Buka Editor’s Digest secara gratis
Roula Khalaf, Editor FT, memilih cerita favoritnya di newsletter mingguan ini.
CEO Boeing, Kelly Ortberg, bilang dia bekerja sama dengan pemerintahan Trump supaya perusahaannya bukan "akibat tidak sengaja" dari perang dagang dengan China. Dia menyarankan negara-negara beli lebih banyak pesawat Boeing untuk kurangi defisit dagang mereka dengan AS.
Dalam wawancara dengan Financial Times, Ortberg—yang jadi pimpinan Agustus lalu—juga bilang peluncuran pesawat baru untuk gantikan 737 Max yang laris bukan prioritas sekarang. Katanya, "pasar belum siap."
Sebagai eksportir terbesar AS, Boeing terjebak di tengah perang dagang Trump yang tidak stabil. Ini mengganggu industri penerbangan yang biasanya bebas tarif, mengancam pengiriman pesawat, dan bikin rantai pasokan tegang.
Boeing rencananya akan mulai lagi kirim pesawat baru ke maskapai China bulan depan, setelah kesepakatan AS-China dua minggu lalu untuk turunkan tarif. Tapi Jumat kemarin, Presiden Trump tuduh China mundur dari kesepakatan, yang bisa bikin China balas dendam.
Hubungan kedua negara "dinamis," kata Ortberg. Dia belajar untuk tidak "panik, karena besok bisa berubah lagi."
"Akhirnya, ini akan bikin perjanjian dagang baru—itu akan baik-baik saja," ujarnya.
Ortberg bilang 2025 adalah tahun "pemulihan" Boeing.
"Ini tentang melewati masa tidak pasti… Kami coba tetap fleksibel, pastikan komunikasi dengan pemerintah supaya kami tidak jadi korban tak direncanakan."
Perang dagang datang di waktu kritis buat Ortberg, yang bilang April lalu bahwa 2025 adalah tahun pemulihan Boeing. Dia menghadapi tugas berat memperbaiki perusahaan setelah krisis keamanan dan produksi.
Baru beberapa minggu jadi CEO, Ortberg harus cari dana $21 miliar untuk perkuat keuangan Boeing, plus hadapi pemogokan serikat besar yang hentikan produksi 737 Max.
Ortberg bilang Boeing bayar "kurang dari $500 juta… setahun" untuk impor bahan baku, biaya yang dia harap hilang setelah perjanjian bilateral. Tapi tarif balasan dari China lebih berbahaya karena bisa bikin maskapai menolak pesawat.
Tapi Ortberg yakin ketegangan geopolitik tidak akan tunda pemulihan Boeing.
Perusahaan punya banyak pesanan, katanya. Bagi negara yang ingin seimbangkan perdagangan dengan AS, pesawat adalah "barang bernilai besar, jadi kesempatan bagus untuk penyeimbangan."
Pemulihan Boeing, kata Ortberg, fokus dulu pada stabilisasi perusahaan. Boeing hampir capai produksi 38 unit 737 Max per bulan—batas yang ditetapkan FAA setelah insiden pintu pesawat tahun lalu. Boeing butuh persetujuan regulator untuk produksi lebih banyak (target 42 unit/bulan) supaya dapat uang di paruh kedua tahun.
"Begitu kami capai itu dan portofolio pemerintah stabil, saya anggap itu kemenangan dalam tahap stabilisasi," kata Ortberg.
"Bisa bilang itu titik balik."
Ortberg redam harapan bahwa Boeing akan luncurkan pesawat lebih hemat bahan bakar pengganti Max dalam waktu dekat, meski ada kekhawatiran maskapai sulit capai target keberlanjutan.
Boeing belum punya dana untuk investasi di program pesawat baru. Pasar juga belum siap karena teknologi mesin saat ini masih bermasalah. Maskapai "pasti tidak mau pindah ke sesuatu yang lebih berisiko dan sulit," ujarnya.
Perusahaan akan siap saat "sudah punya sumber daya, teknologi, dan kemampuan."
"Bukan hari ini, bukan besok."
Terpisah, Ortberg duga Elon Musk mungkin tidak akan terlalu terlibat lagi dalam pembuatan Air Force One setelah keluar dari pemerintahan Trump. Tahun ini, miliarder itu mulai bantu Boeing selesaikan dua pesawat baru untuk presiden AS yang tertunda lama, bikin Trump terima hadiah pesawat alternatif senilai $400 juta dari Qatar.
Beberapa syarat untuk pesawat itu hampir mustahil dicapai, kata Ortberg. Musk bantu Boeing "bekerja dengan pelanggan untuk ubah syarat-syarat itu jadi lebih masuk akal… tapi tetap penuhi misi pesawat."