Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, memberikan tanggapannya mengenai praperadilan penetapan tersangka Nadiem Makarim dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook.
Kuasa hukum Nadiem, Hana Pertiwi, sebelumnya menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya dinilai tidak sah. Alasannya, karena tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup. Salah satunya adalah bukti audit tentang kerugian negara dari lembaga yang berwenang seperti BPK atau BPKP.
Hibnu menjelaskan bahwa dalam proses hukum kasus korupsi, penghitungan kerugian negara sebenarnya tidak harus selalu dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP. Menurutnya, merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), perhitungan kerugian negara bisa dilakukan oleh BPK, BPKP, ataupun institusi lainnya.
“Sekarang ruang lingkupnya sudah diperluas, tidak hanya BPK. Inspektorat juga bisa melakukan penghitungan. Di daerah-daerah juga tidak harus menunggu BPK. Atau memanggil ahli dari instansi lain juga bisa,” kata Hibnu pada Minggu (28/9/2025).
Hibnu menambahkan bahwa Kejaksaan Agung pasti sudah memahami hal-hal yang perlu dipenuhi sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. “Kejaksaan pasti nantinya akan melampirkan semua persyaratan itu,” ujarnya.
Dia menerangkan bahwa ruang lingkup praperadilan mencakup masalah sah atau tidaknya suatu penangkapan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, penyitaan, dan sebagainya. Sementara itu, merujuk pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, adanya kerugian negara menjadi salah satu syarat.
Lebih lanjut, Hibnu menyampaikan bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh pihak Nadiem Makarim dengan mengajukan praperadilan merupakan hal yang sah. Termasuk jika kuasa hukum Nadiem berpendapat bahwa belum ada kerugian negara yang terbukti, mengingat saat penetapan tersangka belum ada audit dari BPK maupun BPKP.