Di tengah era globalisasi dan modernisasi yang semakin cepat, dunia saat ini sedang menghadapi tantangan krisis iklim. Pada Forum Keberlanjutan Internasional Indonesia (IISF) 2024, yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 5-6 September, isu tersebut tidak hanya dibahas oleh ilmuwan dan aktivis lingkungan, tetapi juga menjadi salah satu fokus utama pemimpin dunia. Modernisasi yang dicapai melalui perkembangan industri selama satu abad terakhir telah meninggalkan jejak karbon yang besar. Oleh karena itu, sudah tepat bahwa semua tingkatan masyarakat global saat ini mulai mendiskusikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Peran penting Indonesia Berdasarkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sesi pleno ISF 2024, jika Indonesia ingin meningkatkan ekonominya lebih lanjut, harus memastikan bahwa lingkungan tetap terjaga. Mengingat posisinya sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia, terutama di pulau-pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Hutan-hutan ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami, menyimpan karbon dan membantu mengurangi gas rumah kaca (GHG) di atmosfer. Namun, tingginya deforestasi akibat penebangan, kebakaran hutan, dan konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan emisi karbon global. Indonesia telah menetapkan target mencapai emisi neto nol (NZE) pada tahun 2060. Telah ditetapkan target yang ambisius untuk mengurangi emisi GHG sebesar 31,89 persen dengan upaya negara dan sebesar 43,2 persen dengan dukungan internasional. Dalam pidatonya, menteri menyatakan bahwa tantangan utama dalam mencapai target NZE adalah pembiayaan. Memang, diperlukan dana yang besar untuk menampung semua sektor untuk menerapkan transisi energi menuju energi ramah lingkungan. Untuk itu, pembiayaan hijau memainkan peran penting. Pembiayaan hijau adalah pembiayaan alternatif yang mendukung proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan. Pembiayaan ini diarahkan pada proyek-proyek terkait energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya alam, dan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tujuannya adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sambil menjaga keseimbangan ekologis. Misalnya, obligasi hijau adalah instrumen keuangan yang sering digunakan dalam pembiayaan hijau di Indonesia, di mana hasil dari obligasi ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang ramah lingkungan. Indrawati mencatat bahwa instrumen fiskal pemerintah, seperti obligasi hijau dan biru, telah berhasil menarik investor domestik dan internasional. Selain itu, melalui mekanisme Kemitraan Transisi Energi Adil (JETP) yang diluncurkan selama KTT G20 di Bali pada tahun 2022, pemerintah bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Melalui JETP, US International Development Finance Corporation (DFC) sepakat memberikan pembiayaan sebesar US$1 miliar untuk Indonesia untuk percepatan energi bersih. Di antara berbagai instrumen pembiayaan hijau, sukuk hijau dapat dikatakan sebagai yang paling populer di Indonesia. Indonesia adalah salah satu pelopor dalam penerbitan sukuk hijau, yang merupakan obligasi syariah yang telah menarik perhatian investor internasional. Sukuk hijau telah mencatat permintaan yang tinggi, menarik investor dari berbagai negara, termasuk Jepang dan Inggris. Secara global, Indonesia telah menerbitkan sukuk hijau senilai US$5 miliar, sedangkan untuk obligasi SDGs, nilainya mencapai €500 juta pada tahun 2021. Namun, Indonesia masih memiliki jalan yang panjang dan penuh tantangan untuk mencapai target transisi energi pada tahun 2060. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), Indonesia membutuhkan investasi hijau sebesar US$29,4 miliar hingga tahun 2030 untuk mencapai target NZE pada tahun 2060. Kolaborasi lintas sektor Dalam ISF 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti bahwa transisi energi tidak hanya dapat bergantung pada pembiayaan dari anggaran negara. Dia menekankan perlunya berkolaborasi dengan sektor swasta dan mengundang lebih banyak dana non-publik untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek hijau. Melalui kolaborasi lintas sektor, pemerintah dapat menciptakan kebijakan dan insentif yang mendukung proyek-proyek hijau, sementara sektor swasta membawa modal dan keahlian. Kolaborasi ini dapat mencakup insentif pajak kepada perusahaan yang berinvestasi dalam proyek-projek hijau, seperti insentif untuk penggunaan energi terbarukan atau kendaraan listrik. Subsidi juga dapat diberikan untuk mendukung industri yang fokus pada solusi ramah lingkungan, mengurangi biaya awal yang sering menjadi hambatan dalam proyek-proyek hijau. Adaptasi Bank BUMN PT Bank Mandiri Tbk, salah satu lembaga keuangan terbesar di Indonesia, juga memainkan peran penting dalam mendukung agenda hijau pemerintah. Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar menekankan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan global. Bank BUMN telah memfasilitasi pembiayaan hijau untuk beberapa Badan Usaha Milik Negara besar, seperti perusahaan listrik negara PLN dan perusahaan minyak dan gas negara Pertamina. Selain itu, mereka juga mendukung proyek-proyek infrastruktur hijau yang dikelola oleh perusahaan swasta. Tantangan utama dalam pembiayaan hijau terletak pada tahap awal adaptasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di Indonesia. Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa kapasitas untuk pengembangan dan kolaborasi dengan lembaga keuangan yang lebih maju dalam menerapkan ESG sangat penting. Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Mandiri telah menjadi salah satu pelopor dalam menyediakan pembiayaan hijau untuk mendukung proyek-projek energi terbarukan. Perusahaan telah bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, seperti ADB, dalam mengembangkan model ESG yang dapat diimplementasikan secara lokal. Langkah ini sejalan dengan strategi nasional untuk meningkatkan partisipasi lembaga keuangan dalam proyek-proyek hijau melalui insentif keuangan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam hal ini, lembaga keuangan memiliki peran sebagai katalis dalam transisi menuju ekonomi hijau. Askandar menekankan bahwa kolaborasi dengan pemerintah, regulator, dan lembaga keuangan internasional sangat penting untuk memastikan bahwa semua sektor dapat mengakses pembiayaan hijau. Pada akhirnya, keberlanjutan tidak hanya tentang mengurangi emisi tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru yang inklusif. Melalui kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan internasional, Indonesia bertekad menjadi pelopor dalam pembiayaan hijau, membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan hijau. .