Kamis, 4 Desember 2025 – 09:46 WIB
Jakarta, VIVA – Pernyataan ahli fotogrametri Profesor Tono Saksono memicu polemik tentang fenomena fajar yang menjadi patokan waktu Salat Subuh. Berdasarkan pengamatan konsisten sejak 2016 di berbagai lokasi, ia menyebut waktu azan Subuh di Indonesia lebih cepat dari seharusnya.
Baca Juga:
Buya Yahya Ungkap Makna ‘Dua Rakaat sebelum Subuh Lebih Baik dari Dunia Seisinya’
Ia menilai hal ini terjadi karena kemungkinan kesalahan dalam menentukan sudut matahari yang dipakai sebagai standar waktu Subuh, sehingga diduga ada manipulasi penentuan waktu salat. Karena itu, ia minta Kementerian Agama untuk tinjau ulang metode perhitungan waktu salat, terutama terkait parameter munculnya fajar.
Baca Juga:
5 Fakta Peralihan Aset Kemenag ke Kemenhaj: Gedung, Siskohat, hingga Personel
Menanggapi hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan dasar ilmiah dan fikih penentuan waktu Subuh di Indonesia, setelah perdebatan publik tentang derajat posisi Matahari sebagai penanda Fajar Shadiq muncul kembali.
Penetapan jadwal salat nasional ditegaskan bukan hanya perkiraan, tetapi hasil ijtihad kolektif yang gabungkan kajian astronomi, verifikasi lapangan, dan rujukan fikih dari literatur klasik hingga modern.
Baca Juga:
Mewujudkan Pelayanan untuk Umat Hindu di Seluruh Pelosok Negeri dengan Cepat, Transparan dan Membahagiakan
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menjelaskan bahwa para ulama fikih mendeskripsikan Fajar Shadiq sebagai cahaya putih horizontal yang muncul di ufuk timur dan makin terang. Deskripsi ini jadi dasar syar’i yang harus diverifikasi dengan pendekatan astronomi modern.
“Fikih memberi definisi, astronomi bantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penentuan ibadah punya dasar yang lengkap,” kata Arsad Hidayat seperti dikutip laman Kemenag, Kamis, 4 Desember 2025.
Menurutnya, pemilihan derajat sekitar –20° sudah melalui forum diskusi, musyawarah pakar falak, dan kajian fikih lintas mazhab.
Arsad memaparkan bahwa karakter atmosfer Indonesia di kawasan tropis memengaruhi intensitas dan hamburan cahaya fajar. Tingkat kelembaban, ketebalan atmosfer, hingga polusi cahaya turut membentuk kurva cahaya fajar yang beda dengan wilayah lintang sedang. Di sejumlah titik observasi bertahun-tahun, cahaya Fajar Shadiq berulang kali terdeteksi pada rentang –19° hingga –20°.
“Inilah sebabnya verifikasi lokal menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Ia menegaskan bahwa Kemenag tidak pernah menutup ruang dialog ilmiah. Semua dokumen pengamatan, foto, data lapangan, serta hasil uji tim tersedia untuk dikaji para peneliti falak maupun ormas Islam.