Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menugaskan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menggandakan produksi kakao dan kelapa sawit dengan melaksanakan program peremajaan.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, setelah rapat kabinet terbatas mengenai kelapa dan kakao di Istana Presiden, Jakarta pada hari Rabu.
“Jika kita melihatnya, dari segi industri, luas lahan kakao menurun. Kebutuhan kita untuk pengembangan industri hampir dua kali lipat,” katanya.
Ia mencatat bahwa produksi kakao di Indonesia telah mencapai sekitar 180 ribu ton dan produksi kelapa sawit sekitar 2,8 juta ton, dengan ekspor kakao bernilai 1,3 miliar USD per tahun dan ekspor kelapa sawit sebesar 1,2 miliar USD.
Menurut Hartarto, saat ini, luas lahan kakao di Indonesia mencapai 1,3 juta hektar, dan untuk kelapa sawit 3,3 juta hektar.
Sementara itu, pendapatan negara dari bea ekspor atau cukai yang dikenakan pada ekspor kakao telah ditetapkan sekitar 46,9 juta rupiah (sekitar 2.891 USD) per tahun.
“Kita semua tahu bahwa selama ini telah ada bea ekspor pada kakao, yang tujuannya utamanya adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan hasilnya adalah bea ekspor antara nol hingga 15 persen, tergantung pada harga,” kata menteri tersebut.
Berdasarkan Hartarto, beberapa negara termasuk Pantai Gading dan Ghana, memberlakukan bea ekspor pada kakao sekitar 500 USD per ton.
Ia juga mengatakan bahwa saat ini ada 31 perusahaan Indonesia yang mengelola industri kakao dan cokelat dengan kapasitas produksi 1.240 ton.
Ia mencatat bahwa Presiden telah meminta produksi kakao nasional digandakan menjadi 400 ribu ton dengan bantuan peremajaan.
BPDPKS, katanya, adalah pihak yang bertanggung jawab untuk peremajaan kakao dan kelapa sawit melalui pasokan bibit dari perguruan tinggi atau pusat penelitian.
“Untuk itu, Presiden memerintahkan perlunya memberikan tugas tambahan kepada lembaga tersebut untuk bertanggung jawab atas peremajaan dan pengembangan industri berbasis kakao dan kelapa sawit,” tambahnya.