Apa yang sedang terjadi di departemen marketing?
Itu yang banyak orang tanyain setelah American Eagle keluarkan kampanye “blue jeans” mereka bintang Sydney Sweeney dan e.l.f. Cosmetics luncurkan iklan terbaru mereka yang menampilkan komedian kontroversial Matt Rife. Keduanya jadi viral, tapi untuk alasan yang buruk.
Apakah ini tidak sengaja? Atau direncanakan? Apa ini benar strategi marketing yang baru?
Apakah brand-brand ini tahu bakal ada reaksi negatif atau tidak, pertanyaan besarnya adalah: seperti inikah iklan dan cara brand terlibat dengan audiens di ekonomi perhatian sekarang?
### Selamat datang di era ragebait
Sebagai pendiri Viral Marketing Stars®, saya tahu cara bikin kampanye viral yang disukai — khususnya oleh Gen Z, audiens paling keras di internet.
Kalau belum pernah dengar, ragebait marketing itu sederhana: sebuah brand melakukan hal yang polarisasi atau kontroversial — kadang tidak sengaja tapi seringnya sengaja — dengan tujuan jadi viral dengan memicu banyak komentar dan dapat publisitas gratis.
Dan sebenarnya, cara ini berhasil — setidaknya di permukaan, kalau kamu ukur suksesnya dari jumlah views.
Algoritma media sosial suka engagement. Semakin banyak komentar, share, dan waktu tonton, konten itu akan semakin disebarkan.
Peneliti dari Tulane University sebut ini “confrontation effect” — orang lebih mungkin berinteraksi dengan konten yang menantang pandangan mereka daripada yang sesuai.
Ini lebih murah dari iklan tradisional, lebih cepat dari membangun reputasi, dan cara pasti untuk dapat perhatian.
Jadi iya, ragebait sedang tren. Tapi apakah itu berarti pintar?
### Apa yang terjadi dengan American Eagle dan e.l.f.
Kampanye American Eagle menampilkan Sweeney dengan tagline “Sydney Sweeney punya jeans yang bagus” dan backlash-nya datang cepat.
Beberapa orang merasa itu adalah referensi halus ke eugenika, karena rambut pirang dan mata biru Sweeney dan kaitannya dengan konsep menurunkan sifat lewat gen. Yang lain merasa itu tidak berbahaya dan bahkan memujinya sebagai penolakan terhadap budaya “woke”.
Di e.l.f., backlash datang sama cepatnya saat iklan mereka menampilkan Matt Rife — komedian yang terkenal di TikTok — karena sejarah Rife yang pernah bikin candaan kekerasan rumah tangga dan humor “bro” yang edgy. Dari semua selebriti, kenapa brand kecantikan memilih dia?
Kita tidak tahu pasti jawabannya, tapi kita tahu kampanye itu tetap tayang dan tidak ada permintaan maaf — hanya pernyataan singkat brand yang bikin pelanggan intinya semakin bingung.
Apakah mereka coba membuat orang marah? Atau mereka hanya ceroboh?
Itu masalahnya dengan ragebait. Bahkan kalau kamu tidak bermaksud memulai api, kamu tetap harus memadamkannya.
### Ragebait vs. strategi yang beneran
Jelas — tidak semua kontroversi adalah strategi buruk. Beberapa kampanye paling berpengaruh dalam sejarah marketing memang polarisasi. Tapi ada bedanya antara polarisasi dan kekacauan.
Contohnya kampanye Nike tahun 2018 dengan Colin Kaepernick — iklan yang menampilkan mantan pemain NFL yang terkenal karena berlutut saat lagu kebangsaan untuk protes kekerasan polisi, dengan tagline “Percaya pada sesuatu. Meskipun itu berarti mengorbankan segalanya”.
Itu memecah belah; ada boikot, dan hashtag jadi tren. Tapi Nike? Mereka tidak mundur karena iklan itu sesuai dengan nilai-nilai mereka tentang keberanian, pemberontakan, dan risiko.
Kamu bahkan bisa bilang mereka tidak melakukan ragebait. Mereka sedang “standing on business” (berdiri di atas bisnis).
Itu sebabnya saya suka sebut ini “Stand-on-Business Marketing” — di mana kamu vokal tentang apa yang kamu percaya, siapa yang kamu ajak bicara, dan bersedia menerima panas dari kubu lain jika itu datang sebagai efek samping dari pesanmu. Tapi tujuannya bukan kemarahan. Tujuannya adalah berdiri di atas bisnis.
Kalau dipikir, pelanggan inti Nike melihat diri mereka di iklan itu. Sedangkan American Eagle dan e.l.f. membuat pelanggan intinya merasa bingung dan kecewa.
### Biaya sesungguhnya dari perhatian murah
Ini bagian yang sering dilewatkan brand: perhatian ≠ loyalitas.
Kamu tidak bisa mengukur keberhasilan hanya dari views — khususnya jika kampanyemu mengikis kepercayaan dan menjauhkan pelanggan intimu.
Dan di tahun 2025, kepercayaan adalah segalanya — khususnya dengan Gen Z, yang tidak hanya menonton kampanye — mereka memanggil brand secara langsung. Saya sudah kerja dengan ribuan kreator dan brand yang coba menjangkau generasi ini dan menembus kebisingan di media sosial — dan satu hal yang saya tahu pasti: kalau kamu kehilangan kepercayaan mereka, kamu tidak akan mendapatkannya kembali.
Jadi kalau kamu belum siap untuk membela pilihanmu sebelum backlash datang, kamu belum siap untuk meluncurkan.
### Terlalu bermain aman? Itu juga risiko
Tapi jangan berpura-pura solusinya adalah tidak pernah menjadi kontroversial. Terlalu bermain aman sama berbahayanya.
Saya melihatnya langsung sebagai strategis marketing viral yang membantu brand jadi viral dengan desain — khususnya dengan Gen Z, di mana relevansi dan keaslian lebih penting daripada kesempurnaan.
Klien dengan ide bagus dan produk hebat terlalu banyak mengedit diri mereka sendiri sampai tidak terlihat. Mereka begitu takut menyinggung perasaan sampai pesan mereka datar dan akhirnya tidak menjangkau siapa-siapa.
Itu yang saya sebut Ghost Marketing — di mana kontenmu terlalu aman sampai akhirnya tidak terlihat.
Kalau ragebait itu membakar internet, ghost marketing itu berbisik ke kekosongan.
Kalau kamu ingin menonjol, kamu harus berdiri untuk sesuatu. Jalan tengahnya adalah kejelasan, bukan netralitas.
### Apa yang dilakukan brand pintar sebagai gantinya
Mau luncurkan kampanye viral yang sukses sekarang? Ini saran saya:
• Berani, tapi disengaja dan sadar budaya — khususnya budaya Gen Z.
• Bermitra dengan duta merek yang punya audiens target dan selaras dengan nilai brand — bukan hanya basis penggemar yang besar.
• Siapkan diri untuk reaksi internet. Punya rencana, pernyataan, dan pendirian sebelum kamu publish.
• Dan yang paling penting, jangan coba jadi viral dengan memprovokasi pelanggan yang ingin kamu pertahankan.
Kamu bisa jadi viral dengan memicu reaksi positif (tawa, kagum, rasa memiliki, nostalgia) atau negatif, seperti kemarahan — pastikan saja itu datang dari orang yang bukan pelangganmu, bukan dari pelanggan intimu.
Karena virality tidak datang dari memiliki jutaan follower atau budget iklan besar. Itu datang dari respons emosional. Konten jadi viral ketika dishare, dan konten dishare ketika orang merasa sesuatu dan ingin membicarakannya.
Marah hanya satu emosi. Dan kalau kamu pilih itu sebagai tuas marketing utamamu, kamu harus pastikan bisa menangani konsekuensinya.
### Kata terakhir
Ragebait marketing mungkin dapat perhatian dan publisitas (khususnya jika memicu Gen Z). Dan iya, kita mungkin akan lihat lebih banyak kampanye ragebait ke depan. Tapi tidak semua publisitas adalah publisitas baik.
Brand-brand terpintar di 2025 tidak mengejar kemarahan. Mereka “standing on business”. Dan mereka membuat keputusan berani untuk keselarasan, bukan hanya nilai kejutan.
Karena pada akhirnya, jadi viral itu mudah. Membangun (dan mempertahankan) loyalitas pelanggan seumur hidup? Itu strategi.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel komentar Fortune.com adalah pandangan penulisnya dan tidak selalu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.