Tantangan dalam penanggulangan terorisme menanti pemerintah berikutnya

Sebuah rencana aksi regional untuk masalah yang sama juga diperlukan, karena pembicaraan tentang pencegahan dan penanganan terorisme masih dianggap hanya sebagai masalah nasional.Jakarta (ANTARA) – Terorisme tetap menjadi tantangan sebagai kejahatan terorganisir lintas negara bagi pemerintahan baru Indonesia di periode 2024-2029. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pemerintahan baru harus memetakan tantangan penanganan terorisme dengan tepat, sehingga dapat diantisipasi dan ditangani secara terukur.

Dalam Indeks Terorisme Global 2024 dari Institute for Economics and Peace (IEP), Indonesia saat ini berada di peringkat 31, atau naik tujuh peringkat, dari indeks sebelumnya. Indeks ini bisa menjadi modal bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk melanjutkan kinerja baik pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin sekaligus meningkatkan kinerjanya dalam memberantas terorisme di masa depan.

Dalam dokumen visi dan misi untuk Pemilihan Presiden 2024, Prabowo dan Gibran juga telah memasukkan isu terorisme, yaitu mencegah tindakan terorisme dan radikalisme melalui reformasi di sektor keamanan, memperbaiki regulasi keamanan, mereorientasi pendidikan aparat penegak hukum, dan melakukan kampanye sosio-kultural komprehensif.

Prabowo dan Gibran juga berupaya untuk memperkuat sinergi antara pihak-pihak di bidang pertahanan dan keamanan dalam mencegah dan menangani tindakan terorisme.

Tantangan

Deputi Penindakan dan Pemberdayaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Ibnu Suhaendra menjelaskan bahwa repatriasi warga negara Indonesia yang terkait dengan Foreign Terrorist Fighters (FTF) adalah salah satu tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Repatriasi dianggap penting, mengingat adanya regulasi yang mengatur masalah ini, yaitu Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 90 tahun 2023 tentang Satuan Tugas Penanganan WNI yang Terkait dengan FTF.

MEMBACA  Manfaatkan Penghapusan Sanksi Administrasi PKB dan BBNKB dari Bapenda Jakarta, Terakhir 31 Agustus!Manfaatkan Penghapusan Sanksi Administrasi PKB dan BBNKB dari Bapenda Jakarta, Terakhir 31 Agustus!

Repatriasi dianggap perlu, terutama bagi warga Indonesia yang berada di luar negeri dan terkait dengan FTF, seperti di Suriah.

Menurut data BNPT, Indonesia adalah salah satu dari tiga negara yang warganya masih tinggal di kamp pengungsi di Suriah, sementara beberapa negara lain, seperti Uzbekistan, Kirgistan, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Maroko, dan Prancis, telah mengrepatriasi warganya.

Repatriasi warga Indonesia di Suriah, misalnya, mereka yang berada di kamp Al-Hawl dan Al-Roj, harus menjadi perhatian serius bagi Prabowo dan Gibran, agar anak-anak di sana dapat dicegah dari terpapar radikalisme atau menjadi pejuang.

Jika mereka sudah terpapar radikalisme, maka pemerintah harus memasukkan mereka dalam program deradikalisasi, seperti yang ada di Pusat Handayani, Jakarta, yang sudah berjalan dan dilaksanakan oleh BNPT bersama Kementerian Sosial.

Selanjutnya, Prabowo dan Gibran harus memperhatikan anak-anak dan perempuan yang terlibat dalam tindakan teror. Berdasarkan data BNPT, saat ini, 60 perempuan dan 20 anak terlibat dalam terorisme.

BNPT juga mencatat bahwa dalam periode 2020-2023, 80 orang berusia 18-24 tahun ditangkap karena terlibat dalam terorisme, sementara selama periode 2000-2023, 65 putusan pengadilan terkait dengan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme.

Penanganan anak-anak dan perempuan yang terlibat dalam terorisme penting, mengingat keterlibatan mereka telah menjadi tren baru dalam tindakan teror sejak munculnya kelompok teroris ISIS.

Selanjutnya, pemerintahan Prabowo-Gibran harus memperhatikan mantan narapidana teroris atau recidivist dan upaya deradikalisasi.

Masalah ini perlu diatasi, karena recidivist teroris tetap menjadi ancaman, dengan potensi untuk melakukan tindakan teror lagi, seperti yang terjadi dalam insiden bom Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 7 Desember 2022.

Namun, masih banyak tantangan dalam upaya deradikalisasi bagi narapidana teroris atau orang yang terpapar radikalisme.

MEMBACA  Juara Olimpiade Juniansyah dihargai dengan pekerjaan pemerintah

Menurut data BNPT, dari 1.591 orang yang ditargetkan untuk deradikalisasi, hanya 658 orang yang mengikuti program tersebut. Sisanya, 364 orang belum ikut serta dan memerlukan pendekatan personal, 422 tidak bersedia untuk ikut serta dalam deradikalisasi, dan 147 masih ragu tentang partisipasi mereka.

Tantangan lain yang memerlukan perhatian pemerintahan berikutnya adalah tren pendanaan terorisme dan terorisme di dunia maya yang melibatkan penggunaan teknologi.

BNPT pernah menemukan kasus propaganda jihadis melalui permainan video, yaitu dalam bentuk bendera ISIS. Oleh karena itu, penting bagi pemerintahan berikutnya untuk waspada terhadap penyebaran radikalisme di dunia maya.

Pakar keamanan internasional dari Universitas Indonesia Ali Abdullah Wibisono memperingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran tentang potensi munculnya ideologi baru terkait jihadisme di Indonesia.

Selain itu, deradikalisasi harus difokuskan pada tokoh-tokoh tertentu. Selain itu, kemitraan internasional, lintas negara, dan lintas aktor perlu mendapat perhatian dan diperkuat.

Selain itu, perlu memperhatikan pendanaan kegiatan teroris, karena teroris mampu menggabungkan penggalangan dana secara langsung dan online. Selain itu, pemulihan korban tindakan teror harus menjadi perhatian pemerintahan Prabowo-Gibran di masa depan.

Repatriasi dan deradikalisasi juga adalah tantangan yang harus dihadapi pemerintahan berikutnya. Sudut-sudut tersembunyi di dunia maya yang terenkripsi juga harus diantisipasi, sehingga gerakan teroris di dunia maya dapat ditangani.

Peneliti senior organisasi non-pemerintah The Habibie Center, Johari Efendi, juga menekankan perlunya pemerintahan berikutnya memperhatikan dunia maya.

Selain itu, penting bagi Rencana Aksi Nasional untuk Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Menyebabkan Terorisme (RAN PE) untuk mendapat perhatian. Selain itu, RAN PE, yang didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 akan berakhir pada Desember 2024, sehingga diperlukan penciptaan RAN PE berikutnya.

MEMBACA  Pendidikan SMK Gratis Harus Menjamin Kualitas Lulusan yang Sesuai dengan Kebutuhan Industri

Sebuah rencana aksi regional untuk masalah yang sama juga diperlukan, karena pembicaraan tentang pencegahan dan penanganan terorisme masih dianggap hanya sebagai masalah nasional.

Perlu juga untuk mengatasi isu teroris recidivist yang dihormati, karena mereka dibebaskan tanpa syarat dari penjara atau belum menjalani deradikalisasi. Hal ini karena pendukung mereka dianggap berada pada tingkat tertinggi.

Selain itu, berdasarkan data BNPT, misalnya, hanya pada bulan April 2024, 17 narapidana teroris telah selesai menjalani hukuman mereka. Dari 17 orang tersebut, sebagian besar, sekitar 52,9 persen, bebas dengan syarat pembebasan bersyarat, sementara 47,1 persen bebas tanpa syarat.

Berbagai tantangan dalam penanganan terorisme harus mendapat perhatian dari pemerintahan Prabowo-Gibran, sehingga kebijakan yang efektif dan optimal dapat dibuat dan visi serta misi mereka dapat terwujud.

Berita terkait: Indonesia menyarankan tiga pendekatan untuk penanganan korban anak terorisme
Berita terkait: Memaksimalkan kursi di FATF untuk melawan kejahatan lintas negara
Copyright © ANTARA 2024