Spesies anggrek baru yang tak berdaun ditemukan di Sumatra.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menemukan spesies baru dari anggrek akar tanpa daun, Chiloschista tjiasmantoi Metusala, yang merupakan anggrek endemik Sumatera yang termasuk dalam genus Chiloschista (Orchidaceae).

Destario Metusala, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Biosistematika dan Bioevolusi BRIN, menginformasikan dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Jakarta pada hari Kamis bahwa beberapa anggrek Chiloschista ditemukan tumbuh secara epifitik di pohon-pohon di perkebunan semi terbuka yang berbatasan dengan hutan.

Warna mereka yang menyerupai kulit pohon inang, bersama dengan bunga kuning kecil namun cerah mereka, membuat deteksinya sangat menantang.

Spesimen baru menunjukkan morfologi bunga yang berbeda, membedakannya dari spesies Chiloschista lainnya, terutama C. javanica dan C. sweelimii.

“Nama Chiloschista tjiasmantoi menghormati filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto atas dukungannya dalam upaya konservasi flora di Indonesia, khususnya di Aceh,” kata Metusala.

Dia mengklasifikasikan C. tjiasmantoi sebagai spesies yang terancam berdasarkan kriteria Daftar Merah IUCN, mengutip distribusi dan populasi yang terbatas, serta ancaman dari ekspansi perkebunan dan perubahan iklim.

“Memperluas area perlindungan di Aceh sangat penting untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam, terutama yang unik untuk provinsi tersebut,” katanya.

Kuncup bunga C. tjiasmantoi memiliki lebar 1,0–1,2 cm dan ditandai dengan dasar kuning dengan bercak oranye atau kemerahan. Satu tangkai bunga yang panjang dapat menghasilkan hingga 30 bunga yang mekar secara bersamaan.

Spesies ini biasanya ditemukan pada ketinggian antara 700–1.000 meter di atas permukaan laut, melekat pada batang pohon matang di habitat semi terbuka, berangin, dan lembab. Musim berbunga mereka berlangsung dari pertengahan Juli dan awal November hingga akhir Desember.

“Spesies anggrek baru ini telah mengalami adaptasi evolusioner yang unik, dengan mengurangi organ daunnya secara drastis. Akibatnya, proses fisiologis penting, seperti fotosintesis, terutama dilakukan oleh akarnya,” jelas Metusala.

MEMBACA  2 Rencana Timnas Indonesia Menuju Semifinal Piala AFF 2024 Setelah Dikalahkan oleh Vietnam

“Adaptasi unik ini menawarkan peluang untuk penelitian biologi lebih lanjut,” tambahnya.

Istilah “anggrek tanpa daun” merujuk pada ketiadaan organ daun sepanjang siklus hidup anggrek. Genus Chiloschista adalah contoh yang menonjol dari adaptasi ini.

Ditemukan pertama kali pada tahun 1832, genus ini kini mencakup 30 spesies yang tersebar di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Australia. Di Indonesia, anggrek-anggrek ini sering disebut sebagai “anggrek akar” karena kemiripannya dengan gugusan akar hijau.

Sebelum penemuan terbaru ini, hanya empat spesies anggrek akar yang diketahui ada di Indonesia di Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Penemuan ini menandai keberadaan pertama anggrek Chiloschista di Sumatra.

Penelitian tentang “Spesies baru dari genus Chiloschista (Aeridinae, Vandeae, Epidendroideae, Orchidaceae) dari Pulau Sumatera, Indonesia” telah dipublikasikan dalam jurnal PhytoKeys: Destario Metusala (2025).

Berita terkait: Spesies anggrek baru dari Kaltim dipamerkan di FLOII Expo 2024

Berita terkait: Hutan Sultan Adam di Kalsel menampung lebih dari 100 anggrek langka

Berita terkait: Pemerintah akan mempromosikan budidaya anggrek di daerah yang kurang berkembang

Translator: Sean Filo Muhamad, Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025