Bank Harus Berhenti Gunakan AI untuk "PHK Ratusan Karyawan"—Lebih Baik Digunakan untuk Pinjaman ke Klien Miskin: Sopnendu Mohanty dari GFTN

Pemimpin bank bilang AI bisa bantu perusaan dan klien mereka. Alat AI bisa percepat pemeriksaan know-your-customer, tingkatkan layanan pelanggan, atau beri akses ke alat manajemen kekayaan untuk orang yang bukan berpenghasilan tinggi.

Tapi, menurut Sopnendu Mohanty, pendiri Global Finance and Technology Network (GFTN), kebutuhan terbesar AI adalah bantu bank beri pinjaman ke orang berpendapatan rendah dan atasi tantangan inklusi keuangan.

GFTN didukung Monetary Authority of Singapore. Sebelumnya, mereka dikenal sebagai Elevandi yang mengatur Singapore Fintech Festival setiap tahun. Sekarang, GFTN memperluas tugasnya untuk beri saran ke pasar berkembang tentang cara terbaik pakai teknologi di sektor keuangan, sambil jadikan Singapura sebagai contoh.

Di konferensi Fortune Brainstorm AI Singapore, Mohanty jelaskan mengapa bank masih kesulitan memperluas pinjaman.
"Saat pinjam uang, bank minta jaminan. Itu proses standar," katanya. Tapi, "orang berpendapatan rendah tidak punya jaminan," sehingga model tradisional tidak bisa membantu mereka.

"Model itu tak bisa penuhi kebutuhan kredit global," ujar Mohanty, menyebutnya sebagai "masalah besar yang diabaikan."

Bank Dunia melaporkan hanya sekitar seperempat orang di negara berpendapatan rendah dan menengah yang pinjam uang dari bank atau perusahaan kartu kredit tahun lalu.

Menurut Mohanty, bank masih fokus pada cara pakai AI untuk tingkatkan produktivitas—seperti dengan "memecat ratusan orang."
"Bukan itu yang kami mau AI lakukan," tegasnya. Sebaliknya, AI bisa bantu buat "data perilaku yang bisa dipercaya dan prediktif," gantikan kebutuhan jaminan.

Beberapa perusahaan Asia Tenggara, seperti Grab, Sea, dan GoTo, masuk ke layanan keuangan untuk layani pelanggan yang kurang terlayani, dengan manfaatkan data dari bisnis utama mereka seperti ride-hailing dan e-commerce.

Mohanty, mantan petinggi Monetary Authority of Singapore, juga tekankan pentingnya infrastruktur untuk kelola data identitas. Dia contohkan sistem Aadhaar di India yang beri nomor ID unik ke setiap penduduk—bagi sebagian, ini ID pertama mereka.

MEMBACA  Sembilan lokasi di Bogor disegel untuk menjaga keamanan pangan: menteri

Tapi, Mohanty harap dalam 10 tahun ke depan, identitas bisa lepas dari pemerintah. "Kita tak perlu negara untuk kendalikan ID terpercaya," sarannya, lebih baik andalkan jaringan terdesentralisasi.

Namun, dalam waktu dekat, Mohanty khawatir AI bisa ancam pekerjaan. "Prioritas utama sekarang adalah upskilling," katanya. "Jika tidak, kita menuju bencana ekonomi besar."

Awal tahun ini, Singapura luncurkan program untuk tingkatkan keahlian AI di seluruh tenaga kerja, termasuk di sektor ritel dan manufaktur. Mereka juga rencanakan tingkatkan jumlah "praktisi AI" jadi 15.000 dalam beberapa tahun ke depan.

Di Fortune Brainstorm AI Singapore, menteri digital Josephine Teo bilang "praktisi AI" akan mencakup profesional seperti pengacara dan dokter, serta pekerja manufaktur. "Mereka akan jadi pengguna awal AI dan tunjukkan rekan cara pakainya dengan lebih baik," ujarnya.