Dua puluh tahun lalu, tren di industri manufaktur AS adalah offshoring. Saat Cina masuk ke Organisasi Perdagangan Dunia dan meningkatkan kapasitasnya, banyak perusahaan AS seperti General Motors dan Dell ingin pindahkan operasi ke luar negeri. CEO General Electric, Jack Welch, terkenal dengan pemotongan biaya dan pernah bilang bahwa idealnya, perusahaan harus bisa pindahkan pabriknya di kapal agar mudah bergerak mengikuti ekonomi.
Tapi, Crayola—pembuat krayon terlaris di dunia—memilih jalur berbeda. Pete Ruggiero, saat itu eksekutif operasional, percaya bahwa tetap berproduksi di dekat pasar lokal lebih efisien.
"Waktu tahun 2007 banyak yang offshore, aku bilang ke CEO waktu itu, responsivitas dekat pasar itu penting," kata Ruggiero.
Keputusan ini ternyata tepat, membuat Crayola siap hadapi tarif impor yang berubah-ubah di era Presiden Donald Trump. Sekarang, 70% produk Crayola dijual global tetap dibuat di Lehigh Valley, meski juga sumber bahan dari Brasil dan Vietnam.
Crayola telah ada sejak 140 tahun lalu di Pennsylvania Timur, mempekerjakan 500 karyawan produksi. Awalnya, perusahaan ini dikenal dengan pensil batu dan kapur "bebas debu".
Tahun 2007, Crayola mulai otomatisasi proses dan terapkan metode Lean Six Sigma untuk kurangi pemborosan. Mereka investasi di teknologi dan pelatihan karyawan.
"Sempat ragu, kayak adegan I Love Lucy yang gagal bungkus cokelat," canda Ruggiero. Tapi strategi ini sukses, hemat $1,5 juta dan tingkatkan produksi jadi 1.300 krayon per menit.
Meski begitu, Crayola tetap hadapi tantangan pasokan, seperti pensil warna yang harus diimpor dari hutan pinus Brasil karena tidak ada di AS. Namun, mereka fokus pada pengembangan taman hiburan Crayola Experience dan konten hiburan.
"Skala bisnis kami naik 30-40% sejak 2019. Kami terus tumbuh," ujar Ruggiero.