Film pendek Prenjak menampilkan cerita yang nakal terkait seks, namun tetap menempatkan perempuan sebagai subyek. loading…
JAKARTA – Wajah Diah terlihat kusut. Perempuan berambut pendek itu langsung mengeluh kepada Jarwo. Keduanya bekerja di kedai pizza. Diah mengatakan bahwa ia membutuhkan uang dengan segera. Jarwo menjawab bahwa ia tidak punya uang. Diah mungkin sudah memperkirakan jawaban Jarwo tersebut. Di bawah tatapan bingung Jarwo, Diah membersihkan meja dan menaruh taplak sebagai alasnya.
“Ini korek api, satu aku jual 10 ribu,” kata Diah kepada Jarwo dalam bahasa Jawa.
Penonton, seperti Jarwo, mungkin merasa bingung. Namun sebagai penonton, kita merasa tegang. Apa yang sebenarnya akan terjadi?
Diah meletakkan sebuah kotak korek api di atas meja. Ia menawarkan kepada Jarwo untuk melihat alat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api tersebut. Jika nyala korek mati, maka Jarwo harus membelinya lagi jika masih ingin melihat kelamin Diah. Namun, Diah memiliki syarat: boleh dilihat namun tidak boleh disentuh.
Sebagai penonton, saya semakin tegang menyaksikan film Prenjak (in the Year of Monkey) yang meraih penghargaan Discovery Award di La Semaine de la Critique, Cannes 2016. Dalam durasi yang hanya sekitar 12 menit, Wregas Bhanuteja berhasil mencampur berbagai emosi pada penonton.
Sekilas, film ini memang bisa dianggap sebagai salah satu film Indonesia yang paling berani yang pernah saya tonton. Namun, semakin dalam kita menelusuri, kita akan menemukan bahwa film ini lebih dari sekadar bermain-main dengan kelamin.
Film ini mengajak kita untuk melihat ironi yang sebenarnya hadir di sekitar kita. Ironi tersebut disajikan secara jujur dalam film ini.
Terasa nyata tanpa periasan. Kadang nakal, kadang menyedihkan. Mengejutkan namun pada saat yang sama membuat gelisah.
Diah, yang terdesak oleh masalah ekonomi, masih memiliki kekuasaan atas tubuhnya. Isu ini saat ini sedang hangat diperbincangkan sehingga terasa relevan.
Hal yang diungkapkan oleh Wregas sebenarnya bukanlah hal baru. Lebih dari 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1997, Garin Nugroho telah menggambarkan fenomena tersebut dalam film Daun di Atas Bantal. Adegan tersebut meninggalkan kesan yang mendalam pada penonton, termasuk Garin sendiri, sehingga sutradara berpengalaman itu memilih untuk mengulang adegan yang sama dalam film Aach, Aku Jatuh Cinta.
Dikisahkan, Rumi kecil mencoba melihat rok perempuan di bawah meja dengan menggunakan korek api. Dalam sebuah wawancara media, Wregas menyatakan bahwa ide tersebut ia dapatkan dari seorang teman.
Teman tersebut menceritakan pengalaman bertahun-tahun yang lalu ketika ditawari oleh seorang penjual wedang rondhe di alun-alun di Yogyakarta. Penjual tersebut menawarkan untuk melihat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api.
Meskipun tema yang diangkat tidak baru, namun isu yang disampaikan serta cara penyajian menjadi hal penting. Dan itulah kekuatan dari film Prenjak (in the Year of Monkey).
Wregas mendorongnya ke titik yang lebih jauh. Ia menggunakan isu lokal untuk bisa berbicara di tingkat global. Ia mengambil isu yang sangat mendasar di dunia ini dan pada saat yang sama juga sangat sensitif di Indonesia, yaitu tentang seks, untuk berdampingan dengan otoritas perempuan atas tubuhnya.
Juga tentang bagaimana perempuan mengatasi kesulitan ekonomi yang membelenggu. Jika dalam film-film sebelumnya perempuan menjadi objek, dalam film ini perempuan tampil di depan sebagai subjeknya.
Hal yang paling menarik dari film ini mungkin adalah bagaimana reaksi masyarakat ketika film ini diputar untuk umum (di bioskop melalui festival film) di Tanah Air-nya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi penonton ketika menonton film ini secara utuh tanpa dipotong-potong. Prenjak (in the Year of Monkey) tampaknya hadir di saat yang tepat: untuk menantang sensor film di negara ini.