Apakah Menetapkan Batasan Itu Perlu atau Justru Kasar?

Buka Editor’s Digest gratis

Roula Khalaf, Editor FT, memilih cerita favoritnya di buletin mingguan ini.

Dulu waktu aku baru suka banget sama eBay, sering ada pesan lucu agresif di deskripsi barang yang dijual: tolong jangan buang-buang waktu.

Apa maksudnya? pikirku. Kedengarannya agak stres. Waktu itu, aku belum terlalu lelah dan sibuk. “Santai aja bro!” gumam diriku yang dulu, bingung dengan nada defensif dan mudah marah dari para penjual yang tertekan itu.

Di waktu yang sama, di sore yang sibuk di kantor berita FT, aku juga kaget melihat seorang rekan melakukan hal serupa secara langsung. Ketika ada teman kerja yang cerita soal masalah, dia langsung menolak.

“Aku nggak punya waktu,” katanya tegas. Dia bahkan angkat tangan untuk menghentikan mereka dan lanjut kerja. Wow, pikirku. Kejam tapi efektif — dan mungkin lebih biasa dilakukan pria.

Belakangan, aku mikir gimana reaksiku dulu. Aku perhatikan orang lain tegas atur batasan. Waktu itu, aku anggap itu kasar. Tapi aku nggak sadar itu sebenarnya cara melindungi diri dari hal-hal yang menyita waktu padahal kita sudah kekurangan waktu.

Sekarang beda. Email dan SMS sekarang ditambah grup WhatsApp dan notifikasi media sosial yang bikin mengurusi pesan kerja jadi lari marathon 24 jam. Urusan orang tua lansia juga bikin tugas administrasi makin banyak, ditambah lagi sekolah anakku yang punya banyak aplikasi buat komunikasi — mulai dari PR, vaksin, sampai absen.

Semuanya ribet banget. Aku nggak sendirian. Polling terbaru bilang orang Inggris habiskan 1,52 miliar jam setahun buat urusan admin, dan itu menggerogoti waktu produktif kita — belum lagi bikin kita burnout digital.

MEMBACA  Apa Itu 'Upah Layak'? Michelin Perancis Membangkitkan Debat. Translated title: Apa Itu 'Upah Layak'? Michelin Perancis Membangkitkan Debat.

Yang paling parah kena dampaknya wanita setengah baya — mungkin karena kita mengurus administrasi buat yang muda dan tua. Apa aku merasa lebih baik karena banyak yang mengalami hal yang sama? Mungkin nggak — nggak ada amannya kalau angka itu cuma menunjukkan berapa jam terbuang buat hal nggak penting. Seperti kata Peter Finch di *Network*: Aku marah banget dan nggak mau nerima ini lagi.

Solusinya apa? Menurut Cal Newport dan pakar lainnya, matikan semuanya. Berhenti dari email, media sosial, dan semua gangguan digital. Pasang auto-reply, tapi jangan janji baca pesan. Hidup menunggu untuk dijalani, dan kerja juga butuh fokus tanpa gangguan.

Tapi, kebanyakan dari kita nggak bisa menghilang meski cuma sehari. Karena nggak mungkin benar-benar *log off*, ada saran lucu di media sosial buat ngatur email yang menumpuk. Gimana kalau bikin pemilu mingguan buat memilih satu email yang dibalas, sisanya dihapus? Andai saja!

Tapi ada cara yang lebih baik. Pernah berhasil buatku beberapa tahun, sebelum serangan digital makin menjadi. Kerjakan yang penting dulu. Belajar bedakan mana yang butuh perhatian, lalu selesaikan segera. Ini lebih baik daripada daftar tugas yang bikin stres karena tugas jangka menengah jadi beban psikologis.

Di industri berita, ini biasa. Follow up sekarang, telepon orangnya, tulis artikelnya, cari info dan sampaikan. Lalu lanjut ke tugas berikutnya. Kalau ada yang ragu-ragu di kantor berita, itu bikin kesal. Bahkan terasa seperti penghinaan — makanya rekan kerjaku dulu menolak diajak bicara.

Siapa yang lebih kasar sebenarnya? Aku sering mikirin ini. Sekarang, aku rasa menetapkan batasan itu penting. Bukan berarti aku berani bilang ke rekan kerja “nggak punya waktu”, apalagi wanita diharapkan lebih baik.

MEMBACA  J.P. Morgan Pertahankan Rekomendasi Beli untuk Novo Nordisk (NVO)

Tapi aku akan lebih sadar untuk nggak menyita waktu orang. Nggak lagi mengharap balasan pesan nggak penting, kayak yang aku kirim ke editor kolom ini dengan lelucon soal pemilu email. Nggak salah kok berbagi candaan di kerja. Tapi nggak salah juga kalau diabaikan. Seperti yang dia lakukan dengan bijak. “Tolong jangan buang-buang waktu!”

[email protected]