTech nggak sendirian menghadapi tantangan ini. Joshua Wöhle, CEO Mindstone—perusahaan mirip WRITER yang ngasih pelatihan AI buat karyawan—ngasih contoh dua pendekatan yang dijelaskan Vaughan: pelatihan ulang vs. penggantian massal. Dia bahas ini di BBC Business Today.
Wöhle bandingin IKEA sama Klarna. IKEA pilih ngasih pelatihan ke karyawan lama, sementara Klarna (perusahaan bayar-nanti Swedia) sempat hengkangin banyak staf CS demi AI, tapi akhirnya rekrut lagi buat peran yang sama. "AI udah hampir lebih pintar dari manusia buat kerja berbasis pengetahuan. Tapi justru itu kenapa augmentasi lebih baik dari otomatisasi," tulisnya di LinkedIn.
Klarna bilang mereka nggak pecat karyawan, tapi ngurangin beban kerja setara 700 orang berkat AI assistant CS. Provider pihak ketiga alihkan 700 pekerja itu ke klien lain. Sekarang, AI mereka bahkan bisa tangani pertanyaan lebih kompleks, dan beban kerja turun lagi jadi 2.200. Klarna juga coba program pilot gabungin staf manusia terlatih + AI buat layanan pelanggan lebih baik.
Wöhle cerita ke Fortune soal satu klien yang tegas suruh karyawan latihan AI tiap Jumat. Kalo nggak lapor kerja, diundang keluar. "Kadang lebih baik pecat yang nggak mau berubah. Kecepatan perubahan sangat cepat, jadi lebih baik memaksa," katanya. Dia sadar setelah latih ribuan orang bahwa "kebanyakan orang benci belajar. Mereka bakal hindari kalo bisa."
Menurutnya, penolakan AI juga karena trauma dari teknologi seperti NFT & blockchain yang dibilang revolusioner tapi "nggak berdampak nyata". "Kamu nggak bisa nyalahin mereka", katanya. Orang sering terjebak karena mikir dari cara kerja lama, lalu anggap AI cuma hype. "Butuh banyak pemikiran dan dorongan untuk ubah cara kerja," tapi begitu berhasil, hasilnya dramatis. AI bisa bantu multitasking jauh lebih efisien.
IKEA setuju dengan pendekatan Wöhle, bilang strategi AI mereka fokus pada "augmentasi, bukan otomatisasi", memakai AI untuk otomatisasi tugas, bukan pekerjaan.
Laporan WRITER tunjukkan perusahaan dengan strategi AI formal jauh lebih sukses, dan yang investasi besar unggul besar. Tapi, seperti pengalaman Vaughan, investasi tanpa keyakinan bisa sia-sia. "Budaya harus dibangun. Akhirnya kami harus rekrut orang yang udah sepemikiran. Ubah pola pikir lebih susah dari sekadar nambah skill."
Buat Vaughan, jawabannya jelas. Kalo harus ulang? Dia bakal pilih bangun fondasi baru berbasis AI dari nol daripada biarkan perusahaan tertinggal. "Ini bukan perubahan teknologi, tapi perubahan budaya dan bisnis." Dia nggak anjurin orang lain ganti 80% staf seperti dia—"Saya nggak rekomendasiin sama sekali. Itu sangat sulit." Tapi ujung-ujungnya, semua harus kompak, "kalo nggak, kita nggak bakal sampai tujuan." Halo, aku mau cerita sedikit tentang liburan kemarin. Aku pergi ke Bali sama keluarga. Disana sangat indah! Pantainya bersih dan airnya biru banget. Kami berenang tiap hari dan makan banyak makanan enak. Tapi sayangnya, aku lupa bawa topi jdi kulitku jadi agak hitam. Liburanya sangat menyenangkan dan aku pengin balik lagi tahun depan!
Oh iya, hotelnya juga bagus tapi agak mahal. Tapi worth it lah!