Ujian Kebijakan Satu China Prabowo di Tengah Meningkatnya Ketegangan Jepang-China

Jakarta (ANTARA) – Berapa lama Indonesia bisa bertahan dalam ‘Perang Dingin baru’ Asia? Saat Jepang dan China berhadapan di Selat Taiwan, nasib rantai pasok elektronik dan otomotif Jakarta berada di titik kritis.

Pada 7 November 2025, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengeluarkan pernyataan eksplisit mengenai potensi respons militer Tokyo jika China menyerang Taiwan.

Pernyataan ini dianggap telah melanggar ‘batas merah’ Beijing, memicu ketegangan yang meningkat dan mengancam menjadikan Selat Taiwan sebagai titik konflik berkepanjangan.

Seandainya Selat Taiwan—saluran logistik vital— lumpuh, 40% rantai pasok elektronik Asia akan terganggu. Artinya, harga ponsel dan suku cadang mobil di Indonesia bisa melonjak drastis.

Ironisnya, di tengah krisis yang membesar ini, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Menteri Luar Negeri Sugiono justru berada di Tokyo pada 17 November 2025 untuk pertemuan 2+2.

Kunjungan yang bertujuan memperkuat kerjasama strategis, termasuk peningkatan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA), terpaksa berlangsung dalam bayang-bayang ketegangan regional yang memanas.

Kehadiran delegasi di Tokyo di tengah eskalasi ini mengungkap bahwa Indonesia terpaksa berjalan di atas tali geopolitik: memperkuat kemitraan dengan Jepang, yang penting untuk modernisasi alat pertahanan, sambil menjaga hubungan stabil dengan China, mitra ekonomi strategis kunci.

Di tengah latar belakang yang sangat sensitif ini, beredar rekaman percakapan telepon antara Presiden Prabowo Subianto dan Menhan Sjamsoeddin pada akhir November 2025. Arahan Presiden jelas: jaga hubungan baik dengan China dan tegaskan bahwa Taiwan adalah urusan dalam negeri China, sebagaimana Papua adalah urusan dalam negeri Indonesia.

Sebagian menspekulasi instruksi ini terkait isu politik domestik. Namun, penafsiran seperti itu menyesatkan dan terlalu sempit. Pesan presiden harus dipahami sebagai arahan strategis tingkat tinggi untuk mengelola risiko geopolitik.

MEMBACA  Trump Klaim Tak Ingin Hancurkan China Usai Pernah Sampaikan Ancaman

Isu Taiwan mewakili kepentingan strategis paling sensitif Beijing, sementara bagi Tokyo ini terkait erat dengan jalur pelayaran dan keamanan regional.

Dengan demikian, komunikasi langsung presiden dengan menhan mencerminkan grand strategy Indonesia yang lebih luas: mempertahankan kebijakan luar negeri aktif dan non-blok, menolak terseret dalam politik blok, dan memprioritaskan stabilitas regional. Ini adalah sikap negara yang ingin bertindak sebagai penyeimbang di tengah persaingan kekuatan besar yang makin sengit.

Langkah Strategis Satu China

Untuk menjaga stabilitas regional, Indonesia harus mengambil langkah adaptif dan konstruktif. Jika dibiarkan, ketegangan Jepang-China bisa meluas ke Laut China Timur, Laut China Selatan, dan mengganggu rute logistik kritis di seluruh Asia Tenggara.

Arahan Presiden Prabowo kepada Sjamsoeddin dapat disarikan menjadi tiga inti, membentuk kerangka mitigasi risiko dengan Kebijakan Satu China sebagai pusatnya.

Pertama, Indonesia harus memperkuat hubungan dengan China sebagai tindakan pencegahan. Hubungan bilateral yang stabil berfungsi sebagai penyangga penting terhadap tekanan dari blok-blok yang bersaing.

Kedua, Jakarta harus meningkatkan kewaspadaan strategis terhadap perkembangan hubungan Jepang-China.

Ketiga, Indonesia harus memastikan konsistensi sikap dalam isu-isu sensitif, terutamanya seiring vertikalnya keterlibatan pertahanan dan diplomasi dengan Jepang.

Langkah ini kritis. Jika Beijing menangkap ketidak-konsistenan Indonesia dalam memegang Kebijakan Satu China, kerjasama pertahanan yang lebih erat dengan Jepang bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan pada kepentingan strategis Barat.

Dalam skenario seperti itu, Indonesia berisiko kehilangan akses teknologi dan investasi maju dari Jepang atau merusak kemitraan ekonomi vital dengan China.

Melalui pendekatan ini, Indonesia berusaha memposisikan diri sebagai kekuatan penstabil. Ini peran paling konstruktif yang dapat dimainkan negara sebesar Indonesia di tengah persaingan kekuatan besar.

MEMBACA  Kasus Kecelakaan yang Berujung pada Tindakan Penganiayaan, Seorang Dokter Umum dan ASN Mengalami Luka-luka

Kredibilitas Indonesia sebagai penstabil regional sangat bergantung pada konsistensi kebijakan luar negeri. Arahan tegas Presiden Prabowo mengenai Taiwan memberikan sinyal kuat akan konsistensi tersebut.

Saatnya ASEAN Bertindak

Ketegangan yang meningkat di Asia Timur juga jadi peringatan bagi Indonesia untuk memperkuat sentralitas ASEAN. Jakarta harus memanfaatkan peran kepemimpinannya untuk mendorong dialog keamanan regional yang lebih aktif.

Salah satu langkah konstruktif adalah Indonesia mendorong ASEAN menggelar konsultasi darurat di tingkat menteri luar negeri atau bahkan kepala negara, yang melibatkan tidak hanya Jepang dan China tetapi juga kekuatan maritim regional lainnya.

Konsultasi seperti itu akan vital untuk merumuskan kode etik maritim regional yang diperbarui. Kerangka kerja yang ada harus menyesuaikan diri dengan dinamika militer baru, termasuk drone, perang siber, dan operasi ‘zona abu-abu’ yang semakin asertif di Laut China Selatan, yang sering disorot dalam penilaian keamanan regional.

Indonesia harus memastikan ASEAN tetap menjadi aktor sentral dan relevan, bukan sekadar pengamat pasif.

Dalam konteks ini, esensi arahan Presiden Prabowo menjadi jelas. Pernyataannya bahwa Taiwan adalah urusan dalam negeri China mencerminkan kepatuhan Indonesia yang sudah lama pada Kebijakan Satu China, yang dipegang sejak 1950.

Bagi Jakarta, Taiwan adalah mitra ekonomi penting, namun Indonesia tidak mengakuinya sebagai negara berdaulat, sesuai dengan posisi yang dipegang mayoritas komunitas internasional.

Kebijakan Satu China tetap menjadi landasan hubungan Indonesia-China dan prinsip penuntun bagi respons Jakarta atas isu Taiwan. Menegaskan kembali sikap ini adalah upaya menjaga konsistensi yang berprinsip.

Pada akhirnya, ketegangan Jepang-China pada akhir 2025 menyoroti kerapuhan kawasan yang semakin besar.

Indonesia, melalui arahan Presiden Prabowo dan diplomasi berikutnya, berusaha menjaga keseimbangan strategis.

MEMBACA  Judul: Pesesta Pesta Gay di Bogor Dikenakan Biaya Rp200 Ribu per Orang, Sebar Undangan dengan Dalih Family Gathering (Penulisan lebih rapi dan formal, tetap mempertahankan makna asli.)

Instruksi telepon Prabowo lebih dari sekadar arahan sesaat.

Itu adalah pengingat nyata bahwa di tengah gejolak geopolitik, Kebijakan Satu China berfungsi sebagai jangkar terakhir Indonesia.

Kehilangan jangkar itu bukan berarti memilih sebuah blok—melainkan berarti melepas kedaulatan moral yang diperlukan untuk bernegosiasi dengan pihak manapun.

*) Rioberto Sidauruk adalah staf ahli Komisi VII DPR dan analis kebijakan strategis nasional.

Pandangan dan opini yang diungkapkan di halaman ini adalah milik penulis dan tidak serta merta mencerminkan kebijakan atau posisi resmi ANTARA News Agency.

Copyright © ANTARA 2025

Tinggalkan komentar