Jakarta (ANTARA) – Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya menekankan perlunya reformasi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai langkah pertama untuk menyelesaikan sengketa royalti musik yang masih berlangsung bagi musisi.
Bagi Harsya, transparansi dan akuntabilitas—terutama dalam pengumpulan dan distribusi royalti kepada penerima yang berhak—adalah aspek paling mendasar dalam diskusi royalti.
“Ada beberapa aspek yang perlu kita lihat. Pertama, tentunya pencipta lagu dan komposer harus menerima royalti mereka. Di sisi lain, harus ada juga kebijakan yang adil bagi mereka yang menggunakan musik. Namun, masalah paling penting yang perlu diperbaiki adalah sistem manajemen kolektif—LMK dan LMKN,” jelas Harsya dalam wawancara rekaman dengan ANTARA yang diunggah Kamis.
Oleh karena itu, Harsya mendukung revisi Undang-Undang Hak Cipta yang diusulkan, yang bisa mengatasi banyak tantangan dan sengketa terbaru terkait pembayaran royalti yang muncul belakangan ini.
“Saat ini sedang ada inisiatif legislatif di DPR untuk merevisi UU Hak Cipta,” ujarnya saat ditemui ANTARA di Istana Presiden Jakarta pada 6 Agustus.
Mengenai kontroversi pembayaran royalti yang ditagih dari pemilik usaha seperti restoran, kafe, dan kedai kopi yang memutar lagu milik musisi, Harsya menegaskan pentingnya memastikan akuntabilitas.
“Kalau kita menggunakan musik, idealnya kita harus membayarnya. Tapi yang harus dijamin adalah akuntabilitas manajemen kolektif, agar royalti sampai ke pihak yang berhak,” tambahnya.
Ditjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham mengingatkan pelaku usaha pada 30 Juli bahwa musik yang diputar di ruang publik harus disertai pembayaran royalti kepada pencipta dan pemegang hak lagu.
Menurut DJKI, kewajiban ini juga berlaku bagi mereka yang memutar musik melalui layanan digital seperti Spotify, Apple Music, YouTube, dan platform sejenis.
Kewajiban membayar royalti diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan rincian teknis dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik.
Khususnya, penggunaan musik di tempat komersial seperti restoran dan kafe diatur oleh SK Menkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Menurut aturan ini, royalti harus dibayarkan melalui lembaga resmi yang ditunjuk untuk mengumpulkan dan mendistribusikannya kepada pencipta lagu dan pemegang hak, yaitu LMKN.
Kebijakan ini memicu protes dari pemilik kafe, banyak yang memilih berhenti memutar musik sama sekali untuk menghindari tagihan royalti.
Meski begitu, beberapa musisi dan band ternama Indonesia seperti Ahmad Dhani menyatakan secara publik bahwa mereka memperbolehkan lagunya diputar di kafe tanpa bayar, jadi pemilik usaha tidak perlu membayar royalti.
Selain Dhani, band seperti Juicy Lucy, mantan vokalis ST12 Charly van Houten, dan legenda dangdut Rhoma Irama juga memberikan izin agar lagu mereka bisa diputar dan dibawakan orang lain di kafe secara gratis.
Irama mengatakan lebih berarti baginya saat lagunya dibawakan orang lain, menyebutnya sebagai bentuk sedekah.
Berita terkait: Menteri janji selesaikan masalah royalti musik
Berita terkait: Menkumham bahas sistem royalti dengan penyanyi dan musisi
Penerjemah: Primayanti
Editor: Azis Kurmala
Hak Cipta © ANTARA 2025